SEMARANG-Tanpa adanya sertifikat fidusia, debt collector (DC) tidak boleh melakukan eksekusi di jalan karena berpotensi menimbulkan tindak pidana.
Hal itu disampaikan Kepala Sub Bagian Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Kantor Regional III Jawa Tengah-DI Yogyakarta, Hans Ori Lewi saat menjawab pertanyaan kelompok Diskusi Gayeng di acara Training of Trainer (ToT) bertemakan "Peran serta masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik", yang diselenggarakan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jateng di Hotel Horison Semarang, Selasa (21/11) kemarin.
Hans menyampaikan, aturannya secara jelas ada pada Undang-Undang (UU) nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan jaminan kepada debitur dan kreditur (leasing) dalam proses eksekusi atau penarikan kendaraan yang mengalami kredit macet.
"Perusahaan leasing boleh saja menunjuk atau bekerjasama dengan perusahaan jasa penagih atau DC, tapi DC benar-benar sudah memiliki sertifikasi," kata Hans Ori Lewi dalam pertemuan itu.
Pihaknya juga mengaku selalu memonitor perusahaan-perusahaan leasing agar saat melakukan penagihan tetap melakukan dengan cara santun dan beretika, bukan melakukan penarikan secara paksa. Maka dari itu, perusahaan leasing harus melengkapi diri dengan sertifikat jaminan fidusia setelah menempuh upaya somasi terhadap debitur terlebih dahulu.
"Sepanjang tidak memegang sertifikat fidusia maka tidak ada kekuatan hukum, kalau sudah punya baru secara hukum memang bisa,"ujarnya.
Menurutnya UU Jaminan Fidusia tersebut memberikan kepastian hukum kepada debitur dan kreditur, sehingga dengan adanya sertifikat jaminan fidusia ini, baik penerima fidusia maupun pemberi fidusia/pemilik unit, dapat terlindungi masing-masing haknya.
Dalam acara itu, narasumber lain yang dihadirkan adalah Inspektur pembantu bidang pegaduan pada Inspektorat Jateng, Harsono dan Plt.Kepala ORI Jateng, Sabarudin Hulu. Dalam acara yang dihadirk 28 institusi, lembaga, ormas, LBH, komunitas di Jateng tersebut juga menyepakati bergabung memperkuat ORI dengan nama "Koncone Ombudsman".
Dalam paparannya, Sabarudin Hulu menyampaikan pelayanan publik menjadi hal menarik, dengan demikian sebagai bentuk bahwa negara tidak absen untuk hadir ditengah-tengah rakyatnya. Namun demikian pada kenyataanya banyak laporan dari masyarakat bahwa penyelenggara negara tidak memberikan pelayanan publik dengan baik.
Di Jateng sendiri, lanjut Sabarudin, ada 1000 laporan yang masuk baik via telepon, surat dan laporan langsung. "Kita perlu mengawasi bersama. Karena semua bukan tanggung jawab ASN semata, melainkan tanggungjawab kita bersama, dan masyarakat juga bagian dari pengawas eksternal,"sebutnya. (jks/zal)
Hal itu disampaikan Kepala Sub Bagian Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Kantor Regional III Jawa Tengah-DI Yogyakarta, Hans Ori Lewi saat menjawab pertanyaan kelompok Diskusi Gayeng di acara Training of Trainer (ToT) bertemakan "Peran serta masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik", yang diselenggarakan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jateng di Hotel Horison Semarang, Selasa (21/11) kemarin.
Hans menyampaikan, aturannya secara jelas ada pada Undang-Undang (UU) nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan jaminan kepada debitur dan kreditur (leasing) dalam proses eksekusi atau penarikan kendaraan yang mengalami kredit macet.
"Perusahaan leasing boleh saja menunjuk atau bekerjasama dengan perusahaan jasa penagih atau DC, tapi DC benar-benar sudah memiliki sertifikasi," kata Hans Ori Lewi dalam pertemuan itu.
Pihaknya juga mengaku selalu memonitor perusahaan-perusahaan leasing agar saat melakukan penagihan tetap melakukan dengan cara santun dan beretika, bukan melakukan penarikan secara paksa. Maka dari itu, perusahaan leasing harus melengkapi diri dengan sertifikat jaminan fidusia setelah menempuh upaya somasi terhadap debitur terlebih dahulu.
"Sepanjang tidak memegang sertifikat fidusia maka tidak ada kekuatan hukum, kalau sudah punya baru secara hukum memang bisa,"ujarnya.
Menurutnya UU Jaminan Fidusia tersebut memberikan kepastian hukum kepada debitur dan kreditur, sehingga dengan adanya sertifikat jaminan fidusia ini, baik penerima fidusia maupun pemberi fidusia/pemilik unit, dapat terlindungi masing-masing haknya.
Dalam acara itu, narasumber lain yang dihadirkan adalah Inspektur pembantu bidang pegaduan pada Inspektorat Jateng, Harsono dan Plt.Kepala ORI Jateng, Sabarudin Hulu. Dalam acara yang dihadirk 28 institusi, lembaga, ormas, LBH, komunitas di Jateng tersebut juga menyepakati bergabung memperkuat ORI dengan nama "Koncone Ombudsman".
Dalam paparannya, Sabarudin Hulu menyampaikan pelayanan publik menjadi hal menarik, dengan demikian sebagai bentuk bahwa negara tidak absen untuk hadir ditengah-tengah rakyatnya. Namun demikian pada kenyataanya banyak laporan dari masyarakat bahwa penyelenggara negara tidak memberikan pelayanan publik dengan baik.
Di Jateng sendiri, lanjut Sabarudin, ada 1000 laporan yang masuk baik via telepon, surat dan laporan langsung. "Kita perlu mengawasi bersama. Karena semua bukan tanggung jawab ASN semata, melainkan tanggungjawab kita bersama, dan masyarakat juga bagian dari pengawas eksternal,"sebutnya. (jks/zal)