SOLO – Dalam kurun waktu dua tahun, ada 3.696 anak putus sekolah di Kota Bengawan. Upaya door to door dan tawaran program kejar paket oleh Dinas Pendidikan tak juga ampuh untuk menekan angka anak putus sekolah.
Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Surakarta sejak tahun 2015, rata-rata anak putus sekolah dalam rentang usia 7 tahun hingga 18 tahun. Kepala Dinas Pendidikan Surakarta Etty Retnowati mengakui tingginya angka putus sekolah di kota ini.
Namun menurut dia, bukan berarti dinasnya tidak berbuat apapun untuk menekan angka itu.”Pendataan ini bukan hanya untuk angka anak putus sekolah. Lagipula jumlah anak putus sekolah ini hanya 0,02 persen dari total penduduk di Solo. Biasanya follow up untuk anak putus sekolah ini penanganannya ada di Bapermas P3AKB (Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana). Kami hanya membantu,” papar Etty.
Pada 2015, sudah dilakukan penanganan terhadap 600 anak putus sekolah. Rencananya tahun ini ada 300 anak lagi yang mendapat penanganan. Bahkan, diakui Etty, pihaknya juga telah berupaya melakukan door to door pada anak putus sekolah. ”Hanya saja mereka juga enggan untuk meneruskan atau mengikuti kejar paket. Di samping itu, karena usianya juga banyak yang melebihi 18 tahun, kebanyakan juga telah bekerja,” jelasnya.
Di sisi lain, meski jumlah anak putus sekolah masih cukup banyak, namun Etty mengklaim untuk angka melek huruf di Kota Solo tahun ini sudah mencapai 100 persen. Kriteria itu diukur dari warga rentang usia 13 tahun hingga 45 tahun.
Sementara itu,Wakil Ketua DPRD Surakarta Abdul Gofar Ismail menegaskan, masalah anak putus sekolah ini sebenarnya bukan tanggung jawab dinas pendidikan saja. Melainkan juga beberapa dinas terkait yang menangani urusan sosial. Maka dari itu, harus ada upaya untuk menangani, minimal lulus melalui kejar paket.
”Untuk Solo ini harapannya tidak hanya lulus wajib belajar sembilan tahun, melainkan bisa lebih dari itu. Kalau memang anak yang putus sekolah enggan ditawari, ya harus ada pemaksaan,” ucap Gofar.
Anggota Banggar DPRD Supriyanto menyatakan, putus sekolah ini bukan persoalan pendidikan, melainkan sosial. ”Memang perlu pemetaan yang serius dari pemkot. Sebab, tidak bisa hanya dengan dibujuk, lalu selesai. Harus ada penanganan yang serius dan terintegrasi dari beberapa dinas terkait,” pungkas Supri. (vit/ria)
Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Surakarta sejak tahun 2015, rata-rata anak putus sekolah dalam rentang usia 7 tahun hingga 18 tahun. Kepala Dinas Pendidikan Surakarta Etty Retnowati mengakui tingginya angka putus sekolah di kota ini.
Namun menurut dia, bukan berarti dinasnya tidak berbuat apapun untuk menekan angka itu.”Pendataan ini bukan hanya untuk angka anak putus sekolah. Lagipula jumlah anak putus sekolah ini hanya 0,02 persen dari total penduduk di Solo. Biasanya follow up untuk anak putus sekolah ini penanganannya ada di Bapermas P3AKB (Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana). Kami hanya membantu,” papar Etty.
Pada 2015, sudah dilakukan penanganan terhadap 600 anak putus sekolah. Rencananya tahun ini ada 300 anak lagi yang mendapat penanganan. Bahkan, diakui Etty, pihaknya juga telah berupaya melakukan door to door pada anak putus sekolah. ”Hanya saja mereka juga enggan untuk meneruskan atau mengikuti kejar paket. Di samping itu, karena usianya juga banyak yang melebihi 18 tahun, kebanyakan juga telah bekerja,” jelasnya.
Di sisi lain, meski jumlah anak putus sekolah masih cukup banyak, namun Etty mengklaim untuk angka melek huruf di Kota Solo tahun ini sudah mencapai 100 persen. Kriteria itu diukur dari warga rentang usia 13 tahun hingga 45 tahun.
Sementara itu,Wakil Ketua DPRD Surakarta Abdul Gofar Ismail menegaskan, masalah anak putus sekolah ini sebenarnya bukan tanggung jawab dinas pendidikan saja. Melainkan juga beberapa dinas terkait yang menangani urusan sosial. Maka dari itu, harus ada upaya untuk menangani, minimal lulus melalui kejar paket.
”Untuk Solo ini harapannya tidak hanya lulus wajib belajar sembilan tahun, melainkan bisa lebih dari itu. Kalau memang anak yang putus sekolah enggan ditawari, ya harus ada pemaksaan,” ucap Gofar.
Anggota Banggar DPRD Supriyanto menyatakan, putus sekolah ini bukan persoalan pendidikan, melainkan sosial. ”Memang perlu pemetaan yang serius dari pemkot. Sebab, tidak bisa hanya dengan dibujuk, lalu selesai. Harus ada penanganan yang serius dan terintegrasi dari beberapa dinas terkait,” pungkas Supri. (vit/ria)