JAKARTA – Pada Juli lalu, pengadilan di Jepang mengabulkan permohonan ganti rugi seorang siswa korban bullying di sekolah senilai 148,7 juta Yen atau seitar Rp 17 miliar. Kini, fasilitas ganti rugi semacam itu juga akan diterapkan di Indonesia. Namun, hanya untuk anak-anak yang menjadi korban kejahatan tertentu.
Presiden Joko Widodo baru saja meneken Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Berdasarkan PP tersebut, anak yang menjadi korban kejahatan bisa mengajukan tuntutan ganti rugi materiil dan immateriil.
Hanya saja, korban yang bisa mengajukan restitusi hanya ada enam jenis. Yakni, korban kejahatan seksual, korban eksploitasi ekonomi dan seksual, Anak yang berhadapan dengan hukum, korban pornografi, korban penculikan dan trafficking, serta korban kekerasan fisik dan psikis. ’’Yang mengajukan adalah orang tua atau walinya, atau orang yang diberi kuasa oleh orang tuanya,’’ terang Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Hasan di Kato Staf Presiden kemarin (23/10).
Khusus ABH, restitusi diberikan kepada korbannya, bila korbannya juga anak-anak di bawah 18 tahun. Ada tiga jenis restitusi yang bisa diajukan, masing-masing ganti rugi atas hilangnya kekayaan, ganti rugi penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan penggantian biaya perawatan medis atau psikologis.
Hasan menjelaskan, pengajuan restitusi bisa dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan. Penyidik bisa memberitahu keluarga korban bahwa mereka berhak mengajukan restitusi. Kemudian, keluarga korban mengajukan restitusi tersebut kepada penyidik. Nanti, penyidik akan memproses itu bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan assesment nilai ganti ruginya. ’’Karena LPSK yang punya ukuran-ukuran, berapa yang pantas untuk restitusi,’’ lanjutnya.
Setelah diproses, restitusi itu akan masuk ke penuntutan hingga ke pengadilan, bersama dengan tuntutan pidananya. Selanjutnya, bergantung keputusan hakim apakah mengabulkan atau tidak permohonan restitusi tersebut.
Tentu saja, para korban harus memenuhi sejumlah persyaratan untuk bisa mengajukan restitusi. Pertama, pengajuan harus diajukan tertulis di atas kertas bermeterai. Dalam permohonan itu, harus termuat identitas korban dan pelaku. Kemudian, memuat pula uraian kejadian pidana dan kerugian yang diderita, juga, besaran atau jumlah restitusi yang diajukan.
Dalam permohonan itu, harus dilampirkan kopi identitas anak yang menjadi korban dan bukti kerugian yang sah, yakni salah satu atau keseluruhan dari tiga jenis kerugian yang bisa direstitusi. Bila korban meninggal dunia, harus ada surat keterangan kematian yang dilampirkan.
Setelah diputus oleh hakim, jaksa yang akan mengeksekusi putusan restitusi tersebut. Selain memberitahu korban, jaksa juga akan memberitahu pelaku bahwa dalam jangka waktu satu bulan dia harus membayar restitusi kepada korban.
Bila dalam waktu satu bulan jaksa idak bisa mengeksekusi, misalnya karena pelaku tidak mampu membayar, maka Jaksa membuat laporan kepada hakim. Dari situ, hakim yang akan memutuskan langkah yang akan diambil kepada pelaku. Apakah berbentuk tambahan hukuman, sita aset, atau putusan lainnya.
Sanksi bagi pelaku yang tidak membayar restitusi memang tidak diatur dalam PP, mengingat jenis regulasi PP memang tidak didesain untuk memberikan sanksi. ’’PP ini sebenarnya bagian dari materi RUU yang akan kami ajukan. Nanti sanksi lebih lanjut bisa diatur di Undang-Undang,’’ tuur Hasan.
Secara khusus, pelibatan LPSK bertujuan agar pengajuan restitusi benar-benar wajar. Tidak sampai terlampau tinggi. Apalagi, yang paling sulit adalah menghitung keruian immateriil. Dalam PP tersebut, tutur hasan, juga diatur bahwa korban atau keluarganya bisa mengajukan restitusi melalui LPSK, tidak harus melalui penyidik. Hanya saja, penyidik memang berkewajiban menyampaikan bahwa kejahatan yang dialami korban berpeluang mendapatkan restitusi.
Pengajuan juga tidak harus dilakukan sebelum putusan pengadilan. Setelahpengadilan memutus perkara pidana tersebut, pengajuan tetap bisa dilakukan. ’’Keluarga korban bisa mengajukannya secara perdata,’’ jelasnya. Pengajuan tetap dilakukan melalui LPSK.
Bagaimana bila restitusi itu dijadikan ajang memers keluarga pelaku, Hasan mengakui ada peluang tersebut. Karena itulah, kerjasama dengan LPSK menjadi penting. Itu akan menjaga agar nilai restitusi yang diajukan tetap wajar. ’’Tuntutan kan nanti dilihat, apakah korban pantas mendapatkan restitusi sampai bermiliar-miliar,’’ ujar Hasan.
