JAKARTA – Sidang mega korupsi e-KTP berlanjut kemarin (27/4), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan sepuluh saksi dalam sidang tersebut. Di antaranya Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Olly Dandokambey dan kemenakan Ketua DPR Setya Novanto sekaligus mantan Direktur Utama (Dirut) PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi. KPK menghadirkan keduanya lantaran turut muncul dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.
Ketika proyek e-KTP bergulir, Olly menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR sekaligus anggota komisi XI DPR. Dalam surat dakwaan JPU KPK, politisi PDIP itu menerima aliran dana USD 1,2 juta. Sementara itu, PT Murakabi Sejahtera adalah salah satu perusahaan yang turut serta dalam tender proyek tersebut. Bersama Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irvanto membentuk Konsorsium Murakabi Sejahtera.
Namun Olly membantah dakwaan tersebut. ”Tidak pernah (menerima uang),” kata dia ketika ditanya oleh JPU KPK Wawan Yunarwanto. Jawaban serupa dia sampaikan ketika kuasa hukum terdakwa kembali bertanya surat dakwaan yang menyeret namanya. Tidak hanya membantah surat dakwaan JPU KPK berkaitan aliran dana proyek e-KTP kepada dirinya, pria yang menjabat Gubernur Sulut sejak Februrai 2016 itu menyatakan tidak mengenal Andi Narogong.
Olly menyebutkan bahwa dirinya mengetahui sosok Andi Narogong pasca KPK mengungkap penyidikan kasus tersebut kepada publik. ”Saya baru lihat saat ada kasus. Saat (Andi Narogong) ditahan (KPK),” ungkapnya. Sebelumnya dia tidak pernah berhubungan dengan Andi Narogong. Lebih dari itu, pria kelaharin Manado tersebut menyebutkan, tidak pernah bersentuhan langsung dengan proyek e-KTP. Sebab, itu bukan tugasnya. Baik di Banggar maupun Komisi XI DPR.
Sesuai ketentuan yang berlaku, Banggar memang mengesahkan seluruh anggaran yang sudah dibahas pemerintah bersama DPR. Termasuk di antaranya anggaran untuk proyek e-KTP yang digarap oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Namun, kata Olly, dia tidak ikut membahas. Ketika pengesahan berlangsung, dirinya juga tidak memeriksa satu per satu. ”Kami tidak berhak megubah. Itu melanggar UU,” kata dia.
Tapi, pria yang kini berusia 55 tahun itu mengakui bahwa kerap kali ada pihak tertentu yang berupaya meraup keuntung ketika pembahasan anggaran berlangsung. ”Di dalam kebijakan kami pasti ada orang yang memanfaatkan,” ungkap Olly. ”Pengalaman saya di DPR dan Banggar, percaloan itu pasti ada. Tapi, kami mana mau tahu,” tambah dia. Termasuk di antaranya informasi yang menyebutkan banyak uang berseliweran dalam proyek e-KTP.
Senada dengan Olly, Irvanto menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima duit sepeser apapun dari proyek e-KTP. Sebab, Konsorsium Murakabi Sejahtera yang dia pimpin kalah lelang dari Konsorsium Percetakan Nasional Republik Indonesia (PNRI). ”Sehari setelah kalah lelang, Konsorsium (Murakabi Sejahtera) dibubarkan,” jelasnya. Ketika JPU KPK bertanya soal aliran dana proyek e-KTP dari Andi Narogong, dia menjawab tidak pernah menerima.
Irvanto mengungkapkan bahwa dirinya hanya sebatas tahu Andi Narogong. Sebab, Andi Narogong merupakan adik kandung Vidi Gunawan. ”Pak Vidi teman waktu SMA,” kata dia. Ketika JPU KPK mecoba menyelidik soal hubungan antara Andi Narogong dan Setya Novanto, Irvanto menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah bertemu dengan Andi Narogong maupun Setya Novanto secara bersamaan. ”Tidak pernah,” tegasnya.
Berkaitan dengan pertemuan sejumlah pihak di Komplek Ruko Graha Mas Fatmawati yang belakangan disebut sebagai tempat pertemuan Tim Fatmawati, Irvanto mengaku pernah datang ke sana. ”Hanya satu kali,” jelasnya. Itu pun tidak membahas proyek e-KTP secara detail. Melainkan hanya membicarakan gambaran umum proyek tersebut. ”Mau ada pekerjaan KTP nasional. Secara global itu yang saya tangkap,” ujar Irvanto.
Setelah kedatangan itu, Irvanto menyatakan bahwa dirinya tidak pernah datang lagi ke Komplek Ruko Graha Mas Fatmawati. Pernyataan itu tidak sejalan dengan keterangan saksi lain yang juga dihadirkan dalam sidang e-KTP kemarin. Yakni Mujdi Rachmat Kurniawan yang berasal dari PT Softob Technology Indonesia. ”Saya ke sana (Ruko Graha Mas Fatmawati) lebih dari satu kali,” kata dia. Kesaksian itu serupa dengan yang tertera dalam surat dakwaan.
