Dr. Drs. H. Muhammad Khambali, S.H., M.H. |
Setiap orang yang memenuhi syarat dapat ikut serta. Lelang jabatan mengubah paradigma, dimana pegawai yang berminat duduk di jabatan pimpinan tinggi harus mengajukan dirinya, kemudian dibandingkan dengan kualitas calon yang lain. Instansi pemerintah sebagai pihak yang wajib melakukan lelang jabatan harus mempersiapkan diri menyiapkan perangkat lelang jabatan, baik peraturan pelaksanaannya, maupun organisasi dan personalia pelaksana.
UU ASN dibentuk dengan dasar pemikiran utama bahwa untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik, ASN harus memiliki kompetensi profesional. UU ASN mengatur bahwa promosi ASN dilakukan berdasarkan azas kompetensi, terbuka dan tidak diskriminatif. Adanya kekosongan jabatan dan berbagai masalah berkait ASN menjadikan lelang jabatan sebagai suatu terobosan dalam tata birokrasi. Sebetulnya istilah lelang bukan sesuatu yang biasa dalam etika pemerintahan. Namun karena hal itu sudah jadi peraturan, maka harus dilaksanakan. Lelang jabatan dilakukan untuk jabatan yang bersentuhan langsung dengan publik, agar kompetensi dan profesionalisme yang dibutuhkan didapatkan.
Lelang jabatan yang dikelola oleh sebuah panitia seleksi sesungguhnya telah mengecilkan peran kepala daerah dalam proses mutasi dan promosi ASN di daerahnya. Keadaan ini telah mengenyampingkan fungsi kepala daerah sebagai pengguna sekaligus pembina ASN. Padahal kepala daerahlah pihak yang diasumsikan paling memahami kualifikasi, kompetensi, dan kinerja ASN yang dipimpinnya. Hal tersebut berpotensi terjadi ketidakharmonisan dalam hubungan kerja antarpejabat di daerah.
Istilah Lelang Jabatan
Penggunaan istilah “lelang jabatan” dalam lingkungan pemerintahan adalah keliru, baik secara terminologis maupun dalam praktek admisitrasi kepegawaian. Aktivitas “lelang” hanya berlaku dalam konteks jual-beli dan sangat mengedepankan nilai keuntungan (profit). Dalam pemerintahan, pengisian jabatan selalu dalam konteks pelayanan publik dengan acuan utama pada kompetensi dan profesionalisme. Namun pemerintah sama sekali tidak pernah mengoreksi penggunaan istilah “lelang jabatan”.
Dalam birokrasi pemerintahan, faktor pengalaman, prestasi, kesetiaan, dan kepangkatan tidak dapat dikesampingkan. Semua penilaian atas kompleksitas faktor-faktor tersebut dalam diri setiap pegawai hanya dapat diketahui dan dinilai oleh atasan langsung secara bertingkat. Pelaksanaan pola karier pegawai berdasarkan faktor tersebut tidak dapat diabaikan. Jika diabaikan dapat berimplikasi pada terjadinya ketidakserasian pelaksanaan tugas di lingkungan kerja, yang selanjutnya menyebabkan tidak efisien dan tidak efektif penyelenggaraan pemerintahan.
Pelaksanaan rekrutmen dengan cara lelang jabatan sebaiknya hanya untuk jabatan pimpinan tinggi strategis, baik di tingkat nasional maupun daerah. Dalam lingkup pemerintah daerah, misalnya jabatan Sekretaris Daerah, Kepala Dinas yang mengelola urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, sosial, tramtib, dan perumahan. Pengisian jabatan pimpinan tinggi non-strategis, serta pengisian jabatan administrasi dan jabatan fungsional sebaiknya mempertimbangkan pengembangan karier ASN yang selama ini dijalankan melalui Baperjakat.
Kepala daerah harus tetap memegang kewenangan menyeleksi calon dan membuat keputusan akhir dalam pengisian jabatan tersebut. Keterlibatan pihak luar dalam panitia seleksi sifatnya hanya mendukung dan merekomendasikan. Penilaian mengenai kompetensi teknis bidang sesuai jabatan sebaiknya melibatkan ahli dalam bidangnya.
Plus-Minus Lelang Jabatan
Hal-hal yang dapat menghambat keberhasilan lelang jabatan, antara lain: adanya resistensi dari jajaran pimpinan, biaya yang tidak sedikit yang digunakan untuk pelaksanaannya, biaya seleksi untuk membiayai seleksi psikometri, assessment test, dan interviewa, dan munculnya petualang jabatan yang dilakukan oleh ASN untuk mendapatkan jabatan yang paling menguntungkan baginya.
Akan tetapi, disisi lain lelang jabatan akan menciptakan iklim kompetisi yang sehat, obyektif, transparan, dan bebas intervensi serta mendapatkan pejabat yang memiliki kualifikasi terbaik, kompeten, profesional, berintegritas, penuh inovasi dan memiliki wawasan luas. Hal itu dapat terjadi jika semua pihak, panitia seleksi, peserta, dan kepala daerah membebaskan diri dari belenggu KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Penulis
Dr. Drs. H. Muhammad Khambali, S.H., M.H.
Advokat PERADI, dosen Fak. Hukum Univ. Cokroaminoto Yogyakarta
Alumnus Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UNISSULA Semarang, tinggal di Kebumen.