JAKARTA – Prestasi penting diukir Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Pada 22 September lalu, Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) mengukuhkan Batan sebagai pusat penerapan radiasi nuklir untuk mutasi tanaman pangan. Label bergensi ini didapat setelah Indonesia berhasil ungguli Tiongkok dan Malaysia.
Kepala Batan Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan usulan sebagai collaborating center (CC) spesialis pemuliaan atau mutasi tanaman pangan disampaikan ke IAEA pada Februari 2017. Setelah itu dilakukan kajian serta inspeksi langsung dari pimpinan IAEA ke kantor Batan di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. ’’Ini prestasi yang membanggakan. Predikat sebagai pusat mutasi tanaman pangan ini berlaku sampai 2021 nanti,’’ katanya di kantor Batan, Lebak Bulus kemarin (6/10).
Dia menjelaskan ada beberapa pertimbangan sehingga Indonesia lolos menjadi pusat teknologi mutasi tanaman pangan di dunia. Diantaranya adalah, Batan tidak sekedar menjadi pusat penelitian yang berujung pada publikasi-publikasi internasional. Tetapi sampai ada wujud produk nyata, kemudian digunakan masyarakat, dan mampu mendongkrak ekonomi warga.
Di Batan sendiri sudah banyak sekali mutan tanaman pangan hasil mutasi berbasis radiasi nuklir. Seperti kacang tanah yang dijamin selalu terdiri tiga biji di setiap kulitnya. Kemudian ada tanaman sorgum yang batang pohonnya pendek tetapi bonggolnya besar-besar. Selain itu juga beragam varietas padi dan kedelai unggul lainnya.
Djarot menegaskan lembaga riset nuklir yang diberi status CC sejatinya adalah kantor cabang dari IAEA. ’’Dari pada mereka repot-repot membuat kantor di banyak negara,’’ tuturnya. Salah satu tugas Batan setelah mendapatkan status sebagai CC itu adalah menjadi rujukan studi peneliti-peneliti pangan dari penjuru dunia. Khususnya dari wilayah Asia, Pasifik, dan Afrika.
Peneliti kawakan dari Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Batan dan ahli sorgum Soeranto Hoeman mengatakan, sekarang Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menjadi basis aplikasi mutasi tanaman pangan. ’’Sebelumnya di Tiongkok. Tetapi sudah tidak diperpanjang lagi, diganti ke Indonesia,’’ katanya.
Dia mengungkapkan teknologi mutasi tanaman pangan di Tiongkok dinilai tidak efektif. Sebab tekonologinya terlalu mahal (high cost) dan tidak sebanding dengan produktivitas hasilnya.
Peneliti pangan dari Kementerian Pangan Mozambik Nelson Faera Sarama merupakan salah satu warga asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan pemuliaan tanaman berbasis nuklir di Batan. Dia mengaku senang bisa mengikuti penelitian di Batan. ’’Banyak ilmu baru yang saya dapatkan. Semoga bisa diaplikasikan di negara saya,’’ tuturnya.
Nelson mengatakan makanan pokok di negaranya adalah jagung. Setelah itu beras dan berikutnya adalah sorgum. Dia mengatakan ditugasi untuk mengikuti penelitian sorgum di Batan selama tiga bulan. ’’Saya tertarik dengan teknologi radiasi nuklir untuk biji-biji tanaman,’’ tuturnya. (wan)