sudarno ahmad/ekspres |
Gunawan, Warga Dukuh Kinanti Desa Bocor, Kecamatan Buluspesantren, mencoba menghidupkan kembali tradisi peninggalan leluhur tersebut. Belum lama ini, Gunawan menggelar ritual tersebut di rumahnya. Rohwati, calon ibu muda yang sedang hamil tujuh bulan menjadi relawan pada acara tersebut.
Dalam upacara tradisi ini, ibu sang bayi harus menjajal kain jarik sebanyak tujuh kali untuk menemukan motif yang tempat demi kelancaran proses persalinan bayi.
Gunawan, mengatakan tingkeban merupakan upacara tradisi bagi perempuan yang sedang mengandung bayi dan sudah menginjak usia tujuh bulan. Menurutnya, upacara ini adalah doa permohonan kepada Tuhan guna meminta keselamatan agar proses melahirkan bayi dalam kandungan ibu bisa lancar tanpa adanya kendala apapun.
Tahap demi tahap prosesi upacara dilakukan saat tingkeban, upacara ini diawali dengan tradisi sungkeman oleh calon ayah dan ibu kepada orang tua masing-masing.
Iringan musik gending jawa mengiringi Rohwati bersama suaminya Suparto, yang tengah berjalan pelan menuju sebuah lokasi upacara adat. Usia kehamilan yang menginjak tujuh bulan membuat Rohwati berjalan tampak lebih perlahan sembari menggandeng tangan sang suami.
Penuh harapan agar sang bayi lahir dengan selamat dan tumbuh dewasa menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Upacara itu untuk menghormati leluhur upacara mitoni atau tingkeban ini dilaksanaan bagi pasangan yang akan segera memiliki keturunan.
Pada upacara tersebut, Rohwati dimandikan oleh 7 ibu-ibu paguyuban dukun bayi Buluspesantren. Guyuran air mulai membahasi tubuh Rohwati. Air yang digunakan berasal dari sumber mata air yang dipercayai akan membuat bayi menjadi sehat jasmani dan rohani.
Gayung yang digunakan menggunakan gayung batok kelapa. Sedangkan, airnya menggunakan air yang telah dicampuri kembang setaman. Setelah itu, diguyur dengan air kendi oleh suaminya dan kendi tersebut langsung dibanting hingga pecah.
Usai menjalani siraman, cengkir gadhing yang dibawa oleh calon ayah diteroboskan dari atas melalui dalam kain yang dikenakan calon ibu lantas kemudian diterima oleh nenek bayi dengan menggendongnya begitulah proses brojolan berlangsung. Pada acara brojolan ini menggunakan dua kelapa gading, sebagai gambatran Kamajaya dan Kamaratih. Kelapa gading tersebut ditaruh dipangkuan ibu yang sedang hamil dan diterima oleh sesepuh setempat.
“Prosesnya sangat banyak, belum usai setelah pasangan melakukan prosesi brojolan kemudian calon ibu akan mengikuti prosesi ganti pakaian,” kata Gunawan.
Tujuh kain jarik dengan motif yang memiliki arti dan filosofi masing-masing mulai dipakaikan kepada calon ibu. "Untuk kain yang dikenakan harus dengan tujuh motif," imbuhnya.
Setelah itu, ibu calon bayi dipotong rambutnya yang dilanjutkan dengan dipakaikan perhiasan. "Harapan dari brojolan agar diberi kelancaran saat kelahiran, diberi anak setampan Kamajaya jika laki dan secantik Ratih jika perempuan. Sedangkan dipakaikan kain dan berhias dengan harapan agar diberi kesempurnaan kecantikan lahiriah dan batiniah," paparnya.
Selesai mengenakan kain dengan tujuh motif, pasangan tersebut kembali berjalan menuju rumah untuk prosesi memutus benang lawe atau janur yang dilingkarkan di perut calon ibu. Calon ibu pun sebelumnya akan menduduki tujuh kain atau ageman sebagai simbol untuk menjaga kandungan.
Terakhir calon ibu dengan didampingi calon ayah akan membuat rujak. Para tamu dengan membawa kreweng (pecahan genting) akan dipakai untuk mata uang untuk membeli rujak buatan calon ibu, maknanya kelak agar bayi yang mereka lahirkan mendapat banyak rezeki dan mampu menghidupi keluarganya.
Pegiat Media Sosial, Hargo Yohanes, menilai acara semacam ini bisa mejadi aset yang dapat mendukung perkembangan pariwisata di Kebumen. "Kami pecinta budaya sedang berusaha mengangkat budaya kita sendiri," kata Hargo Yohanes, yang terlibat dalam acara tersebut.(ori)