CHANDRA-SATWIKAJAWA-POS_Jawa-Pos-1 |
Dua mobil masa depan itu dipamerkan Dahlan di halaman Gedung Graha Pena Surabaya. Dia ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mobil listrik itu benar-benar ada, bukan di awang-awang. Dia juga ingin menegaskan, jika didukung pemerintah, anak negeri pun mampu mewujudkan mobil listrik seperti halnya Tesla.
’’Yang ini (Tesla) risetnya triliunan rupiah dan didukung pemerintah Amerika. Sedangkan Selo tidak didukung pemerintah Amerika,’’ kata Dahlan sambil bercanda kepada sejumlah awak media.
Jurnalis yang mendengar itu sempat mengira Dahlan salah bicara. ’’Maksudnya tidak didukung pemerintah Indonesia, Pak?’’ tanya seorang jurnalis. ’’Bukan, pemerintah Amerika,’’ jawab Dahlan, lalu disambut tawa orang-orang yang sedang melihat Tesla dan Selo.
Dari sisi kecanggihan, Tesla model S dan Selo memang berbeda. Namun, jika mendapat dukungan pemerintah, bukan tidak mungkin ketertinggalan teknologi itu bisa dikejar.
Dahlan mengakui, saat ini Indonesia sudah tertinggal dalam hal pengembangan mobil listrik. Namun, itu masih mungkin dikejar. ’’Sebenarnya saya memikirkan pentingnya Indonesia memproduksi mobil listrik sejak empat tahun lalu,’’ katanya. Namun, hal tersebut malah dihambat. ’’Ada hambatan karena sekarang ini saya kena perkara mobil listrik sehingga praktis kita kehilangan waktu empat tahun,’’ lanjutnya.
Bagi mantan menteri BUMN itu, waktu empat tahun tersebut sangat berharga. Terbukti, sejumlah negara sudah melesat dalam pengembangan mobil listrik. ’’Bahkan, Thailand sekarang sudah sangat memikirkan mobil listrik,’’ ungkapnya.
Untuk membuktikan perkembangan mobil listrik dunia, Dahlan sengaja membeli Tesla. Yang dipilih adalah model S full option (semua komponennya yang terbaik). ’’Jadi, saya membeli ini bukan ingin punya Tesla atau harus punya Tesla. Biar masyarakat Indonesia tahu bahwa mobil listrik buatan Amerika sudah sedemikian majunya,’’ tegas mantan Dirut PT PLN tersebut.
Menurut Dahlan, Indonesia harus bangkit dari ketertinggalan saat ini. Jika tidak, Indonesia akan makin tertinggal lebih jauh. Padahal, mobil listrik merupakan keniscayaan.
Masa depan teknologi mobil listrik, menurut dia, tidak terbendung. Hal itu dibuktikan dengan kapitalisasi Tesla yang melebihi Ford. Saat ini Tesla baru memproduksi sekitar 700 ribu mobil listrik. Sedangkan Ford dalam setahun memproduksi 7 juta mobil (berbahan bakar minyak/BBM). Namun, nilai pasar perusahaan Tesla lebih besar daripada Ford.
’’Kenapa bisa begitu? Ya karena orang percaya Tesla itu punya masa depan. Sedangkan mobil bensin akan menjadi masa lalu,’’ ujar Dahlan.
Dia menyatakan, jika Indonesia masih berpikir mewujudkan mobil nasional konvensional, itu sangat tertinggal. Dia mengibaratkan sebuah perlombaan maraton. Negara-negara yang memproduksi mobil konvensional saat ini sudah mencapai finis, sedangkan Indonesia baru akan memulai. ’’Jadi, sulit terkejar,’’ kata Dahlan. Berbeda dengan mobil listrik, ketertinggalan Indonesia dari negara lain tidak terlalu jauh.
Dalam kesempatan tersebut, Dahlan juga menegaskan, ide dan dukungannya terhadap mobil listrik bukan untuk kepentingan pribadinya. ’’Saya tegaskan, saya tidak akan bisnis mobil listrik. Saya hanya ingin menggerakkan Indonesia, harus mampu memproduksi mobil listrik,’’ katanya.
Dia mempersilakan siapa pun yang ingin berbisnis mobil listrik. Karena itu, iklim mobil listrik di Indonesia harus dibangun. Sejak empat tahun lalu, Dahlan memang mencetuskan ide riset mobil listrik. Saat itu Dahlan dengan menggunakan uang pribadinya sudah membiayai riset-riset pengembangan mobil listrik yang dilakukan putra-putra terbaik Indonesia.
Ide Dahlan itu lalu ditangkap pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengundang keterlibatan kampus-kampus. Roadmap pengembangan mobil listrik nasional pun dibuat. Saat itu pemerintah juga menugaskan Dahlan untuk membuat prototipe mobil listrik guna keperluan APEC 2013.
Sayang, konsep brilian itu kini terhambat. Dahlan sebagai pencetus mobil listrik justru diperkarakan oleh Kejaksaan Agung. Dia dianggap bersalah dalam pembuatan prototipe mobil listrik untuk APEC 2013. Padahal, pembuatan prototipe itu tidak menggunakan dana APBN.
Sumber dananya diambilkan dari dana sponsorship tiga perusahaan BUMN. Sejumlah pakar menilai, jika ada kesalahan, perkara tersebut lebih ke persoalan perdata. Karena itu, menjadikan Dahlan sebagai tersangka dianggap terlalu memaksakan diri. (atm/tel/c5/nw)