JAKARTA— Kendati banyak protes atas terbitnya Perppu 2/2017 tentang organisasi masyarakat (Ormas), Polri akan tetap menjalankan amanat perppu tersebut. Bahkan, Polri menilai Perppu tersebut akan lebih menjamin situasi keamanan dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan ormas.
Kabagpenum Divhumas Polri Kombespol Martinus Sitompul menjelaskan, sebagai bagian dari aparatur pemerintah tentu Polri mendukung penuh peraturan pemerintah pengganti undang- undang (Perppu) tersebut. Perppu tersebut akan lebih membantu operasional Polri bila menghadapi adanya gangguan dari ormas. ”Polisi harus memiliki dasar hukum yang tepat untuk melakukan penegakan hukum,” ujarnya.
Perppu tersebut akan lebih menjamin kebhinekaan dan berkerjanya pancasila. Sehingga, suasana kehidupan masyarakat akan lebih terjamin, terutama untuk kebutuhan mendapatkan keamanan dan ketertiban. ”Masyarakat jadi tidak terganggu dengan ormas,” jelasnya.
Ormas-ormas yang asaz dan tujuannya melanggar perppu tersebut tentu akan bisa dipidana. Sehingga, Polri bisa memastikan dalam melindungi kedaulatan NKRI. ”Kita kan mengakui kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya mantan kabidhumas Polda Metro Jaya tersebut.
Menkominfo Rudiantara mengatakan, banyak yang mengira Perppu Ormas itu adalah sesuatu yang baru. Padahal menurutnya Perppu Ormas itu adalah UU 17/2013 tentang Ormas. "Karena penanganan di UU 17/2013 itu terlalu lama, maka perlu dilakukan beberapa penyesuaian," kata dia usai mengikuti Deklarasi Anti Radikalisme di kampus Unpad Bandung kemarin.
Rudiantara mengatakan di aturan yang sebelumnya, membutuhkan waktu lima sampai enam bulan. Waktu sepanjang itu, bisa digunakan untuk melakukan kegiatan bertentangan dengan Pancasila secara lebih kuat.
Dia menegaskan Perppu Ormas itu sama sekali tidak melanggar semangat demokrasi. Sebab tetap melalui proses pengadilan juga. Perbedaan yang mencolok hanya waktu untuk penindakannya. Dari yang semula butuh berbulan-bulan, menjadi tujuh hari saja.
Kemudian soal pemblokiran website dari ormas yang bertentangan dengan Pancasila atau website negatif lainnya, kini semakin mudah. Rudiantara mengatakan sudah memberikan "kartu merah" kepada tiga lembaga. Yakni Kepala BNPT, Kapolri, dan Kepala BIN. "Ketiga kepala lembaga itu tinggal bilang ke staf saya, website sudah bisa diblokir," katanya.
Sementara Penerbitan Perppu ditentang oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka menyebut Perppu itu tidak jauh berbeda dengan langkah orde baru yang mengekang kebebasan berserikat dan berkumpul.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menuturkan penerbitan Perppu itu harus dalam kondisi genting yang memaksa. Salah satu indikasinya adalah kekosongan hukum. Tapi, dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) itu sudah ada mekanisme pembentukan dan pembubarannya. ”Jadi Perppu itu tidak tepat dikeluarkan karena Indonesia tidak ada kekosongan hukum untuk ormas,” ujar dia kemarin (14/7).
Selain itu, situasi keamanan dalam negeri juga tidak sedang genting atau mendesak untuk penerbitan Perppu. Itu dibuktikan dengan pemerintah yang tidak penetapan semacam status darurat atau keadaan memaksa karena ada ancaman. ”Kita tidak sedang seperti ada ISIS di Filipina. Jadi, pemerintah tidak cukup punya alasan untuk buat Perppu,” tambah dia.
Lebih dari itu, substansi Perppu itu juga penuh masalah. Lantaran memungkinkan pemerintah untuk membubarkan atau membekukan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Dikhawatirkan ada bias kepentingan pemerintah. Seperti menyasar LSM-LSM yang selama ini kritis dengan pemerintah. ”Kondisi seperti ini persis seperti zaman Soeharto atau orde baru. Dengan dalih ancaman pada pancasila bisa membubarkan organisasi,” tegas pengajar di Universitas Paramadina Jakarta itu.
Dia pun meminta agar DPR bisa menolak Perppu tersebut. Sebab, Perppu itu menjadi ancaman bagi demokrasi. ”Ini blunder juga bagi Jokowi sebenarnya. Padahal, dia mengkampanyekan perlindungan HAM dalam nawacitanya,” ujar Al Araf.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang untuk Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menuturkan Perppu itu telah menunjukkan watak insekuritas dan kegagapan negara. Khususnya dalam melihat kebebasan berserikat, berkumpul, dan termasuk tafsir atas situasi kebebasan beropini.
“Keluarnya Perppu ini adalah indikasi buruk atas semangat perlindungan kebebasan-kebebasan fundamental yang sebenarnya dapat dikelola secara dinamis menggunakan alat uji dan fungsi penegakan hukum,” ujar Yati.
