SOLO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Bupati Klaten Sri Hartini sebagai tersangka penerima suap promosi dan mutasi jabatan. Ini bisa diartikan ada potensi penempatan pejabat yang tidak sesuai porsinya.
“Penataan ulang (struktur pejabat, Red) mendesak. Ini tugasnya pelaksana tugas bupati. Jadi harus hati-hati,” ujar pakar tata negara Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Muhibbin, Minggu (1/1).
Menurut dia, KPK dipastikan telah mengantongi nama-nama pejabat yang terindikasi melakukan suap. Tentunya mereka sangat diharapkan tidak dimasukkan dalam struktural Pemkab Klaten. “Masak (pejabat, Red) yang seperti itu tetap dilanjutkan (diberikan surat keputusan pelantikan, Red),” tandasnya.
Ditambahkan pria yang juga menjabat kepala program studi (prodi) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan UMS itu, kasus Sri Hartini bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah lainnya. “Harus segera instrospeksi,” kata dia.
Senada diungkapkan ahli hukum tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Jadmiko. “Perlu dikocok ulang (struktur pejabat, Red). Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan,Red) bisa sidang ulang,” ungkapnya.
Apakah kocok ulang jabatan perlu melibatkan pihak ketiga, misalnya membentuk panitia seleksi (pansel) dari pihak-pihak yang independen? Jadmiko mengatakan tidak perlu. Evaluasi struktur jabatan cukup dilakukan baperjakat. “Tentunya sekda lebih mengenal sosok mereka (pejabat, Red),” ucap Jadmiko.
Lebih lanjut diterangkan dia, evaluasi pejabat lebih mudah dilakukan ketika surat keputusan (SK) pelantikan pengangkatan belum ditandatangani bupati. Lalu bagaimana bila SK terlanjur ditandatangani? Jadmiko menilai tetap harus dilakukan pelantikan.
Pertimbangannya, secara hukum, pejabat tersebut belum terbukti melakukan penyuapan. Artinya, harus dibuktikan lewat persidangan. “Yang melantik ya bupati. Sepanjang belum ada keputusan resmi dari Mendagri tentang pencopotan status Sri Hartini sebagai bupati. Dulu kalau tidak salah di Sulawesi, juga ada kepala daerah yang melantik pejabat dari lapas. Tapi jumlahnya tidak sebanyak di Klaten,” urai Jadmiko.
Namun dia mengakui, dari sisi moral, pelantikan oleh kepala daerah yang menjadi tersangka, cacat. “Hukum dan moral memang senjang. Ini masalahnya,” jelasnya.
Pakar hukum tata negara UNS Sunny Umul Firdaus menganalisa, pemberi dan penerima suap pasti sudah memikirkan risikonya. Tapi mereka tidak berpikir cermat karena tergiur rupiah. “Sebagai kepala daerah, mereka dituntut eksis, dan eksis itu butuh dana tambahan. Mereka yang tidak sabar akan mencari jalan pintas, ya seperti menerima suap atau sebagainya,” ucap Sunny.
Dia menekankan, perlu dilakukan penyelidikan mendalam, tidak hanya bagi si penerima, tapi juga si penyuap. “Kenapa mereka memberi suap? Apakah jabatan yang dituntut itu merupakan ladang basah mereka atau bagaimana, ini yang seharunya ditonjolkan,” katanya.
Terjadinya suap jabatan, imbuh Sunny, dipengaruhi beragam faktor. Antara lain, kedekatan emosional. Untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan, mereka akan merayu pimpinan dengan iming-iming tertentu.
Celah tersebut dapat ditutup dengan mengganti sistem mutasi atau promosi jabatan. “Jika dulunya dipilih oleh bupati, mungkin sekarang bisa melibatkan pihak ketiga dan harus independen,” paparnya.
Menanggapi usulan kocok ulang struktur jabatan, Sekda Klaten Jaka Sawaldi menyerahkan sepenuhnya kepada pelaksana tugas (Plt) bupati atau bupati Klaten yang telah diangkat Kemendagri nantinya. Namun hingga kemarin, Baperjakat belum menerima SK dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait penetapan Wakil Bupati Klaten Sri Mulyani menjadi Plt bupati Klaten.
“Kita terus menunggu arahan dari Kemendagri seperti apa. Mungkin besok sudah keluar keputusannya,” ucap Jaka.
Sebagai informasi, sebelumnya, Baperjakat sudah mengusulkan Wakil Bupati Klaten Sri Mulyani menjadi Plt bupati Klaten. Hal tersebut sudah dikonsultasikan dengan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Sekda Pemerintah Provinsi, Jumat (30/12).
“Sudah berkoordinasi juga dengan Ibu Wakil Bupati. Tetapi belum dapat bergerak karena masih menunggu arahan dari Kemendagri seperti apa,” ucapnya.
Posisi Plt bupat ini juga menentukan proses pengukuhan, pelantikan dan pengambilan sumpah pejabat dalam susunan organisasi tata kerja (SOTK) baru bisa segera dilaksanakan. Meskipun berdasarkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, bahwa batas pelantikan pada 2 Januari 2017.
Menurutnya, kondisi saat ini tidak normal sehingga batas waktu tersebut tidak bisa menjadi dasar dilakukan pengukuhan, pelantikan dan pengambilan sumpah pejabat struktural.
Menyusul penetapannya sebagai tersangka olek KPK, Pemkab Klaten memutuskan memberhentikan sementara Kepala Seksi (Kasi) SMP Disdik Klaten Suramlan.
