ILUSTRASIILUSTRASI |
Direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi mengungkapkan ada aturan tegas rumah sakit harus mendahulukan pelayanan pada pasien dalam keadaan gawat darurat yang mengancam nyawa atau kecacatan. Dalam kasus Debora misalnya, yang terdaftar sebagai peserta bukan penerima upah (PBPU) mandiri itu semua klaim biaya bisa diajukan ke BPJS Kesehatan. Meskipun Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat itu belum berkerja sama dengan BPJS Kesehatan.
”Kalau terjadi kesenjangan, belum ditangani secara benar, dia masih belum stabil tapi buru-buru sudah mau dirujuk, karena indikasi uang semata itu kurang bijaksana dan kurang tepat,” ujar Bayu saat ditemui di kantornya Cempaka Putih, kemarin (12/9).
Bayu mengungkapkan perawatan di NICU dan PICU selama pasien dalam kondisi gawat darurat juga akan ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Dalam klausul Indonesia Case Base Groups (Ina-CBGs) itu satu paket perawatan untuk pasien. ”BPJS menanggung Mau di ICU, di PICU, mau apa pokoknya (ditanggung, red),” tegas dia.
Dia menuturkan BPJS Kesehatan tidak bisa berbuat banyak untuk menindak rumah sakit tersebut. Sebab, belum tercatat sebagai mitra.
”Kalau rumah sakit yang bekerja sama baru kita melakukan assesment. Kalau tidak melaksanakan fungsinya bisa kita tinjau kembali (sanksi) sampai peringatan, sampai pemutusan,” ungkap dia.
Bayu juga belum mengetahui detail rencana pengajuan kerjasama RS Mitra Keluarga dengan BPJS Kesehatan. Sebab, saat ini pengajuan kemitraan itu menggunakan sistem aplikasi Health Facilities Information System (Hafis) BPJS Kesehatan. untuk bekerja sama dengan BPJS itu ada tahap penilaian atau assesment yang melibatkan dinas kesehatan setempat, asosiasi profesi, serta asosiasi penyedia fasilisitas klinik. ”Kalau penuhi syarat baru dinilai,” tambah mantan direktur RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung itu.
Koordinator Advokasi BPJS Wacth Timboel Siregar mengatakan sejatinya sudah ada lembaga yang bertugas untuk mengawasi rumah sakit. Yakni Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS). Badan ini dibentuk dengan rujukan UU 44/2019 tentang Rumah Sakit dan PP 49/2013 tentang BPRS.
’’Tetapi sayangnya badan ini tidak terlihat perannya,’’ katanya. Dia berharap BPRS bisa menjadi kontrol untuk menindak layanan buruk rumah sakit. Dia berharap badan ini bisa bekerja maksimal mengawasi kinerja rumah sakit.
Anggota BPRS Daeng Mohammad Faqih mengelak jika BPRS disebut tidak menjalankan tugasnya sebagai pegawasn rumah sakit dengan baik. Dia menegaskan kinerja BPRS itu ada batasannya. ’’Dalam mengawasi kinerja RS, kita sudah ada kaplingannya,’’ pata pimpinan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) itu.
Dia menegaskan bahwa tidak berwenangan menangani masalah-masalah teknis medis di rumah sakit. Seperti masalah penerapan SOP, tindakan medis, obat-obatan, dan keuangan. Untuk tindakan medis oleh dokter, sudah menjadi kewenangan IDI.
Selebihnya kewenangan BPRS adalah pembinaan dan pengawasan (binwas). Diantaranya binwas pemenuhan hak-hak pasien, etika profesi di rumah sakit, dan menerima pengaduan masyarakat. Banyak sekali kasus pengaduan masyarakat yang masuk ke BPRS diakhiri dengan mediasi.
’’Kita memang banyak mendorong upaya mediasi,’’ jelasnya.
Meskipun begitu bukan berarti jika ada keselahan di sebuah rumah sakit mereka diam saja. BPRS berhak mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada pemilik rumah sakit. Misalnya kepada Kemenkes untuk RS pusat dan gubernur, bupati, atau walikota bagi rumah sakit daerah. Bahkan juga ke pengelola atau yayasan untuk RS swasta.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKB Nihayatul Wafiroh menyampaikan kritik kepada Menteri Kesehatan, yang dinilai lamban dalam merespon kasus Debora. Tidak hanya di kasus Debora, Ninik menilai Menkes acapkali terlambat dalam merespon kasus yang berkembang di masyarakat.
”Di kasus rubella, juga lambat sekali. Kalau dicek di website Kementerian Kesehatan isinya cuma kegiatan-kegiatan, tidak ada jawaban merespon persoalan lapangan,” kata Ninik di gedung parlemen.
Menurut Ninik, kasus Debora hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus yang diadukan ke Komisi IX. Karena itulah, Komisi IX berencana untuk membuat panitia kerja (panja) terkait kasus seperti Debora, demi menggali informasi yang lebih komperehansif. ”Kami ingin mengkaji, apa sebenarnya yang terjadi. Apakah terlalu gampang memberikan izin ke RS, sehingga RS itu tidak care lagi dalam persoalan kemanusiaan,” ujarnya.
Secara pribadi, Ninik menilai bahwa kasus Debora harus mendapatkan sanksi dari sisi RSnya. Dalam hal ini, Ninik mendorong agar izin RS Mitra Keluarga Jakarta Barat dicabut sementara izinnya, untuk kemudian Komisi IX ataupun pemerintah melakukan investigasi.
”Seperti di jalan raya, kita melanggar kan ditangkap dulu baru investigasi. Nah ini, setelah investigasi kita bisa lihat RS ini bisa dibuka lagi atau tidak? Membahayakan pasien atau tidak?,” kata Ninik.
Kasus Debora, lanjut Ninik, hanyalah pintu masuk untuk mencari data-data terkait penolakan RS terhadap pasien yang kurang mampu. Bisa jadi, kasus yang sama lebih banyak terjadi di daerah. ”Ini kasus terjadi di pusat, bagaimana dengan Kalimantan, Maluku, Ambon, pasti banyak sekali,” tandasnya. (bay/wan/jun/ang)