• Berita Terkini

    Selasa, 13 Desember 2016

    Sweta Kartika, Komikus Muda Asal Kebumen

    dok/pribadi
    Tantang Generasi Muda Kebumen Ciptakan Sejarah




    DI tengah gempuran komik Jepang yang merajai pasar bacaan anak di Indonesia, masih ada saja penggiat komik dalam negeri yang berusaha mengembangkan sayap. Sweta Kartika adalah satu dari sebagian kecil di antaranya. Dia adalah komikus dan ilustrator muda asal Kabupaten Kebumen. Berikut tulisan tentang Sweta seperti dituliskan Satriyo Adi Wicaksono, Mahasiswa Jurnalisme Universitas Indonesia untuk Kebumen Ekspres.
    -------------------------------


    SWETA Kartika lahir dan tumbuh besar di Kutowinangun, Kebumen sebelum melanjutkan studinya di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Menjadi komikus adalah impiannya sejak kecil. “Sejak kecil, saya tumbuh dengan bacaan komik yang disediakan oleh ibu saya, sehingga ketika besar saya ingin menjadi komikus. Kemampuan membuat komik sudah saya asah sejak usia tujuh tahun dan masih terus berimprovisasi hingga hari ini.” kata Sweta.

    Karier Sweta Kartika sebagai komikus berawal pada akhir tahun 2010. Dia menerbitkan dua judul komik pada tahun 2011, yakni The Dreamcatcers di KOLONI Gramedia (cetak) dan Wanara di www.makko.co (webcomic yang sudah ditutup situsnya).

    Saat ini, Sweta masih aktif dalam industri komik Indonesia sebagai komikus dan pengajar non-akademis dari satu komunitas ke komunitas lain untuk mengajarkan teknik dan tata cara membuat komik yang bagus dalam materi kuliah Comic Sense. Selain itu, bersama tiga koleganya, Sweta memegang divisi komik dan ilustrasi untuk Wanara studio. Bersama enam orang teman lainnya, dia rutin mengkaryakan komik Nusantaranger. Semua hal itu dilakukan sebaik-baiknya agar mimpinya dalam menginspirasi seni tradisi nusantara ke dunia Internasional terwujud.

    Perkembangan komik Indonesia terbagi menjadi beberapa masa. Masa awal indutri komik Indonesia dipenuhi oleh komik bergenre superhero karena pada saat itu komik-komik dari Amerika dan Eropa masuk ke pasar Indonesia dengan genre tersebut. Bersamaan dengan itu, muncul komik-komik bergenre silat. Komik dengan kisah legendaris Si Buta dari Goa Hantu milik Ganes TH yang muncul era 1960-an diikuti komik lain seperti Sri Asih karya RA Kosasih, dan Jaka Sembung yang diciptakan Djair Warni.“Bagi saya, komik silat inilah yang original Indonesia meskipun sedikit terpengaruh cerita silat Cina.” kata Sweta.

    Di masa berikutnya, barulah komik-komik Manga masuk ke pasar Indonesia dengan berbagai genre. Generasi 90an dan setelahnya lebih mengenal komik dari Jepang. Apa yang mereka baca kemudian mempengaruhi apa yang mereka buat, untuk itu, tak heran jika saat ini banyak komikus muda Indonesia yang membuat komik dengan gaya Jepang, baik dalam gaya gambar dan tak jarang yang memasukkan budaya-budaya Jepang ke dalam komiknya.

    Bicara komik Indonesia yang diminati, kita harus melihat konteksnya dulu seperti apa. Kalau sebagai industri, komik Indonesia yang laris manis justru bukan yang bergaya Jepang, melainkan komik bergenre opini dengan gaya yang semi kartun. Contoh komik yang popular adalah komik buatan Mice Cartoon dan Si Juki, juga komik-komik komedi terbitan Cendana Art Media seperti 101 Hantu Nusantara dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan komik Indonesia pun mempunyai pasarnya sendiri.

    Pahitnya, memang industri komik di Indonesia masih dikenal sebagai indutri komik terjemahan. Tapi kita tidak bisa serta merta menyalahkan sistem  industrinya sebab bagaimanapun penerbit membutuhkan produk untuk dijual dan ketersediaan produk impor dari Jepang memang jauh lebih besar, baik secara kualitas maupun kuantitas.
    Sementara itu, kita masih diuntungkan oleh dua budaya membaca komik, yakni: komik dianggap sebagai bacaan anak-anak, dan komik adalah bacaan di waktu senggang. Jadi, populasi komik memang membludak untuk pasar remaja dan anak-anak.

    Demografi itu bisa dipelajari dari rekap penjualan di penerbitan. Sedangkan budaya membaca komik di waktu senggang membuat komik-komik bergenre opini dan komedi menjadi popular. Di bawah dua genre itu, ada genre percintaan yang tak kalah popular. Hal inilah yang membuat komik-komik Indonesia laris di pasar, di tengah maraknya populasi komik terjemahan dari Jepang. Komik karya Sweta Kartika, Grey & Jingga: The Twilight juga memecahkan rekor sebagai komik terbitan KOLONI Gramedia yang cetak ulang dalam satu bulan penjualan.

    Sweta berharap akan banyak bermunculan komikus muda Indonesia untuk memperkuat eksistensi komik dalam negeri. Pasalnya, jika tidak diteruskan ini bisa menjadi sinyal kepunahan. Dia akan bertambah senang jika satu di antara komikus itu berasal dari Kebumen juga. “Kebumen memang kota kecil, tapi kita harus membuktikan bahwa kita berada di antara barisan pemuda jenius didikan alam yang akan membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Pertanyaannya dikembalikan ke masing-masing pemuda, apakah Anda cukup puas menjadi manusia yang biasa-biasa saja sementara kita hanya hidup sekali di dunia? Sejarah apa yang akan kita ukir untuk bangsa ini sebagai Putra Kebumen? Pertanyaan inilah yang berhasil membawa karier saya hingga sejauh ini.” pesan Sweta Kartika kepada pembaca. (*)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top