JAKARTA – Desakan untuk mengevaluasi lebih dalam kinerja Kejaksaan Agung terus mengemuka. Khususnya setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap jaksa Kejati Bengkulu Parlin Purba. Jaksa Parlin menerima suap Rp 10 juta dari total komitmen lebih dari Rp 150 juta.
Pakar Hukum Pidana Abdul Ficar Hadjar menjelaskan, Kejagung sebenarnya pernah membuat sebuah satgas yang mirip dengan KPK. Yakni Tim Pengawal Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D). Namun, semangatnya hanya di awal, setelah itu hilang semua. ”Maka tidak heran kalau yang menjadi sasaran OTT saat ini banyak ke Jaksa,” tuturnya.
Soal penyebab Jaksa main sering korupsi, dia meyakini bahwa korupsi itu sudah budaya yang dilakukan pejabat. Entah PNS atau yang penegak hukum seperti jaksa. Maka dari itu, sangat tidak cukup menangani budaya korupsi dengan meningkatkan pendapatan penegak hukum, seperti remunerasi.
”Remunerasi bertambah, korupsi tetap bakal jalan juga. Jadi, tidak ngaruh,” paparnya.
Solusi utamanya, sebenarnya perlu pemimpin yang tegas dan anti korupsi untuk Kejagung. ”Kalau Jaksa Agungnya Baharuddin Lopa ya Kejagung akan bersih. Kalau atasan tidak bersih, bagaimana dengan bawahan,” ujarnya.
Dalam kurun dua tahun terakhir setidaknya sudah tiga kali ini KPK berurusan dengan jaksa-jaksa yang menerima suap. Pada April 2016, jaksa Kejati Jawa Barat Deviyanti Rochaeni dan jaksa Kejati Jawa Tengah yang sebelumnya bertugas di Kejati Jawa Barat Fahri Nurmallo ditangkap KPK.
Pada Maret 2016, KPK dikabarkan juga memeriksa Kajati DKI Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu. Belakangan mereka dijadikan saksi pada dugaan suap USD 148 ribu untuk menghentikan kasus di Kejati DKI Jakarta. Sedangkan satu jaksa yang tertangkap dalam OTT KPK di Bengkulu pada Jumat (9/6) lalu.
Ada satu lagi jaksa di Kejati Jatim bernama Ahmad Fauzi yang ditangkap oleh tim saber pungli kejaksaan karena menerima suap. Namun, rupanya Fauzi juga dalam incaran KPK.
Sekretaris Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak semakin banyaknya jaksa yang tertangkap suap itu sudah seharusnya pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas pada Komjak. Misalnya sampai pada tahap investigasi dan penindakan. “Kalau kami punya kewenangan ini, kami bisa turun menciptakan pengawasan berlapis-lapis. Biar Jaksa takut untuk berbuat curang,” ujarnya.
Barita berharap penguatan kewenangan Komjak bisa diwujudkan dalam agenda reformasi hukum jilid II yang dijanjikan pemerintah pada tahun 2017 ini. Dia juga meuturkan evaluasi terhadap Jaksa Agung, sudah perlu dilakukan presiden. Hal tersebut berlaku tidak hanya pada Jaksa Agung, tapi juga seluruh anggota Kabinet. “Kalau evaluasi presiden itu tidak cuma bulanan, bahkan harian,” katanya.
Selain itu, Kejagung juga harus mengevaluasi internal mereka. Mulai dari penerapan Standard Operating Procedure (SOP) penanganan perkara. Terutama pada level penyelidikan dan bahan pengumpulan bahan keterangan. Celahnya, ada kesempatan komunikasi antara jaksa pemeriksa dan orang diperiksa. ”Kesempatan ini kerap digunakan untuk melakukan praktek menyimpang. Tentu saja kita juga harus melihat kasus per kasus,” katanya.
Kejagung harus secara konsisten melakukan audit SDM. Terutama tidak lagi menempatkan oknum yang terindikasi pernah terkena hukuman disiplin pada jabatan strategis. Yang ketiga, Kejagung juga harus mulai menumbuhkan budaya jaksa mengawasi jaksa. Seorang jaksa turut mengawasi rekannya.
Perlu juga dibentuk sebuah satuan khusus anti fraud (kecurangan) yang berfungsi untuk mengawasi setiap gerak-gerik jaksa. “Jadi setiap oknum dimonitoring secara terus menerus,” katanya.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Johan Budi menuturkan selama ini presiden sebenarnya juga terus mengevaluasi kinerja Jaksa Agung. Evaluasi itu rutin dilakukan bersama dengan evaluasi untuk anggota kabinet lainnya.
”Setiap saat melakukan (evaluasi) itu. kinerja pada masing-masing pembantu presiden dan menteri. Itu yang dijadikan tolak ukur berhasil atau tidak,” ungkap dia kemarin (11/6).