Ke depan, pihaknya segera menyosialisasikan regulasi tersebut kepada penyidik, jaksa penuntut umum, hakim, dan LPSK. Tujuan utamanya adalah membantu korban tindak kejahatan, terutama yang berstatus anak-anak, untuk mendapatkan hak-haknya. (byu)
Presiden Joko Widodo baru saja meneken Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Berdasarkan PP tersebut, anak yang menjadi korban kejahatan bisa mengajukan tuntutan ganti rugi materiil dan immateriil.
Hanya saja, korban yang bisa mengajukan restitusi hanya ada enam jenis. Yakni, korban kejahatan seksual, korban eksploitasi ekonomi dan seksual, Anak yang berhadapan dengan hukum, korban pornografi, korban penculikan dan trafficking, serta korban kekerasan fisik dan psikis. ’’Yang mengajukan adalah orang tua atau walinya, atau orang yang diberi kuasa oleh orang tuanya,’’ terang Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Hasan di Kato Staf Presiden kemarin (23/10).
Khusus ABH, restitusi diberikan kepada korbannya, bila korbannya juga anak-anak di bawah 18 tahun. Ada tiga jenis restitusi yang bisa diajukan, masing-masing ganti rugi atas hilangnya kekayaan, ganti rugi penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan penggantian biaya perawatan medis atau psikologis.
Hasan menjelaskan, pengajuan restitusi bisa dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan. Penyidik bisa memberitahu keluarga korban bahwa mereka berhak mengajukan restitusi. Kemudian, keluarga korban mengajukan restitusi tersebut kepada penyidik. Nanti, penyidik akan memproses itu bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan assesment nilai ganti ruginya. ’’Karena LPSK yang punya ukuran-ukuran, berapa yang pantas untuk restitusi,’’ lanjutnya.
Setelah diproses, restitusi itu akan masuk ke penuntutan hingga ke pengadilan, bersama dengan tuntutan pidananya. Selanjutnya, bergantung keputusan hakim apakah mengabulkan atau tidak permohonan restitusi tersebut.
Tentu saja, para korban harus memenuhi sejumlah persyaratan untuk bisa mengajukan restitusi. Pertama, pengajuan harus diajukan tertulis di atas kertas bermeterai. Dalam permohonan itu, harus termuat identitas korban dan pelaku. Kemudian, memuat pula uraian kejadian pidana dan kerugian yang diderita, juga, besaran atau jumlah restitusi yang diajukan.
Dalam permohonan itu, harus dilampirkan kopi identitas anak yang menjadi korban dan bukti kerugian yang sah, yakni salah satu atau keseluruhan dari tiga jenis kerugian yang bisa direstitusi. Bila korban meninggal dunia, harus ada surat keterangan kematian yang dilampirkan.
Setelah diputus oleh hakim, jaksa yang akan mengeksekusi putusan restitusi tersebut. Selain memberitahu korban, jaksa juga akan memberitahu pelaku bahwa dalam jangka waktu satu bulan dia harus membayar restitusi kepada korban.
Bila dalam waktu satu bulan jaksa idak bisa mengeksekusi, misalnya karena pelaku tidak mampu membayar, maka Jaksa membuat laporan kepada hakim. Dari situ, hakim yang akan memutuskan langkah yang akan diambil kepada pelaku. Apakah berbentuk tambahan hukuman, sita aset, atau putusan lainnya.
Sanksi bagi pelaku yang tidak membayar restitusi memang tidak diatur dalam PP, mengingat jenis regulasi PP memang tidak didesain untuk memberikan sanksi. ’’PP ini sebenarnya bagian dari materi RUU yang akan kami ajukan. Nanti sanksi lebih lanjut bisa diatur di Undang-Undang,’’ tuur Hasan.
Secara khusus, pelibatan LPSK bertujuan agar pengajuan restitusi benar-benar wajar. Tidak sampai terlampau tinggi. Apalagi, yang paling sulit adalah menghitung keruian immateriil. Dalam PP tersebut, tutur hasan, juga diatur bahwa korban atau keluarganya bisa mengajukan restitusi melalui LPSK, tidak harus melalui penyidik. Hanya saja, penyidik memang berkewajiban menyampaikan bahwa kejahatan yang dialami korban berpeluang mendapatkan restitusi.
Pengajuan juga tidak harus dilakukan sebelum putusan pengadilan. Setelahpengadilan memutus perkara pidana tersebut, pengajuan tetap bisa dilakukan. ’’Keluarga korban bisa mengajukannya secara perdata,’’ jelasnya. Pengajuan tetap dilakukan melalui LPSK.
Bagaimana bila restitusi itu dijadikan ajang memers keluarga pelaku, Hasan mengakui ada peluang tersebut. Karena itulah, kerjasama dengan LPSK menjadi penting. Itu akan menjaga agar nilai restitusi yang diajukan tetap wajar. ’’Tuntutan kan nanti dilihat, apakah korban pantas mendapatkan restitusi sampai bermiliar-miliar,’’ ujar Hasan.
Ke depan, pihaknya segera menyosialisasikan regulasi tersebut kepada penyidik, jaksa penuntut umum, hakim, dan LPSK. Tujuan utamanya adalah membantu korban tindak kejahatan, terutama yang berstatus anak-anak, untuk mendapatkan hak-haknya. (byu)