Menurut Kurniawan, sejumlah pertemuan di Ruko Graha Mas Fatmawati yang dia hadiri membahas teknis pengerjaan proyek e-KTP. ”Banyaknya mendengarkan presentasi,” kata dia. Dalam pertemuan di ruko tersebut juga hadir pihak lain yang berasal dari berbagai perusahaan. Namun, Kurniawan tidak bisa menyebutkan satu per satu. ”Saya nggak ingat,” tambahnya. Yang pasti dia datangkan sebagai perwakilan dari perusahaannya.
Disamping Olly dan Irvanto, JPU KPK juga turut menghadirkan delapan saksi lain untuk terdakwa Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil) Kemendagri Sugiharto dan Direktur Jenderal (Dirjen) Dukcapil Kemendagri Irman. Di antaranya Mahmud, Henry Manik, Toto Prasetyo, Djoko Kartiko Krisno, dan Mayus Bangun.
Selain itu, Direktur PT Avidisc Crestec Interindo Wirawan Tanzil pun turut dihadirkan. Di awal sidang, JPU KPK memberondong sejumlah pertanyaan kepada Wirawan. Kepada Jaksa, Wirawan menjelaskan soal keberadaan Setnov dibalik Konsorsium Murakabi Sejahtera. Dia mengetahui konsorsium tersebut berkaitan dengan Setya Novanto dari Johanes Richard Tanjaya alias Johanes Tan. ” Dia sebut itu perusahaan ada hubungan sama Setya Novanto,” kata dia.
Johanes adalah direktur PT Java Trade Utama yang juga turut bergabung sebagai anggota dalam Konsorsium Murakabi Sejahtera. Johanes pula yang mengajak Wirawan bergabung dengan konsorsium tersebut. Namun Wirawan menolak tawaran bergabung lantaran mencium gelagat tidak baik. ”Saya diajak gabung ke Konsorsium Murakabi (Sejahtera). Tapi, saya tolak. Saya mengundurkan diri. Saya lihat situasinya tidak enak,” ujarnya.
Ketika menyatakan hendak mundur, Yohanes Tan sempat menyampaikan bahwa keputusan itu beresiko. ”Jangan tinggalin, nanti dimusihin,” kata Wirawan menirukan pernyataan Yohanes Tan. Namun, dia tetap memilih mundur. Disamping mendapat informasi mengenai keberadaan Setya Novanto dibalik Konsorsium Murakabi Sejahtera, Wirawan juga tidak sepakat dengan Andi Narogong. Sebab salah satu tersangka proyek e-KTP itu meminta dirinya mengatur harga. ”Terlalu tinggi,” imbuhnya. (syn/)
Ketika proyek e-KTP bergulir, Olly menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR sekaligus anggota komisi XI DPR. Dalam surat dakwaan JPU KPK, politisi PDIP itu menerima aliran dana USD 1,2 juta. Sementara itu, PT Murakabi Sejahtera adalah salah satu perusahaan yang turut serta dalam tender proyek tersebut. Bersama Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irvanto membentuk Konsorsium Murakabi Sejahtera.
Namun Olly membantah dakwaan tersebut. ”Tidak pernah (menerima uang),” kata dia ketika ditanya oleh JPU KPK Wawan Yunarwanto. Jawaban serupa dia sampaikan ketika kuasa hukum terdakwa kembali bertanya surat dakwaan yang menyeret namanya. Tidak hanya membantah surat dakwaan JPU KPK berkaitan aliran dana proyek e-KTP kepada dirinya, pria yang menjabat Gubernur Sulut sejak Februrai 2016 itu menyatakan tidak mengenal Andi Narogong.
Olly menyebutkan bahwa dirinya mengetahui sosok Andi Narogong pasca KPK mengungkap penyidikan kasus tersebut kepada publik. ”Saya baru lihat saat ada kasus. Saat (Andi Narogong) ditahan (KPK),” ungkapnya. Sebelumnya dia tidak pernah berhubungan dengan Andi Narogong. Lebih dari itu, pria kelaharin Manado tersebut menyebutkan, tidak pernah bersentuhan langsung dengan proyek e-KTP. Sebab, itu bukan tugasnya. Baik di Banggar maupun Komisi XI DPR.
Sesuai ketentuan yang berlaku, Banggar memang mengesahkan seluruh anggaran yang sudah dibahas pemerintah bersama DPR. Termasuk di antaranya anggaran untuk proyek e-KTP yang digarap oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Namun, kata Olly, dia tidak ikut membahas. Ketika pengesahan berlangsung, dirinya juga tidak memeriksa satu per satu. ”Kami tidak berhak megubah. Itu melanggar UU,” kata dia.
Tapi, pria yang kini berusia 55 tahun itu mengakui bahwa kerap kali ada pihak tertentu yang berupaya meraup keuntung ketika pembahasan anggaran berlangsung. ”Di dalam kebijakan kami pasti ada orang yang memanfaatkan,” ungkap Olly. ”Pengalaman saya di DPR dan Banggar, percaloan itu pasti ada. Tapi, kami mana mau tahu,” tambah dia. Termasuk di antaranya informasi yang menyebutkan banyak uang berseliweran dalam proyek e-KTP.
