JAKARTA- Pakar hukum pidana Teuku Nasrullah menuturkan, bila melihat dakwaan dan saksi yang dihadirkan oleh JPU, semuanya memang mendukung adanya penistaan agama. Yang menjadi aneh, penuntut umum tidak lagi berpegang pada alat bukti yang dihadirkan sendiri. ’’Bahkan cenderung tidak sependapat dengan keterangan saksi yang dia hadirkan. Kan aneh,’’ ujarnya kemarin.
Sebaliknya, majelis hakim malah berpegang pada saksi-saksi dan ahli yang dihadirkan JPU. Sehingga, putusannya pun berbeda dengan tuntutan yang disampaikan JPU. Menurut dia, dalam hal ini hakim tidak ultra petita. Sebab, putusan hakim tidak melampaui isi surat dakwaan.
Dia menjelaskan, dalam surat dakwaan tersebut tercantum dua pasal alternatif. Yakni, pasal 156a dan 156 KUHP. Baik jaksa maupun hakim sepakat bahwa yang dilakukan terdakwa masuk ranah pidana. ’’Hanya saja, Jaksa menganggap terbuktinya dengan penistaan golongan, pasal 156. Sedangkan hakim menganggap terbukti penistaan agama,’’ lanjutnya.
Dalam hal ini, hakim konsisten dengan putusan-putusan yang dikeluarkan lembaga peradilan sebelumnya. Perbuatan Ahok dinilai menistakan agama. ’’Sedangkan Jaksa ada perubahan politik penegakan hukum,’’ tutur Nasrullah.
Dia mencontohkan, kasus-kasus seperti Permadi, Arswendo, Ahmad Musadeq, seluruhnya dituntut dnegan penistaan agama. Namun, dalam kasus Ahok, Jaksa justru mengatakan perbuatan Ahok bukan pidana penistaan agama. Itulah yang dia sebut sebagai perubahan politik penegakan hukum.
Sementara itu, Sosiolog Imam Prasodjo cenderung melihat ada tantangan besar bagi lembaga hukum ke depan. Beberapa waktu belakangan, sejumlah kasus hukum diwarnai oleh aksi massa. Baik dari pihak yang pro maupun kontra. Jaksa maupun hakim harus membuktikan bahwa tuntutan maupun putusan yang disampaikan tidak terpengaruh oleh emosi massa.
Saat ini, tutur Imam, ada kecenderungan hukum digunakan untuk memfasilitasi luapan kemarahan. Jaksa maupun hakim, punya potensi menuntut dan memutus tidak semata-mata berdasarkan materi kasusnya. ’’Tapi lebih ke lingkungan yang didasari kesadaran emosional,’’ tuturnya.
Dalam kasus Ahok misalnya, ketika jaksa menyampaikan tuntutan, maka muncul anggapan memihak salah satu kubu. Kemudian, ketika hakim memutus berbeda dengan jaksa, dianggap memihak kubu yang satunya. Hal itu diperparah dengan munculnya media sosial, di mana setiap orang bisa menyuarakan opininya tanpa filter.
Menurut dia, apa yang terjadi saat ini harus bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak. Konflik yang menyerempet hal-hal yang menyangkut harga diri, terlebih agama, memang sarat dengan emosi dan ketersinggungan. ’’Sebaiknya kita lebih berhati-hati dalam berinteraksi kalau sudah kaitannya menyinggung hal-hal yang menyangkut harga diri atau kesakralan,’’ lanjutnya.
Ke depan, tantangan hukum tidak lagi sekadar potensi intervensi pemerintah. Namun juga potensi intervensi massa. ’’Apalagi kalau mobilisasi massa itu berpotensi menimbulkan konflik terbuka di jalanan,’’ tambahnya. (byu)
Sebaliknya, majelis hakim malah berpegang pada saksi-saksi dan ahli yang dihadirkan JPU. Sehingga, putusannya pun berbeda dengan tuntutan yang disampaikan JPU. Menurut dia, dalam hal ini hakim tidak ultra petita. Sebab, putusan hakim tidak melampaui isi surat dakwaan.
Dia menjelaskan, dalam surat dakwaan tersebut tercantum dua pasal alternatif. Yakni, pasal 156a dan 156 KUHP. Baik jaksa maupun hakim sepakat bahwa yang dilakukan terdakwa masuk ranah pidana. ’’Hanya saja, Jaksa menganggap terbuktinya dengan penistaan golongan, pasal 156. Sedangkan hakim menganggap terbukti penistaan agama,’’ lanjutnya.
Dalam hal ini, hakim konsisten dengan putusan-putusan yang dikeluarkan lembaga peradilan sebelumnya. Perbuatan Ahok dinilai menistakan agama. ’’Sedangkan Jaksa ada perubahan politik penegakan hukum,’’ tutur Nasrullah.
Dia mencontohkan, kasus-kasus seperti Permadi, Arswendo, Ahmad Musadeq, seluruhnya dituntut dnegan penistaan agama. Namun, dalam kasus Ahok, Jaksa justru mengatakan perbuatan Ahok bukan pidana penistaan agama. Itulah yang dia sebut sebagai perubahan politik penegakan hukum.
Sementara itu, Sosiolog Imam Prasodjo cenderung melihat ada tantangan besar bagi lembaga hukum ke depan. Beberapa waktu belakangan, sejumlah kasus hukum diwarnai oleh aksi massa. Baik dari pihak yang pro maupun kontra. Jaksa maupun hakim harus membuktikan bahwa tuntutan maupun putusan yang disampaikan tidak terpengaruh oleh emosi massa.
Saat ini, tutur Imam, ada kecenderungan hukum digunakan untuk memfasilitasi luapan kemarahan. Jaksa maupun hakim, punya potensi menuntut dan memutus tidak semata-mata berdasarkan materi kasusnya. ’’Tapi lebih ke lingkungan yang didasari kesadaran emosional,’’ tuturnya.
Dalam kasus Ahok misalnya, ketika jaksa menyampaikan tuntutan, maka muncul anggapan memihak salah satu kubu. Kemudian, ketika hakim memutus berbeda dengan jaksa, dianggap memihak kubu yang satunya. Hal itu diperparah dengan munculnya media sosial, di mana setiap orang bisa menyuarakan opininya tanpa filter.
Menurut dia, apa yang terjadi saat ini harus bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak. Konflik yang menyerempet hal-hal yang menyangkut harga diri, terlebih agama, memang sarat dengan emosi dan ketersinggungan. ’’Sebaiknya kita lebih berhati-hati dalam berinteraksi kalau sudah kaitannya menyinggung hal-hal yang menyangkut harga diri atau kesakralan,’’ lanjutnya.
Ke depan, tantangan hukum tidak lagi sekadar potensi intervensi pemerintah. Namun juga potensi intervensi massa. ’’Apalagi kalau mobilisasi massa itu berpotensi menimbulkan konflik terbuka di jalanan,’’ tambahnya. (byu)