JAKARTA – Pemerintah akan mengambil langkah taktis untuk mengatasi defisif yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tahun ini diprediksi defisif program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu mencapai Rp 9 triliun. Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan tidak mungkin defisit itu terus menerus dibiarkan.
JK menuturkan tarif yang dibayarkan untuk premi BPJS itu dianggap terlalu rendah bila dibandingkan dengan standar pelayanan yang diberikan. Selain itu, sudah tiga tahun terakhir tidak ada kenaikan tarif layanan kesehatan. ”Memang tarif sedang dipertimbangkan karena juga menghitung inflasi,” ujar dia di kantor Wakil Presiden, kemarin (31/10).
Defisit itu memang tidak akan berpengaruh pada rumah sakit. Karena, pemerintah tetap akan membayarkan layanan yang telah diberikan kepada pasien BPJS. Bila tidak tentu akan berdampak pada operasional rumah sakit mitra BPJS.
”Seperti tahun ini diperkirakan (defisit BPJS Kesehatan) Rp9 triliun, tentu gak mungkin dibiarin. Karena kalau defisit begitu, banyak utang di rumah sakit, nanti RS tidak bisa jalan,” tegas JK.
Selain mempertimbangkan kenaikan tarif, pemerintah pusat akan membagi pengelolaan layanan kesehatan itu dengan pemerintah daerah. Saat ini, ada anggapan pemda merasa semua ditangani oleh BPJS. Sehingga tidak ada kontrol dari dinas kesehatan pada pelaksanaan BPJS tersebut. ”Apalagi gubernur, bupati tidak mengontrolnya,” kata JK yang juga menjadi Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan itu.
Usulan-usulan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan itu sudah dibicarakan di dalam rapat kabinet. Termasuk soal pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dalam program tersebut. Apalagi, daerah juga punya program kesehatan masing-masing sehingga bisa digabungkan dalam sistem JKN. ”Nanti akan saya usul dibicarakan lagi supaya jangan tiap tahun tinggi defisitnya,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Kepatuhan, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi menuturkan telah menyiapkan beberapa cara untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan. Diantaranya, penyesuaian iuran sesuai perhituangan aktuaria, membatasi pembiayaan biaya pengobatan khususnya untuk penyakit katastropik, dan memperkuat peran pemerintah daerah untuk membiayai fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
”FKTP yang selama ini berjalan sebelum era JKN khususnya Puskesmas,” kata Bayu kepada Jawa Pos.
Ada juga alternatif untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan dengan pemanfaatan cukai rokok diserahkan pada lembaga tersebut. Turut dibahas pula kemungkinan pembiayaan perawatan korban kecelakaan ditanggung oleh Jasa Raharja. Sedangkan kasus kecelakaan kerja ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan. ”Selama ini ditanggung BPJS Kesehatan,” ungkap dia. (jun)
JK menuturkan tarif yang dibayarkan untuk premi BPJS itu dianggap terlalu rendah bila dibandingkan dengan standar pelayanan yang diberikan. Selain itu, sudah tiga tahun terakhir tidak ada kenaikan tarif layanan kesehatan. ”Memang tarif sedang dipertimbangkan karena juga menghitung inflasi,” ujar dia di kantor Wakil Presiden, kemarin (31/10).
Defisit itu memang tidak akan berpengaruh pada rumah sakit. Karena, pemerintah tetap akan membayarkan layanan yang telah diberikan kepada pasien BPJS. Bila tidak tentu akan berdampak pada operasional rumah sakit mitra BPJS.
”Seperti tahun ini diperkirakan (defisit BPJS Kesehatan) Rp9 triliun, tentu gak mungkin dibiarin. Karena kalau defisit begitu, banyak utang di rumah sakit, nanti RS tidak bisa jalan,” tegas JK.
Selain mempertimbangkan kenaikan tarif, pemerintah pusat akan membagi pengelolaan layanan kesehatan itu dengan pemerintah daerah. Saat ini, ada anggapan pemda merasa semua ditangani oleh BPJS. Sehingga tidak ada kontrol dari dinas kesehatan pada pelaksanaan BPJS tersebut. ”Apalagi gubernur, bupati tidak mengontrolnya,” kata JK yang juga menjadi Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan itu.
Usulan-usulan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan itu sudah dibicarakan di dalam rapat kabinet. Termasuk soal pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dalam program tersebut. Apalagi, daerah juga punya program kesehatan masing-masing sehingga bisa digabungkan dalam sistem JKN. ”Nanti akan saya usul dibicarakan lagi supaya jangan tiap tahun tinggi defisitnya,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Kepatuhan, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi menuturkan telah menyiapkan beberapa cara untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan. Diantaranya, penyesuaian iuran sesuai perhituangan aktuaria, membatasi pembiayaan biaya pengobatan khususnya untuk penyakit katastropik, dan memperkuat peran pemerintah daerah untuk membiayai fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
”FKTP yang selama ini berjalan sebelum era JKN khususnya Puskesmas,” kata Bayu kepada Jawa Pos.
Ada juga alternatif untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan dengan pemanfaatan cukai rokok diserahkan pada lembaga tersebut. Turut dibahas pula kemungkinan pembiayaan perawatan korban kecelakaan ditanggung oleh Jasa Raharja. Sedangkan kasus kecelakaan kerja ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan. ”Selama ini ditanggung BPJS Kesehatan,” ungkap dia. (jun)