Namun dia perlu meberikan padangan bahwa meskipun ada beberapa jaksa yang terkena operasi tangkap tangan tidak berarti otomatis kinerja Jaksa Agung M Prasetyo buruk. Sehingga perlu diganti. Dia menyebutkan ada mekanisme mengawasan di internal kejaksaan yang mestinya bekerja. ”Semua persoalan tidak bisa begitu saja ditumpukan pada jaksa agung,” jelasnya. (idr/tau/jun)
Pakar Hukum Pidana Abdul Ficar Hadjar menjelaskan, Kejagung sebenarnya pernah membuat sebuah satgas yang mirip dengan KPK. Yakni Tim Pengawal Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D). Namun, semangatnya hanya di awal, setelah itu hilang semua. ”Maka tidak heran kalau yang menjadi sasaran OTT saat ini banyak ke Jaksa,” tuturnya.
Soal penyebab Jaksa main sering korupsi, dia meyakini bahwa korupsi itu sudah budaya yang dilakukan pejabat. Entah PNS atau yang penegak hukum seperti jaksa. Maka dari itu, sangat tidak cukup menangani budaya korupsi dengan meningkatkan pendapatan penegak hukum, seperti remunerasi.
”Remunerasi bertambah, korupsi tetap bakal jalan juga. Jadi, tidak ngaruh,” paparnya.
Solusi utamanya, sebenarnya perlu pemimpin yang tegas dan anti korupsi untuk Kejagung. ”Kalau Jaksa Agungnya Baharuddin Lopa ya Kejagung akan bersih. Kalau atasan tidak bersih, bagaimana dengan bawahan,” ujarnya.
Dalam kurun dua tahun terakhir setidaknya sudah tiga kali ini KPK berurusan dengan jaksa-jaksa yang menerima suap. Pada April 2016, jaksa Kejati Jawa Barat Deviyanti Rochaeni dan jaksa Kejati Jawa Tengah yang sebelumnya bertugas di Kejati Jawa Barat Fahri Nurmallo ditangkap KPK.
Pada Maret 2016, KPK dikabarkan juga memeriksa Kajati DKI Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu. Belakangan mereka dijadikan saksi pada dugaan suap USD 148 ribu untuk menghentikan kasus di Kejati DKI Jakarta. Sedangkan satu jaksa yang tertangkap dalam OTT KPK di Bengkulu pada Jumat (9/6) lalu.
Ada satu lagi jaksa di Kejati Jatim bernama Ahmad Fauzi yang ditangkap oleh tim saber pungli kejaksaan karena menerima suap. Namun, rupanya Fauzi juga dalam incaran KPK.
Sekretaris Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak semakin banyaknya jaksa yang tertangkap suap itu sudah seharusnya pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas pada Komjak. Misalnya sampai pada tahap investigasi dan penindakan. “Kalau kami punya kewenangan ini, kami bisa turun menciptakan pengawasan berlapis-lapis. Biar Jaksa takut untuk berbuat curang,” ujarnya.
Barita berharap penguatan kewenangan Komjak bisa diwujudkan dalam agenda reformasi hukum jilid II yang dijanjikan pemerintah pada tahun 2017 ini. Dia juga meuturkan evaluasi terhadap Jaksa Agung, sudah perlu dilakukan presiden. Hal tersebut berlaku tidak hanya pada Jaksa Agung, tapi juga seluruh anggota Kabinet. “Kalau evaluasi presiden itu tidak cuma bulanan, bahkan harian,” katanya.
Selain itu, Kejagung juga harus mengevaluasi internal mereka. Mulai dari penerapan Standard Operating Procedure (SOP) penanganan perkara. Terutama pada level penyelidikan dan bahan pengumpulan bahan keterangan. Celahnya, ada kesempatan komunikasi antara jaksa pemeriksa dan orang diperiksa. ”Kesempatan ini kerap digunakan untuk melakukan praktek menyimpang. Tentu saja kita juga harus melihat kasus per kasus,” katanya.
Kejagung harus secara konsisten melakukan audit SDM. Terutama tidak lagi menempatkan oknum yang terindikasi pernah terkena hukuman disiplin pada jabatan strategis. Yang ketiga, Kejagung juga harus mulai menumbuhkan budaya jaksa mengawasi jaksa. Seorang jaksa turut mengawasi rekannya.
Perlu juga dibentuk sebuah satuan khusus anti fraud (kecurangan) yang berfungsi untuk mengawasi setiap gerak-gerik jaksa. “Jadi setiap oknum dimonitoring secara terus menerus,” katanya.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Johan Budi menuturkan selama ini presiden sebenarnya juga terus mengevaluasi kinerja Jaksa Agung. Evaluasi itu rutin dilakukan bersama dengan evaluasi untuk anggota kabinet lainnya.
”Setiap saat melakukan (evaluasi) itu. kinerja pada masing-masing pembantu presiden dan menteri. Itu yang dijadikan tolak ukur berhasil atau tidak,” ungkap dia kemarin (11/6).
Namun dia perlu meberikan padangan bahwa meskipun ada beberapa jaksa yang terkena operasi tangkap tangan tidak berarti otomatis kinerja Jaksa Agung M Prasetyo buruk. Sehingga perlu diganti. Dia menyebutkan ada mekanisme mengawasan di internal kejaksaan yang mestinya bekerja. ”Semua persoalan tidak bisa begitu saja ditumpukan pada jaksa agung,” jelasnya. (idr/tau/jun)