Dia mengatakan pemerintah harus bertanggungjawab atas segala kemungkinan dampak buruk yang mungkin saja terjadi karena lahirnya Perppu ini. Termasuk memastikan Perppu itu tidak berdampak pada semakin mengentalnya polarisasi masyarakat di akar rumput. ”Menghentikan segala bentuk jalan pintas yang melangkalahi hukum dan prinsip-prinsip HAM dalam menghadapi dinamika politik dan kebangsaan,” tegas dia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menepis kritik terhadap Perppu Ormas. Dia menegaskan bahwa pemerintah sama sekali tidak memiliki niat untuk bertindak sewenang-wenang dengan perppu tersebut. Apalagi sampai melanggar demokrasi. ”Pemerintah tidak demokratis? Sangat demokratis,” tegasnya.
Meski Perppu Ormas memangkas mekanisme pemberian sanksi dan pencabutan status badan hukum yang tertuang dalam UU Ormas, pemerintah tetap memberi lampu hijau kepada setiap ormas untuk menempuh jalur hukum apabila disanksi namun merasa tidak melanggar ketentuan. ”Tatkala dinyatakan atau dicabut izinnya, masih berhak untuk masuk ke ranah peradilan. Masih berhak untuk menggugat,” jelasnya.
Pejabat asal Jogjakarta itu pun menegaskan, Perppu Ormas dibuat dan diterbitkan bukan untuk menyasar satu ormas tertentu. Melainkan untuk membina ratusan ribu ormas di tanah air agar selaras dengan Pancasil. Pemerintah tidak ingin ada ormas yang menyimpang dari ideologi bangsa yang menjadi dasar NKRI. ”Perppu ini kepentingan mendesak untuk menyelamatkan NKRI,” ungkap dia.
Wiranto memastikan pemerintah tidak akan mendiskreditkan ormas tertentu. Termasuk di antaranya ormas Islam yang belakangan diisukan menjadi target pemerintah. ”Supaya tidak muncul lagi hal-hal yang justru membuat masyarakat bingung,” kata pria yang juga dipercaya mejabat sebagai ketua umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) tersebut.
Mekanisme pemberikan sanksi maupun pencabutan status badan hukum ormas dalam perppu tersebut memang jauh lebih ringkas ketimbang aturan dalam UU Ormas. Namun, kata dia, bukan berarti pemerintah berusaha membatasi ruang gerak ormas. Mereka tetap bebas berserikat dan menyatakan pendapat. ”Tapi, bukan kebebasan tanpa batas. Ada batasan hukum dan UU,” ucap dia mengingatkan. (idr/wan/jun/syn)
Kabagpenum Divhumas Polri Kombespol Martinus Sitompul menjelaskan, sebagai bagian dari aparatur pemerintah tentu Polri mendukung penuh peraturan pemerintah pengganti undang- undang (Perppu) tersebut. Perppu tersebut akan lebih membantu operasional Polri bila menghadapi adanya gangguan dari ormas. ”Polisi harus memiliki dasar hukum yang tepat untuk melakukan penegakan hukum,” ujarnya.
Perppu tersebut akan lebih menjamin kebhinekaan dan berkerjanya pancasila. Sehingga, suasana kehidupan masyarakat akan lebih terjamin, terutama untuk kebutuhan mendapatkan keamanan dan ketertiban. ”Masyarakat jadi tidak terganggu dengan ormas,” jelasnya.
Ormas-ormas yang asaz dan tujuannya melanggar perppu tersebut tentu akan bisa dipidana. Sehingga, Polri bisa memastikan dalam melindungi kedaulatan NKRI. ”Kita kan mengakui kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya mantan kabidhumas Polda Metro Jaya tersebut.
Menkominfo Rudiantara mengatakan, banyak yang mengira Perppu Ormas itu adalah sesuatu yang baru. Padahal menurutnya Perppu Ormas itu adalah UU 17/2013 tentang Ormas. "Karena penanganan di UU 17/2013 itu terlalu lama, maka perlu dilakukan beberapa penyesuaian," kata dia usai mengikuti Deklarasi Anti Radikalisme di kampus Unpad Bandung kemarin.
Rudiantara mengatakan di aturan yang sebelumnya, membutuhkan waktu lima sampai enam bulan. Waktu sepanjang itu, bisa digunakan untuk melakukan kegiatan bertentangan dengan Pancasila secara lebih kuat.
Dia menegaskan Perppu Ormas itu sama sekali tidak melanggar semangat demokrasi. Sebab tetap melalui proses pengadilan juga. Perbedaan yang mencolok hanya waktu untuk penindakannya. Dari yang semula butuh berbulan-bulan, menjadi tujuh hari saja.
Kemudian soal pemblokiran website dari ormas yang bertentangan dengan Pancasila atau website negatif lainnya, kini semakin mudah. Rudiantara mengatakan sudah memberikan "kartu merah" kepada tiga lembaga. Yakni Kepala BNPT, Kapolri, dan Kepala BIN. "Ketiga kepala lembaga itu tinggal bilang ke staf saya, website sudah bisa diblokir," katanya.
