sudarnoahmad/ekspres |
Terpilihnya Prof Panut Mulyono, sebagai Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, periode 2017-2022 menjadi kebanggaan tersendiri bagi Kabupaten Kebumen. Namun, siapa yang menyangka jauh sebelum meraih sukses seperti saat ini, Panut muda hidup serba kekurangan. Bahkan untuk melanjutkan kuliahnya di UGM, orang tuanya harus rela menjual sawah untuk membiayai kuliah Panut.
---------------------------
SUDARNO AHMAD NASHORI, Ambal
--------------------------
"Monggo, mas. Silahkan masuk," ujar Rembyuni (75), dengan sangat ramah saat menyambut Kebumen Ekspres yang menyambangi rumahnya di RT 01 RW 02 Desa Sinungrejo, Kecamatan Ambal, Selasa (18/4). Ya, Rembyuni adalah ibu kandung dari Rektor baru UGM Prof Ir Panut Mulyono MEng DEng.
Meski usianya telah senja, tetapi fisiknya masih sangat bugar. Bahkan seluruh giginya masih utuh bersih dan terawat. Sekilas tidak ada yang istimewa dari penampilan Rembyuni, sama seperti warga kampung lainnya. Namun, dari sorot matanya tajam dan terpancar optimisme. Pantas saja wanita hebat ini berhasil melahirkan dan mengantarkan anaknya menjadi rektor pada kampus favorit di Indonesia.
Tak hanya penampilannya yang sederhana, tetapi rumah yang ditempatinya pun juga terbilang sangat sederhana bagi ukuran sekelas rektor. Tak ada perabotan yang istimewa di dalam rumah itu. Bahkan, tak terlihat satupun foto keluarga yang dipajang di dinding ruang tamu. "Panut orangnya tidak suka majang-majang foto," tutur Rembyuni.
Menyebut nama Panut, Rembyuni, mengaku sudah beberapa bulan belum ketemu anak pertamanya itu. Dia memaklumi kesibukan anaknya itulah yang menyebabkan Panut belum sempat pulang kampung. "Kalau telpon sering," ucapnya.
Bahkan saat Panut akan mengikuti seleksi calon rektor UGM pun menelpon Rembyuni untuk meminta doa restu dari dirinya. Termasuk saat berhasil masuk tiga besar dan akhirnya terpilih menjadi orang nomor satu di UGM. "Alhamdulillah saya tidak menyangka kalau Panut bisa jadi rektor. Untuk bisa kuliah dan jadi dosen saja sudah bersyukur banget," kata dia.
Ia benar-benar tidak menyangka dan tidak pernah terpikirkan kalau anaknya itu bisa terpilih jadi Rektor UGM. Pasalnya, untuk bisa kuliah di UGM saja dia harus membanting tulang mencari biayanya. Rembyuni terpaksa harus menjual sawah-sawahnya demi menguliahkan anaknya itu.
Rembyuni menceritakan, awal mau kuliah di UGM ditentang oleh suaminya yang seorang guru SD. Selain karena biayanya mahal, suaminya juga menginginkan Panut muda untuk melanjutkan sekolah setelah dari SMP ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Namun, Panut menolak dan memilih sekolah di SMA Negeri 1 Kebumen.
"Dulu bapaknya minta untuk melanjutkan ke SPG, tapi Panut diam saja. Dia hanya berani bilang ke saya, kalau dia mau melanjutkan ke SMA saja. Karena kalau sekolah di SPG paling-paling jadi guru SD, itu kata dia. Saya bilang kalau dari SMA kalau mau kerja ya harus kuliah," kata Rembyuni, mengulangi kata-kata Panut di masa lalu.
Lebih jauh Rembyuni menceritakan, Panut beralasan kalau hanya jadi guru SD pada waktu itu gajinya sangat kecil. Sehingga dia tidak bisa ikut membantu keluarga dan adik-adiknya. "Saya bilang, ya sudah kalau tujuannya kaya gitu semoga Gusti Allah ngijabahi. Saya bilang kaya gitu," ucapnya.
Setelah lulus SMA pada 1980, Panut memilih mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri di tiga perguruan tinggi. Yaitu UGM, IKIP Yogyakarta dan Unsoed Purwokerto. Di tiga kampus itu Panut Mulyono, dinyatakan lolos seleksi semua. Namun, akhirnya dia memilih kuliah di UGM dengan mengambil jurusan tehnik kimia. "Karena saya tidak punya apa-apa, saya jual sawah sama pekarangan untuk membiayai kuliah Panut," kata dia.
Suaminya yang dari awal tidak setuju Panut melanjutkan kuliah pun marah besar. Dia memaki-maki istrinya yang sampai rela menjual sawah warisan demi menguliahkan anaknya. "Saya dikasih warisan sawah dari orangtua, lemahku habis nggak masalah asal anakku sekolah. Bapaknya begini kowe gendeng, sawah seilat kadal didilat sepisan be rampung. Begitu," dia menceritakan masa lalunya.
Meski suaminya melarang, namun Rembyuni tetap nekad menguliahkan anaknya dengan biaya dari menjual sawah. Uniknya, sawahnya itu dijual bukan dibayar tunai tetapi kepada pembelinya meminta agar dicicil saja. Dari 66 ubin tanah dihargai Rp 30 ribu pada waktu itu. "Duitnya saya minta kalau pas Panut butuh," imbuhnya.
Rembyuni mengaku, hingga menjelang wisuda dari 66 ubin sawah miliknya tersisa 10 ubin yang belum terjual. "Sisanya ini yang dipakai untuk wisuda," imbuhnya lagi. Beruntung, setelah selesai wisuda Panut langsung bekerja menjadi asisten dosen di kampusnya. Tak lama kemudian dia langsung mendapat beasiswa untuk tuga belajar di Jepang selama enam tahun.
"Setelah ke Jepang kita sudah mulai ringan. Termasuk untuk biaya kuliah adiknya yang di kedokteran UNDIP yang menanggung Panut," jelasnya.
Ditengah obrolan antara Rembyuni dengan Kebumen Ekspres, datanglah Slamet Hadi Siswoyo (67) yang merupakan paman dari Panut Mulyono. Slamet yang mengetahui persis Panut dari masa kanak-kanak, menceritakan Panut sebenarnya bukan anak pertama dari pasangan Samadi Hadi Siswoyo (almarhum) dan Rembyuni. Tetapi sebenarnya anak ketiga dari 7 bersaudara.
"Kakaknya ada dua, tetapi meninggal waktu masih bayi," tuturnya.
Nama Panut Mulyono, merupakan pemberian dari kakeknya. Yang artinya Panut agar bisa menjadi panutan, sedangkan Mulyono agar dikasih kecerdasan. "Itu harapan dari kakeknya dan Alhamdulillah sepertinya terkabul," terang mantan Kepala Desa Sinungrejo ini.
Slamet menambahkan, Panut mengenyam pendidikan SD di Desa Sinungrejo, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 3 Kebumen dan SMA Negeri 1 Kebumen. Panut sendiri memiliki enam orang adik. Yaitu Sukmadi (guru di Lombok), Adil Suharso (dokter), Kuat Wanarno (swasta), Nani Agustin (guru), Agus Suroso dan Titi Mulyani (bidan).(*)