ILUSTRASIILUSTRASI |
Daryono, 39, warga Desa Maribaya mengatakan, munculnya panti pijat atau biasa ditulis di depan tempat usaha dengan nama pijat tradisional hampir berbarengan dengan rencana penutupan lokalisasi di jalur pantura. Umumnya, pemilik usaha menggunakan nama pijat tradisional dan memilih lokasi yang berada di pinggir jalan agar mudah dijangkau pengunjung.
Menurutnya, memang ada yang benar-benar menjalankan usaha secara positif. Tetapi, untuk tempat usaha baru belum bisa dipastikan. Biasanya, lanjut dia, ada dua tipe usaha pijat. Yang pertama yaitu betul-betul pijat tradisional dan satunya sekedar berkamuflase karena yang menjadi terapis rata-rata wanita muda. Memang, sejauh ini keberadaan usaha tersebut belum mengganggu warga karena mereka memilih lokasi yang cukup jauh dari pemukiman. Hanya saja, keberadaan usaha tersebut harus dipantau dengan ketat. Termasuk perizinan yang harus dimiliki agar ke depan tidak disalahgunakan.
“Bisa dilihat, sekarang mulai muncul pijat tradisional baru yang ada di jalur pantura,” jelasnya.
Sugeng, 41, warga Desa Purwahamba menambahkan, keberadaan pijat tradisional atau lazim dikenal dengan istilah panti pijat memang sudah lama ada di sepanjang jalur pantura. Hanya saja, jumlahnya saat ini mulai bertambah dan bisa dilihat dari plang yang dipasang oleh pemilik usaha. Sebagai warga, jika usaha tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan agama, maka tidak menjadi persoalan.
Tetapi, jika ada indikasi terjadinya peyimpangan maka dinas terkait harus mengambil tindakan tegas. Jangan sampai pijat tradisional disalahgunakan sebagai tempat prostitusi terselubung dan kejadian seperti itu bukan rahasia lagi karena banyak dijumpai. Untuk jalur Pantura Kabupaten Tegal, sedikitnya ada 8 usaha pijat tradisional. Padahal sebelumnya hanya 3 atau 4 tempat dimana salah satu tempat terbesar justru sudah tutup dan sekarang yang terlihat adalah tempat yang baru.
“Untuk pengunjung, sepengetahuan kami saat ini belum begitu ramai,” tandasnya. (gun/ima)