KEBUMEN (kebumenekspres.com)- Salah satu advokat Kebumen, Yuli Ikhtiarto SH mengapresiasi keputusan Pemkab Kebumen melalui Bupati untuk mencairkan Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang sempat terkatung-katung lantaran terganjal aturan. Namun demikian, Yuli Ikhtiarto mengingatkan, langkah Pemkab tersebut bukannya tanpa resiko. Bahkan bisa menjadi bumerang karena berpotensi terjadi pelanggaran hukum.
Ini diungkapkan oleh pengacara Yuli Ikhtiarto SH kepada Ekspres di kantornya Jalan Indrakila, Selasa (6/12). Yuli mengatakan, potensi pelanggaran hukum tersebut harus disadari sepenuhnya oleh Pemda. Jangan sampai pencairan TPG justru malah akan menambah panjang daftar kasus korupsi di kabupaten berslogan beriman ini.
Pasalnya diakui atau tidak, hal itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah RI nomor 74 tahun 2018 tentang Guru dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 17 tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi Guru Dan Tambahan Penghasilan Bagi Guru Pegawai Negeri Sipil. Menurut Yuli, adanya surat dari Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Pendidikan yang dilayangkan kepada seluruh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, nomor 36762/B.B1.1/GT/2016, tertanggal 24 November 2016 sebagai dasar pencairan TPG tidaklah kuat untuk menghindari jeratan hukum.
Hal ini disebabkan kedudukan surat tersebut, tidak dapat mengalahkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pendidikan. Surat pernyataan yang dijadikan syarat untuk pencairan, juga sangat riskan. Meskipun telah mencantumkan poin bahwa yang menerima TPG harus mau mengembalikan dalam waktu 10 hari, jika hal itu menjadi temuan bagi pihak berwenang.
Yuli mengingatkan, yang disebut korupsi secara hukum adalah perbuatannya bukan nominalnya. “Sekarang kalau uang tersebut telah dikembalikan, apakah ini akan menghapus tindak korupsi? Kalau demikian maka semua koruptor akan dengan senang hati untuk mengembalikan uang negara, asalkan mereka terbebas jeratan hukum,” ujarnya menganalogikan.
Masih kata Yuli, meski terlihat bijak, keputusan Pemkab mencairkan TPG dinilai sangat beresiko hukum dan berpotensi mengundang konflik. “Bagaimana jika K1 dan K2 mengetahui pencairan TPG yang meski melanggar hukum namun tetap dicairkan. Padahal saat ini honor yang mereka terima sangat kecil dengan alasan yang hampir sama yakni persoalan peraturan,” ucapnya.
“Diperlukan sebuah solusi lebih cerdas, agar TPG bisa tetap dicairkan, namun tidak tersandung masalah hukum,” imbuhnya.
Sekedar mengingatkan, sebelumnya telah diberitakan Pemkab akan segera mencairkan TPG yang bermasalah. Ini dilaksanakan dengan syarat penerima TPG membuat surat pernyataan yang menyatakan sanggup mengembalikan tunjangan profesi guru yang diterimanya, dalam waktu 10 hari, sejak menerima surat teguran. Hal itu apabila menjadi temuan atas pemeriksaan lembaga yang berwenang, dan menyatakan adanya kerugian negara sebagai dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 tahun 2016. (mam)
Ini diungkapkan oleh pengacara Yuli Ikhtiarto SH kepada Ekspres di kantornya Jalan Indrakila, Selasa (6/12). Yuli mengatakan, potensi pelanggaran hukum tersebut harus disadari sepenuhnya oleh Pemda. Jangan sampai pencairan TPG justru malah akan menambah panjang daftar kasus korupsi di kabupaten berslogan beriman ini.
Pasalnya diakui atau tidak, hal itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah RI nomor 74 tahun 2018 tentang Guru dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 17 tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi Guru Dan Tambahan Penghasilan Bagi Guru Pegawai Negeri Sipil. Menurut Yuli, adanya surat dari Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Pendidikan yang dilayangkan kepada seluruh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, nomor 36762/B.B1.1/GT/2016, tertanggal 24 November 2016 sebagai dasar pencairan TPG tidaklah kuat untuk menghindari jeratan hukum.
Hal ini disebabkan kedudukan surat tersebut, tidak dapat mengalahkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pendidikan. Surat pernyataan yang dijadikan syarat untuk pencairan, juga sangat riskan. Meskipun telah mencantumkan poin bahwa yang menerima TPG harus mau mengembalikan dalam waktu 10 hari, jika hal itu menjadi temuan bagi pihak berwenang.
Yuli mengingatkan, yang disebut korupsi secara hukum adalah perbuatannya bukan nominalnya. “Sekarang kalau uang tersebut telah dikembalikan, apakah ini akan menghapus tindak korupsi? Kalau demikian maka semua koruptor akan dengan senang hati untuk mengembalikan uang negara, asalkan mereka terbebas jeratan hukum,” ujarnya menganalogikan.
Masih kata Yuli, meski terlihat bijak, keputusan Pemkab mencairkan TPG dinilai sangat beresiko hukum dan berpotensi mengundang konflik. “Bagaimana jika K1 dan K2 mengetahui pencairan TPG yang meski melanggar hukum namun tetap dicairkan. Padahal saat ini honor yang mereka terima sangat kecil dengan alasan yang hampir sama yakni persoalan peraturan,” ucapnya.
“Diperlukan sebuah solusi lebih cerdas, agar TPG bisa tetap dicairkan, namun tidak tersandung masalah hukum,” imbuhnya.
Sekedar mengingatkan, sebelumnya telah diberitakan Pemkab akan segera mencairkan TPG yang bermasalah. Ini dilaksanakan dengan syarat penerima TPG membuat surat pernyataan yang menyatakan sanggup mengembalikan tunjangan profesi guru yang diterimanya, dalam waktu 10 hari, sejak menerima surat teguran. Hal itu apabila menjadi temuan atas pemeriksaan lembaga yang berwenang, dan menyatakan adanya kerugian negara sebagai dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 tahun 2016. (mam)