EKOSUTOPO/PURWOREJOEKSPRES |
Jolenan berasal dari akronim Jawa 'ojo lalen' atau jangan lupa terhadap Sang Pencipta yang telah memberikan kesuburan dan curahan hasil yang melimpah. Tradisi ini diperingati 2 tahunan setiap bulan Sapar pada hari Selasa Wage sebagai bentuk syukur atas hasil bumi yang diperoleh warga.
Jolenan atau dikenal juga sebagai Saparan bisa dikatakan pula sebagai bentuk doa agar kesejahteraan dan keselamatan seluruh warga Somongari tetap terjaga. Seperti diketahui, Desa Somongari selama ini dikenal sebagai sentra penghasil manggis dan durian serta hasil bumi lainnya.
Dibandingkan pelaksanaan sebelumnya, tahun ini terasa istimewa karena panitia penyelenggara lebih mengetatkan aturan keikutsertaan jolen. Pemanfaatan kembali bambu dan janur atau daun pisang menggantikan kayu permanen yang sebelumnya kerap dipakai. Selain itu, hiasan haruslah dari alam dan diharamkan penggunanan bahan-bahan jadi yang tinggal dipasang.
"Maksud dari dikembalikan lagi penggunaan alami seperti bambu dan sebagainya karena kita ingin mengembalikan semangat kebersamaan diantara warga. Membuat jolen dari bambu itu perlu kebersamaan dan gotong royong diantara banyak warga, dimana ada pembagian tugas dimana ada yang membuat jolen, menghias dan sebagainya," kata sekretaris kegiatan, Kemijo Sosro Wijoyo.
Bentuk penghargaan atas kerja keras dan gotong royong warga diapresiasi panitia. Hadiah uang tunai diberikan atas penilaian terhadap bentuk, isi dan penggotong jolen.
"Tiga kali pelaksanaan terakhir, kita memberikan penilaian terhadap jolen yang diusung warga. Penilaiannya meliputi ketinggian jolen, penggunaan material utama, hiasan, isi jolen dan keindahan bentuk keseluruhan jolen," sebutnya.
Dari 43 joleh yang tampil, tiga jolen terbaik mendapatkan hadiah uang tunai dimana terbaik pertama mendapatkan Rp1.000.000, kedua Rp900.000 dan ketiga Rp800.000. Masih ada tiga nominasi lagi yang masing-masing mendapatkan Rp 600.000 yakni untuk jolen bertahan, jolen paling kreatif dan penggotong terbaik.
Pelaksanaan jolenan berlangsung semarak karena tidak sekadar mengarak. Panitia melibatkan beberapa bentuk kesenian lokal, diantaranya kuda kepang, dolalak dan cing po ling. Hiburan modern tetap disuguhkan berupa penampilan drumband dari sekolah dasar setempat.
"Kalau ditanyakan kenapa kegiatan ini dilaksanakan dua tahun sekali. Ya karena memang biaya kegiatan ini cukup besar. Disini tidak ada anggaran dari desa, dana yang dihabiskan diperoleh dari iuran warga yang mencapai Rp 50 jutaan itu di luar jolen. Karena 1 jolen kalau dirupiahkan bisa habis antara Rp 500.000-Rp 600.000," imbuh Kemijo.
Jolenan yang dihadiri langsung oleh Bupati Purworejo Agus Bastian SE MM, Kapolres AKBP Teguh Tri Prasetya dan jajaran muspida serta OPD, mendapat perhatian dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Mewakilkan pejabat dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, perhelatan jolenan kemarin juga ditandai dengan penyerahan Surat Penetapan Jolenan Somongari sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonenesia oleh Mendikbud.
Sertifikat bertanggal 27 Oktober 2016 dengan nomor 63379/MPK.E/KB/2016 diserahkan oleh perwakilan Dinas Pendidikan Jawa Tengah Bambang Supriyono kepada Bupati Agus Bastian.
"Adanya penetapan ini bukan berarti tuas bapak ibu sekalian selesai. Pemkab harus selalu mengaktualisasi Jolenan Somongari melalui berbagai kegiatan diantaranya kirab budaya, seminar, dialog, workshop dan kegiatan lain yang berdampak pada perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan jolenan Somongari sebagai kebanggaan masyarakat Kabupaten Purworejo," ungkap Bambang.
Kepala Desa Somongari, Mistiyah, mengaku bersyukur tradisi Jolenan tetap bisa dilaksanakan dan semakin meriah dari waktu ke waktu. Hal itu menunjukkan kepedulian dan rasa memiliki warga atas tradisi itu tetap tinggi.
"Banyak harapan dari kami atau pun warga. Karena kita hidup menggantungkan dari alam, makanya kita juga harus banyak-banyak bersyukur kepada Sang Pencipta," kata Mistiyah.(top)