Sementara Penerbitan Perppu ditentang oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka menyebut Perppu itu tidak jauh berbeda dengan langkah orde baru yang mengekang kebebasan berserikat dan berkumpul.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menuturkan penerbitan Perppu itu harus dalam kondisi genting yang memaksa. Salah satu indikasinya adalah kekosongan hukum. Tapi, dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) itu sudah ada mekanisme pembentukan dan pembubarannya. ”Jadi Perppu itu tidak tepat dikeluarkan karena Indonesia tidak ada kekosongan hukum untuk ormas,” ujar dia kemarin (14/7).
Selain itu, situasi keamanan dalam negeri juga tidak sedang genting atau mendesak untuk penerbitan Perppu. Itu dibuktikan dengan pemerintah yang tidak penetapan semacam status darurat atau keadaan memaksa karena ada ancaman. ”Kita tidak sedang seperti ada ISIS di Filipina. Jadi, pemerintah tidak cukup punya alasan untuk buat Perppu,” tambah dia.
Lebih dari itu, substansi Perppu itu juga penuh masalah. Lantaran memungkinkan pemerintah untuk membubarkan atau membekukan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Dikhawatirkan ada bias kepentingan pemerintah. Seperti menyasar LSM-LSM yang selama ini kritis dengan pemerintah. ”Kondisi seperti ini persis seperti zaman Soeharto atau orde baru. Dengan dalih ancaman pada pancasila bisa membubarkan organisasi,” tegas pengajar di Universitas Paramadina Jakarta itu.
Dia pun meminta agar DPR bisa menolak Perppu tersebut. Sebab, Perppu itu menjadi ancaman bagi demokrasi. ”Ini blunder juga bagi Jokowi sebenarnya. Padahal, dia mengkampanyekan perlindungan HAM dalam nawacitanya,” ujar Al Araf.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang untuk Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menuturkan Perppu itu telah menunjukkan watak insekuritas dan kegagapan negara. Khususnya dalam melihat kebebasan berserikat, berkumpul, dan termasuk tafsir atas situasi kebebasan beropini.
“Keluarnya Perppu ini adalah indikasi buruk atas semangat perlindungan kebebasan-kebebasan fundamental yang sebenarnya dapat dikelola secara dinamis menggunakan alat uji dan fungsi penegakan hukum,” ujar Yati.
Dia mengatakan pemerintah harus bertanggungjawab atas segala kemungkinan dampak buruk yang mungkin saja terjadi karena lahirnya Perppu ini. Termasuk memastikan Perppu itu tidak berdampak pada semakin mengentalnya polarisasi masyarakat di akar rumput. ”Menghentikan segala bentuk jalan pintas yang melangkalahi hukum dan prinsip-prinsip HAM dalam menghadapi dinamika politik dan kebangsaan,” tegas dia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menepis kritik terhadap Perppu Ormas. Dia menegaskan bahwa pemerintah sama sekali tidak memiliki niat untuk bertindak sewenang-wenang dengan perppu tersebut. Apalagi sampai melanggar demokrasi. ”Pemerintah tidak demokratis? Sangat demokratis,” tegasnya.
Meski Perppu Ormas memangkas mekanisme pemberian sanksi dan pencabutan status badan hukum yang tertuang dalam UU Ormas, pemerintah tetap memberi lampu hijau kepada setiap ormas untuk menempuh jalur hukum apabila disanksi namun merasa tidak melanggar ketentuan. ”Tatkala dinyatakan atau dicabut izinnya, masih berhak untuk masuk ke ranah peradilan. Masih berhak untuk menggugat,” jelasnya.
Pejabat asal Jogjakarta itu pun menegaskan, Perppu Ormas dibuat dan diterbitkan bukan untuk menyasar satu ormas tertentu. Melainkan untuk membina ratusan ribu ormas di tanah air agar selaras dengan Pancasil. Pemerintah tidak ingin ada ormas yang menyimpang dari ideologi bangsa yang menjadi dasar NKRI. ”Perppu ini kepentingan mendesak untuk menyelamatkan NKRI,” ungkap dia.
Wiranto memastikan pemerintah tidak akan mendiskreditkan ormas tertentu. Termasuk di antaranya ormas Islam yang belakangan diisukan menjadi target pemerintah. ”Supaya tidak muncul lagi hal-hal yang justru membuat masyarakat bingung,” kata pria yang juga dipercaya mejabat sebagai ketua umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) tersebut.
Mekanisme pemberikan sanksi maupun pencabutan status badan hukum ormas dalam perppu tersebut memang jauh lebih ringkas ketimbang aturan dalam UU Ormas. Namun, kata dia, bukan berarti pemerintah berusaha membatasi ruang gerak ormas. Mereka tetap bebas berserikat dan menyatakan pendapat. ”Tapi, bukan kebebasan tanpa batas. Ada batasan hukum dan UU,” ucap dia mengingatkan. (idr/wan/jun/syn)