Senada dengan Olly, Irvanto menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima duit sepeser apapun dari proyek e-KTP. Sebab, Konsorsium Murakabi Sejahtera yang dia pimpin kalah lelang dari Konsorsium Percetakan Nasional Republik Indonesia (PNRI). ”Sehari setelah kalah lelang, Konsorsium (Murakabi Sejahtera) dibubarkan,” jelasnya. Ketika JPU KPK bertanya soal aliran dana proyek e-KTP dari Andi Narogong, dia menjawab tidak pernah menerima.
Irvanto mengungkapkan bahwa dirinya hanya sebatas tahu Andi Narogong. Sebab, Andi Narogong merupakan adik kandung Vidi Gunawan. ”Pak Vidi teman waktu SMA,” kata dia. Ketika JPU KPK mecoba menyelidik soal hubungan antara Andi Narogong dan Setya Novanto, Irvanto menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah bertemu dengan Andi Narogong maupun Setya Novanto secara bersamaan. ”Tidak pernah,” tegasnya.
Berkaitan dengan pertemuan sejumlah pihak di Komplek Ruko Graha Mas Fatmawati yang belakangan disebut sebagai tempat pertemuan Tim Fatmawati, Irvanto mengaku pernah datang ke sana. ”Hanya satu kali,” jelasnya. Itu pun tidak membahas proyek e-KTP secara detail. Melainkan hanya membicarakan gambaran umum proyek tersebut. ”Mau ada pekerjaan KTP nasional. Secara global itu yang saya tangkap,” ujar Irvanto.
Setelah kedatangan itu, Irvanto menyatakan bahwa dirinya tidak pernah datang lagi ke Komplek Ruko Graha Mas Fatmawati. Pernyataan itu tidak sejalan dengan keterangan saksi lain yang juga dihadirkan dalam sidang e-KTP kemarin. Yakni Mujdi Rachmat Kurniawan yang berasal dari PT Softob Technology Indonesia. ”Saya ke sana (Ruko Graha Mas Fatmawati) lebih dari satu kali,” kata dia. Kesaksian itu serupa dengan yang tertera dalam surat dakwaan.
Menurut Kurniawan, sejumlah pertemuan di Ruko Graha Mas Fatmawati yang dia hadiri membahas teknis pengerjaan proyek e-KTP. ”Banyaknya mendengarkan presentasi,” kata dia. Dalam pertemuan di ruko tersebut juga hadir pihak lain yang berasal dari berbagai perusahaan. Namun, Kurniawan tidak bisa menyebutkan satu per satu. ”Saya nggak ingat,” tambahnya. Yang pasti dia datangkan sebagai perwakilan dari perusahaannya.
Disamping Olly dan Irvanto, JPU KPK juga turut menghadirkan delapan saksi lain untuk terdakwa Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil) Kemendagri Sugiharto dan Direktur Jenderal (Dirjen) Dukcapil Kemendagri Irman. Di antaranya Mahmud, Henry Manik, Toto Prasetyo, Djoko Kartiko Krisno, dan Mayus Bangun.
Selain itu, Direktur PT Avidisc Crestec Interindo Wirawan Tanzil pun turut dihadirkan. Di awal sidang, JPU KPK memberondong sejumlah pertanyaan kepada Wirawan. Kepada Jaksa, Wirawan menjelaskan soal keberadaan Setnov dibalik Konsorsium Murakabi Sejahtera. Dia mengetahui konsorsium tersebut berkaitan dengan Setya Novanto dari Johanes Richard Tanjaya alias Johanes Tan. ” Dia sebut itu perusahaan ada hubungan sama Setya Novanto,” kata dia.
Johanes adalah direktur PT Java Trade Utama yang juga turut bergabung sebagai anggota dalam Konsorsium Murakabi Sejahtera. Johanes pula yang mengajak Wirawan bergabung dengan konsorsium tersebut. Namun Wirawan menolak tawaran bergabung lantaran mencium gelagat tidak baik. ”Saya diajak gabung ke Konsorsium Murakabi (Sejahtera). Tapi, saya tolak. Saya mengundurkan diri. Saya lihat situasinya tidak enak,” ujarnya.
Ketika menyatakan hendak mundur, Yohanes Tan sempat menyampaikan bahwa keputusan itu beresiko. ”Jangan tinggalin, nanti dimusihin,” kata Wirawan menirukan pernyataan Yohanes Tan. Namun, dia tetap memilih mundur. Disamping mendapat informasi mengenai keberadaan Setya Novanto dibalik Konsorsium Murakabi Sejahtera, Wirawan juga tidak sepakat dengan Andi Narogong. Sebab salah satu tersangka proyek e-KTP itu meminta dirinya mengatur harga. ”Terlalu tinggi,” imbuhnya. (syn/)