ilustrasi |
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Brigjen Herry Rudolf Nahak menjelaskan, besarnya skala kasus tersebut tentu membuat penyidik berupaya mengembangkan kasus tersebut. Pengembangan mengarah pada siapa saja yang terlibat dalam praktik yang diduga menggunakan skema ponzi. ”Jelas pengembangan, ini kan proses awal,” tuturnya.
Soal siapa saja pihak lain yang terlibat, dia belum bisa terang-terangan. Namun, mengarahnya sebuah kasus pada pihak lain itu berdasarkan bukti. Bila ditemukan bukti adanya orang lain, tentu penyidik tidak tinggal diam. Karena itu dilakukan penggeledahan pada kantor First Travel secara estafet. ”Awalnya, yang ada di TB Simatupang, berlanjut ke kantor yang lain,” jelasnya.
Perlu diketahui, kemarin (13/8) penyidik Dittipidum Bareskrim kembali menggeledah kantor First Travel di Depok, Jawa Barat. Selain menemukan ratusan dokumen, penyidik juga menyita dua buah mobil milik perusahaan tersebut. Penyitaan kedua mobil terkait dengan penerapan pasal tindak pidana pencucian uang.
Apakah ada keterlibatan petugas kementerian? Dia menjelaskan, belum sampai pada indikasi tersebut. Namun, nanti semua akan diketahui saat dirangkai semua kasus tersebut. ”Kita rangkai dulu setiap bagiannya, ini masih awal,” papar mantan Kasubden Investigasi Densus 88 Anti Teror tersebut.
Yang pasti, penyidik tidak mengejar pengakuan dari dua tersangka terkait keterlibatan pihak lain. Dalam sebuah kasus, pengakuan itu merupakan bukti nomor lima. ”Mengaku syukur, tidak mengaku tentu yang bicara adalah bukti. Kami akan beberkan buktinya,” ungkap peraih Adhi Makayasa Akpol 1990 tersebut.
Hingga saat ini yang masih menjadi teka-teki adalah kemana uang Rp 550 miliar tersebut. Penyidik sudah sempat menanyakan soal uang dari 35 ribu jamaah itu pada kedua tersangka. Namun, keduanya masih belum terbuka.
”Kami pelajari dari delapan rekening perusahaan dan pribadi, kemana loncatnya uang-uang itu. Apakah benar digunakan untuk menutupi pemberangkatan umroh untuk jamaah yang pada akhirnya gak bisa bayar lagi atau ke yang lain,” paparnya pada Jawa Pos kemarin.
Bila dilihat dari adanya komplain dari maskapai penerbangan dan pihak hotel, tentunya mengarah pada sesuatu yang lainnya. ”Pihak hotel ini datang langsung lho dari Arab,” paparnya.
Sementara Pakar Hukum Pidana Trisakti Abdul Fickar Hadjar menuturkan, First Travel selama ini menjalankan bisnis umrohnya berdasarkan izin dari Kemenag. Dengan begitu, sebagai pemberi izin juga menimbulkan kewajiban untuk mengawasi. ”Maka, saat pengawasannya lemah dan tidak efektif, Kemenag harus bertanggungjawab terhadap masalah terkait umroh ini,” terangnya.
Masalah yang timbul dalam First Travel sedikit banyak akibat dari pemberian izin oleh Kemenag. Sehingga, Kemenag juga harus menyelesaikan masalah-masalah domino dari First Travel. ”Regulator yang lemah ini tentu bisa dijerat hukum, tapi tidak gampang sepanjang izinnya itu efektif untuk bisnis umroh,” ujarnya.
Apalagi, bila dipelajari ternyata First Travel ini mendapatkan izin sejak 2016. Namun, ternyata jamaah umroh banyak yang sejak 2015 menunggu-nunggu diberangkatkan. ”Tentu ini masalah, mengapa diberikan izin. Apak Kemenag tidak mengetahui jamaah banyak yang tertunda-tunda,” jelasnya.