“Kalau Suramlan kan statusnya sudah jelas, sehingga dikenakan sanksi untuk kita berhentikan sementara hingga menunggu keputusan (hukum, Red) tetapnya seperti apa,” jelas Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Klaten Sartiyasto. (atn/ren/wa)
“Penataan ulang (struktur pejabat, Red) mendesak. Ini tugasnya pelaksana tugas bupati. Jadi harus hati-hati,” ujar pakar tata negara Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Muhibbin, Minggu (1/1).
Menurut dia, KPK dipastikan telah mengantongi nama-nama pejabat yang terindikasi melakukan suap. Tentunya mereka sangat diharapkan tidak dimasukkan dalam struktural Pemkab Klaten. “Masak (pejabat, Red) yang seperti itu tetap dilanjutkan (diberikan surat keputusan pelantikan, Red),” tandasnya.
Ditambahkan pria yang juga menjabat kepala program studi (prodi) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan UMS itu, kasus Sri Hartini bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah lainnya. “Harus segera instrospeksi,” kata dia.
Senada diungkapkan ahli hukum tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Jadmiko. “Perlu dikocok ulang (struktur pejabat, Red). Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan,Red) bisa sidang ulang,” ungkapnya.
Apakah kocok ulang jabatan perlu melibatkan pihak ketiga, misalnya membentuk panitia seleksi (pansel) dari pihak-pihak yang independen? Jadmiko mengatakan tidak perlu. Evaluasi struktur jabatan cukup dilakukan baperjakat. “Tentunya sekda lebih mengenal sosok mereka (pejabat, Red),” ucap Jadmiko.
Lebih lanjut diterangkan dia, evaluasi pejabat lebih mudah dilakukan ketika surat keputusan (SK) pelantikan pengangkatan belum ditandatangani bupati. Lalu bagaimana bila SK terlanjur ditandatangani? Jadmiko menilai tetap harus dilakukan pelantikan.
Pertimbangannya, secara hukum, pejabat tersebut belum terbukti melakukan penyuapan. Artinya, harus dibuktikan lewat persidangan. “Yang melantik ya bupati. Sepanjang belum ada keputusan resmi dari Mendagri tentang pencopotan status Sri Hartini sebagai bupati. Dulu kalau tidak salah di Sulawesi, juga ada kepala daerah yang melantik pejabat dari lapas. Tapi jumlahnya tidak sebanyak di Klaten,” urai Jadmiko.
Namun dia mengakui, dari sisi moral, pelantikan oleh kepala daerah yang menjadi tersangka, cacat. “Hukum dan moral memang senjang. Ini masalahnya,” jelasnya.
Pakar hukum tata negara UNS Sunny Umul Firdaus menganalisa, pemberi dan penerima suap pasti sudah memikirkan risikonya. Tapi mereka tidak berpikir cermat karena tergiur rupiah. “Sebagai kepala daerah, mereka dituntut eksis, dan eksis itu butuh dana tambahan. Mereka yang tidak sabar akan mencari jalan pintas, ya seperti menerima suap atau sebagainya,” ucap Sunny.
Dia menekankan, perlu dilakukan penyelidikan mendalam, tidak hanya bagi si penerima, tapi juga si penyuap. “Kenapa mereka memberi suap? Apakah jabatan yang dituntut itu merupakan ladang basah mereka atau bagaimana, ini yang seharunya ditonjolkan,” katanya.
Terjadinya suap jabatan, imbuh Sunny, dipengaruhi beragam faktor. Antara lain, kedekatan emosional. Untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan, mereka akan merayu pimpinan dengan iming-iming tertentu.
Celah tersebut dapat ditutup dengan mengganti sistem mutasi atau promosi jabatan. “Jika dulunya dipilih oleh bupati, mungkin sekarang bisa melibatkan pihak ketiga dan harus independen,” paparnya.
Menanggapi usulan kocok ulang struktur jabatan, Sekda Klaten Jaka Sawaldi menyerahkan sepenuhnya kepada pelaksana tugas (Plt) bupati atau bupati Klaten yang telah diangkat Kemendagri nantinya. Namun hingga kemarin, Baperjakat belum menerima SK dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait penetapan Wakil Bupati Klaten Sri Mulyani menjadi Plt bupati Klaten.
“Kita terus menunggu arahan dari Kemendagri seperti apa. Mungkin besok sudah keluar keputusannya,” ucap Jaka.
Sebagai informasi, sebelumnya, Baperjakat sudah mengusulkan Wakil Bupati Klaten Sri Mulyani menjadi Plt bupati Klaten. Hal tersebut sudah dikonsultasikan dengan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Sekda Pemerintah Provinsi, Jumat (30/12).
“Sudah berkoordinasi juga dengan Ibu Wakil Bupati. Tetapi belum dapat bergerak karena masih menunggu arahan dari Kemendagri seperti apa,” ucapnya.
Posisi Plt bupat ini juga menentukan proses pengukuhan, pelantikan dan pengambilan sumpah pejabat dalam susunan organisasi tata kerja (SOTK) baru bisa segera dilaksanakan. Meskipun berdasarkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, bahwa batas pelantikan pada 2 Januari 2017.
Menurutnya, kondisi saat ini tidak normal sehingga batas waktu tersebut tidak bisa menjadi dasar dilakukan pengukuhan, pelantikan dan pengambilan sumpah pejabat struktural.
Menyusul penetapannya sebagai tersangka olek KPK, Pemkab Klaten memutuskan memberhentikan sementara Kepala Seksi (Kasi) SMP Disdik Klaten Suramlan.
“Kalau Suramlan kan statusnya sudah jelas, sehingga dikenakan sanksi untuk kita berhentikan sementara hingga menunggu keputusan (hukum, Red) tetapnya seperti apa,” jelas Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Klaten Sartiyasto. (atn/ren/wa)