Setyo wuwuh/temanggung ekspres |
Tradisi nyadran menjelang bulan Ramadhan, bagi warga Dusun Demangan Desa Candimulyo Kecamatan Kedu dianggap lebih sakral dari pada perayaan Idul Fitri. Saat ritual ini dilakukan sebagian perantau menyempatkan diri pulang kampung, namun saat Lebaran warga belum tentu mudik.
-------------------
SETYO WUWUH Kedu
-----------------------
Hari Jumat Kliwon pada bulan Ruwah (penanggalan Jawa), menjadi hari yang sangat dinanti-nanti bagi warga Dusun Demangan Desa Candimulyo Kecamatan Kedu, baik yang tinggal di kampung halaman maupun yang diperantauan.
Sebab pada hari tersebut tradisi nyadran (selamatan) menjelang bulan Ramadhan dilaksanakan di makam kiai Demang dusun setempat. Tidak hanya warga setempat saja, ratusan warga dari desa lain juga turut mengikuti tradisi yang konon sudah berumur ratusan tahun ini.
“Warga asli Dusun Demangan bisa dipastikan akan pulang saat tradisi nyadran ini dilaksanakan, kalau Lebaran belum tentu pulang,” ungkap Sumasis (51) wakil ketua panitia tradisi nyadran kemarin.
Bahkan katanya, warga bukan kelahiran Demangan pun juga ikut dalam tradisi ini, mereka datang dari beberapa kota seperti Yogyakarta, Semarang, Ambarawa, Magelang dan beberapa daerah lainnya.
“Ada yang menginap dirumah warga, mereka memang sudah setiap tahun mengikuti prosesi tradisi nyadaran ini,” katanya.
Menurutnya, tradisi nyadran selain merupakan momen untuk mendoakan para leluhur, juga menjadi momen pertemuan bagi seluruh warga untuk berkumpul dan berinteraksi. Mereka makan bersama usai ritual nyadran dilakukan.
Romidi, (63), juru kunci makam Kiai Demang mengatakan, nyadran menjadi tradisi dan ritual yang wajib dilakukan warga Dusun Demangan, jika pada bulan Ruwah tidak ada hari Jumat Kliwon maka nyadran akan dilakukan pada bulan Rejeb.
“Ini memang sudah jalan turun temurun, nyadran memang harus dilakukakn pada hari Jumat Kliwon menjelang Puasa, kalau tidak bulan Ruwah ya dilakukan di bulan Rejep,” terangnya.
Menurutnya, sebagai ungkapan rasa syukur warga, pasa tradisi nyadran ini warga membawa beberapa makanan seperti, tumpeng, ingkung, daging kambing dan beberapa jenis makanan lainya.
Makanan tersebut oleh warga dikemas dan dibawa dengan mengunakan tenongan, sebelum di doakan, makanan yang dibawa oleh warga ini akan dibagikan kepada semua pengunjung yang ikut dalam prosesi nyadran ini.
“Seluruh makanan yang disajikan hari itu tidak boleh dicicipi. Adatnya memang begitu. Makanan-makanan yang disajikan untuk nyadran itu tidak boleh dicicipi. Kami percaya bahwa apabila sampai melanggar hal itu, maka musibah akan muncul,” ungkap Romidi.
Menurutnya, nyadaran hanya sebuah tradisi turun temurun yang wajib dilestarikan, melalui nyadran ini secara bersama-sama warga meminta ampunan dan keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa.
“Kami tidak meminta kepada arwah leluhur, tapi kami meminta kepada Allah SWT, hanya saja tempatnya memang dimakam. Ini memang sengaja dilakukan agar masyarakat bisa mengetahui, pada akhirnya akan kembali ke tanah,” tutupnya.(*)