Di sisi lain, penegakan hukum pada kasus dugaan penipuan First Travel ini memang tidak memihak pada masyarakat. Sebab, potensial membuat perusahaan berhenti beroperasional dan masyarakat dirugikan. Karena itu harusnya ada jalan tengah dimana proses hukum jalan, tapi perusahaan itu tetap harus jalan.
”Biar masyarakat tidak menjadi pihak yang dirugikan. Hukum saat ini harus menjadi solusi atas masalah masyarakat, hukum tidak boleh abai terhadap masalah yang mendera masyarakat,” terangnya dihubungi Jawa Pos kemarin.
Pengamat haji dari UIN Syarif Hidayatullah menjelaskan Kemenag harus segera membuka kanal pengaduan. Jika diperlukan membentuk tim reaksi cepat untuk menindaklanjuti setiap laporan masalah umrah. ’’Sangat disayangkan kasus FT akhirnya memiliki korban banyak. Padahal satu dua tahun lalu gelegat masalahnya sudah ada. Tetapi tidak ada reaksi dari Kemenag,’’ jelasnya.
Ke depan dia berharap Kemenag lebih responsif. Setiap ada penyelenggara travel yang terindikasi nakal, harus secara cepat ditangani. Minimal tidak diperbolehkan dahulu menerima pendaftaran jamaah umrah baru. ’’Selama ini Kemenag terlalu fokus di Haji. Mulai dari penyelenggaraan sampai pengelolaan uang,’’ jelasnya. Dengan adanya Badan Pengelola Dana Haji (BPKH), Dadi berharap Kemenag lebih berkonsentrasi mengawasi travel umrah.
Tetapi dia mengakui tim reaksi cepat ini mungkin belum tertuang dalam regulasi umrah yang ada. Dia berharap upaya reaksi cepat dimasukkan dalam rencana revisi aturan penyelenggaraan umrah.
Sementara itu di internal Kemenag sendiri telah menggulirkan revisi Peraturan Menteri Agama (PMA) 18/2015 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah. Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag Muhadjirin Yanis mengatakan pembahasan atau kajian revisi PMA itu sudah bergulir sejak Juni lalu. Dia menjelaskan revisi ini untuk merespon beragam persoalan penyelenggaraan ibadah umrah yang kian beragam.
’’Secara garis besar revisi PMA terkait dengan regulasi mulai dari permohonan izin travel umrah, akad, standar pelayanan minimal, sampai jenis sanksi yang lebih tegas,’’ tuturnya. Diantara masukan kepada Kemenag adalah, untuk melindungi jamaah tidak boleh ada jadwal pemberangkatan umrah yang ditunda. Jadi pemberangkatan harus sesuai jadwal saat akad. Jika tidak tepat, maka masuk kategori pelanggaran.
Masukan lainnya adalah ketentuan tentang penghimpunan dana dari masyarakat. Saat ini praktik penghimpunan dana oleh travel umrah kepada masyarakat sangat besar. Di dalam regulasi yang sudah ada, Kemenag tidak bisa menindak travel yang melakukan penghimpunan dana. Diantara yang menggunakan modus bayar tahun ini untuk berangkat tahun depan atau bahkan dua tahun lagi.
Menurut Muhdjirin dari masukan itu diharapkan tidak ada lagi travel umrah spekulan. Travel umrah spekulan ini seperti pada kasus First Travel. Menghimpun dana dari masyarakat sebanyak-banyaknya, dengan spekulasi tidak ada gangguan saat pemberangkatan.
Masukan lain yang penting bagi Kemenag adalah soal waiting list dalam umrah. Selama ini tidak ada ketentuan masa tunggu dalam penyelenggaraan umrah. Umrah sudah seperti perjalanan wisata. Pemerintah Arab Saudi tidak menerapkan kuota jamaah umrah, yang bisa berujung adanya antrian. Berbeda dengan haji yang ada kuotanya, sehingga muncul antrian atau waiting list. ’’Kemenag berharap revisi PMA bisa selesai tahun ini juga,’’ jelasnya. (idr/wan)