DAMIANUS BRAM/RADAR SOLO |
Dalam kirab tersebut, Joko Tingkir yang diperankan GPH Mangkubumi berhasil mengalahkan buaya dalam perjalanannya menuju Kadipaten Demak. Usai menuntaskan adegan tersebut, Mangkubumi dan panitia lainnya menuju panggung di sisi timur telaga buatan TSTJ. Mereka kemudian membagikan 2.000 ketupat dan 2.000 apem kepada ribuan pengunjung.
"Ketupat yang disebarkan kepada pengunjung memiliki filosofi tersendiri," jelas kerabat Keraton Kasunanan Surakarta KPA Winarno Kusumo.
Menurut dia, dalam bahasa Jawa, ketupat bisa diartikan ngaku lepat (mengaku salah). Karena itu, setiap umat diharapkan bisa menyadari kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Bukan berlomba-lomba mengklaim kebenaran.
"Lebaran ketupat yang biasa dirayakan seminggu setelah Idul Fitri adalah momentum menyadari kesalahan-kesalahan,” jelas pria yang akrab disapa Kanjeng Win.
Sementara itu, tak lebih dari lima menit, ribuan ketupat dan apem tersebut ludes. Sebagian pengunjung TSTJ percaya bahwa ketupat dan apem tersebut membawa berkah. "Tiap tahun saya ke sini (TSTJ,Red) kalau pas Grebeg Syawal. Saya percaya kalau makanan (ketupat dan apem,Red) yang sudah didoakan bisa membawa berkah," ujar Suprapto, warga Bekonang, Sukoharjo.
Direktur Utama TSTJ Bimo Wahyu Widodo Dasir Santoso menerangkan, kirab yang mulai digelar sejak 1976 tetap dipertahankan. "Kirab ini sudah dijadikan event budaya Pemkot Surakarta. Tahun ini, kami sengaja menggabungkan pesta apem dengan ketupat guna memberikan warna berbeda dalam penyelenggaraan kirab," terang Bimo. (ves/wa)