HD Sriyanto SH MH MM |
Terlebih terdapat dugaan keterlibatan oknum polisi dalam kasus eksekusi itu. Untuk itu pihaknya pun berharap ada tindakan tegas terhadap DC dan para oknum polisi yang terlibat.
Pengacara senior yang berkantor di Jalan Gelora Blok B nomor 12-13 Perum Pejagoan Indah Kecamatan Pejagoan tersebut menegaskan, dalam Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak ada satu pun pasal yang menerangkan tentang eksekusi. Untuk itu pihak Leasing ACC dan DC tidak boleh melakukan tindakan pengambilan secara paksa. “Saat penyerahan barang harus terdapat surat penyerahan yang bermaterai,” tuturnya, Rabu (9/8/2017).
Dalam perjanjian sewa beli, lanjutnya, barang dimaksud sebenarnya masih merupakan milik dari pihak leasing. Adapun mobil yang diatasnamakan seseorang saat perjanjian sewa beli fungsinya hanya untuk memudahkan kepemilikan saat proses pelunasan selesai. Kendati demikian jika terjadi persoalan tidak boleh ada eksekusi sepihak. Eksekusi harus dilakukan oleh pengadilan.
Menurutnya terdapat beberapa hal yang perlu dicermati pada kasus tersebut, diantaranya pengambilan mobil secara sepihak. Selain itu terdapat pula dugaan keterlibatan oknum polisi serta adanya wanprestasi yakni tidak rutinnya Hitta Sari mengangsur. Adanya pengambilan secara paksa (perampasan) jelas tidak sesuai aturan yang ada. Jika itu dilakukan maka pelakunya dapat dikenai ancaman hukuman pidana. Selain itu jika ada keterlibatan oknum polisi pada kegiatan tersebut, jelas merupakan bentuk pelanggaran etika kepolisian dan hal itu harusnya mendapatkan sanksi tegas sesuai dengan aturan institusi Polri.
Selain melanggar etika, jika oknum polisi terlibat langsung maka dapat pula dikenai hukuman pidana, sebab pengambilan secara paksa atau perampasan bertentangan dengan hukum yang ada. Sedangkan adanya wanprestasi yakni tidak rutinnya Hitta Sari mengangsur atau melanggar perjanjian, merupakan ranah hukum Perdata. “Untuk itu satu persatu dari masalah tersebut harus diselesaikan secara tepat,” tegasnya.
Sriyanto menyampaikan adanya keterlibatan oknum polisi dalam hal tersebut, menunjukkan bahwa telah terjadi kemunduran dalam kegiatan kepolisian. Sebab hal itu sudah tidak zamannya lagi dilaksanakan pada era globalisasi seperti saat ini. Praktik kegiatan seperti itu dapat saja melanggar Indisipliner anggota Polri.
“Jika benar, maka apa yang dilaksanakan oknum polisi tersebut, masih sama seperti yang dilakukan pada zaman dulu yakni sekitar tahun 80-90 an. Kalau saat ini ko masih yang melaksanakan itu, tentunya sangat tidak relevan lagi, sebab kini gaji polisi sudah banyak,” kata Sriyanto juga merupakan Purnawirawan Polri.
Dalam kesempatan itu, Sriyanto sedikit menceritakan tentang adanya biaya tarik pada setiap eksekusi barang. Jika barang yang eksekusi merupakan mobil Inova kemungkinan besar biaya tariknya mencapai Rp 15 juta. Adanya biaya tarik itu, bisanya diberikan oleh pihak leasing kepada pihak yang membantu proses penyitaan barang. “Nah beberapa pihak yang membantu biasanya mendapatkan imbalan dari biaya tarik tersebut. Kini semua persoalan terkait penanganan kasus tersebut, tentunya diserahkan kepada pucuk pimpinan tertinggi Polri di wilayah Kebumen dalam hal ini yakni Kapolres Kebumen,” ucapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, bahwa Hitta Sari merasa tidak diperlakukan adil oleh pihak leasing yang menarik secara sepihak mobilnya. Adanya ketidak adilan yang dirasakan membuat Hitta Sari melakukan perlawanan. Persoalan tersebut terus bergulir, bahkan kini tengah ditangani oleh jajaran Polres Kebumen. Pihak Polres Kebumen juga tengah mendalami kemungkinan dugaan keterlibatan anggotanya dalam kasus tersebut. (mam)