Yusril Ihza Mahendra |
Kemarin (4/12) mantan menteri kehakiman dan HAM itu menggelar konferensi pers di Jakarta untuk mengumumkan penunjukan dirinya sebagai pengacara Dahlan.
"Kasus yang dihadapi Pak Dahlan sebenarnya adalah administrasi, prosedur, bukan korupsi," kata pengacara papan atas tersebut kepada media kemarin.
Dahlan didakwa melakukan pelanggaran dalam pelepasan aset PT PWU di Kediri dan Tulungagung 13 tahun silam. Yusril dan timnya telah mempelajari kasus tersebut. Soal kerugian negara yang disampaikan BPKP, Yusril menilai itu tidak pas dikenakan. Sebab, langkah tersebut adalah tindakan bisnis.
BPKP maupun BPK selalu mencari kerugian negara. Keuntungan negara tidak pernah diaudit. Padahal, aset menganggur PWU di Kediri dan Tulungagung dijual karena tidak produktif. Dahlan membentuk tim untuk menilai aset-aset itu, lalu menjualnya. "Setelah mendapatkan dana segar, uang tersebut digunakan untuk membeli aset tanah lagi di Karangpilang, Surabaya," kata Yusril.
Nah, tanah yang dibeli itu membuat nilai aset PWU di Karangpilang berlipat-lipat. Sebab, tanah tersebut berada di tengah lahan PWU. Dengan kondisi bolong-bolong di tengah seperti itu, lahan sulit dimanfaatkan.
Secara keseluruhan, langkah tersebut merupakan tindakan bisnis. Harga tanah sendiri diputuskan tim penilai dan penjual aset. "Pak Dahlan tidak ikut menentukan harga," ucapnya.
Lantas, mengapa pada akhirnya Dahlan didakwa melakukan korupsi? Yang dipermasalahkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim adalah prosedur. Dalam dakwaan primer, Dahlan disebutkan tidak meminta persetujuan DPRD untuk melepaskan aset. Seperti tertulis dalam peraturan daerah tentang pembentukan PWU pada 1999.
Sebenarnya, tutur Yusril, sebagai perseroan, PWU tidak perlu meminta izin DPRD untuk penjualan aset. Bahwa ada perda yang mengatur persetujuan dewan, Dahlan pun sebenarnya sudah memenuhinya.
Restrukturisasi aset sebenarnya adalah keputusan dua kali paripurna DPRD Jatim pada 2001 dan 2002. Dahlan pun secara khusus sudah meminta izin tersebut kepada DPRD untuk pelepasan aset di Kediri dan Tulungagung. Permintaan itu dijawab dengan surat yang ditandatangani Ketua DPRD Jatim (saat itu) Bisri Abdul Jalil.
Hanya, Kejati Jatim menganggap surat tersebut sebagai surat pribadi meskipun menggunakan kop DPRD Jatim. Sebagai mantan anggota DPR, Yusril tahu bahwa dalam pembahasan di dewan, setelah disetujui, jawaban atas suatu permintaan memang diserahkan kepada ketua untuk diteken. "Yang teken itu ya ketua DPR. Jadi, bukan anggota DPR satu per satu teken begitu," tuturnya.
Karena itu, dari sisi prosedur, yang dilakukan sebetulnya sudah benar. Lagi pula, bila mengajukan surat ke DPRD, pasti yang dituju adalah pimpinan. Sebagai pihak yang meminta izin, tidak mungkin bagi Dahlan mempertanyakan bagaimana proses di internal DPRD sehingga akhirnya keluar surat persetujuan.
Untuk itu, Yusril akan membuktikan bahwa yang dilakukan Dahlan memang sudah prosedural. Harus didengar pula keterangan ahli bidang hukum tata negara dan administrasi negara, apakah surat tersebut sudah representatif mewakili DPRD atau tidak.
Disinggung mengenai jumlah ahli yang dihadirkan, Yusril menyatakan masih bakal melihat perkembangan di persidangan. Namun, guna membuktikan hal itu, setidaknya diperlukan dua ahli untuk dihadirkan di persidangan. Dalam pasal 184 KUHAP, keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah di pengadilan.
Di luar itu, tentu pihaknya akan melampirkan semua bukti berupa dokumen yang menyatakan bahwa Dahlan sudah meminta persetujuan DPRD. Ahli bakal menilai apakah surat tersebut sudah sah atau tidak. "Permasalahan ini sebenarnya sederhana, tidak ada masalah. Pak Dahlan sudah mendapatkan izin dari DPRD, tapi kelihatannya dicari-cari gitu," tandas Yusril. (byu/c9/ang)