ILUSTRASI ORANG SAKIT/DOKEKSPRES |
Wahyudi (35) salah satu anggota BPJS warga Kecamatan Kebumen, ini salah satunya. Dari informasi yang diterimanya, ada delapan jenis penyakit yang tidak lagi akan dibiayai BPJS. Kedelapan penyakit yang rencananya tidak ditanggung yakni Jantung, Kanker, Gagal ginjal, Stroke, Thalasemia, Sirosis hati, Leukimia dan Hemofilia.
“Kalau terdapat pemilahan penyakit, itu berarti ada diskriminasi,” tuturnya, Minggu (26/11/2017).
Rencana, penghapusan tanggungan tersebut sebenarnya tidak dilakukan sepenuhnya. Artinya BPJS akan melakukan cost sharing atau membagi biaya dengan si sakit. Pembebanan cost sharing tersebut hanya akan diberikan kepada peserta BPJS kesehatan dari golongan masyarakat mampu saja.
Meski telah santer diberitakan di media massa, namun hingga kini belum ada penjelasan resmi dari BPJS Kebumen. Bahkan Kabid Penjaminan Manfaat Primer BPJS Kesehatan Kebumen, Hubertus Genias Unggulian mengaku belum mengetahui hal tersebut. Saat dikonfirmasi pihaknya mengatakan belum mengetahuinya. “Maaf saya tidak ada info terkait hal tersebut,” ucapnya.
Dari Jakarta, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan pada laporan semester pertama, BPJS Kesehatan mencatat ada defisit Rp 5,8 triliun. Hal itu bukan hanya soal input pembayaran yang lebih rendah. Namun juga mengenai pembiayaan yang diduga banyak terjadi fraud atau kecurangan yang dilakukan rumah sakit.
Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat membenarkan jika ada 10 juta peserta yang nunggak. Mayoritas penunggak adalah peserta bukan penerima upah (PBPU).
Namun menurut Timboel, bukan hanya PBPU saja. Tetapi permasalahan juga bersumber pada iuran dari penerima bantuan iuran (PBI) dan peserta penerima upah (PPU). ”Iuran PBI harusnya Rp 36.000 per orang per bulan, tapi komitmen pemerintah hanya Rp 23.000,” tuturnya.
Dia membenarkan jika defisit terjadi karena input yang lebih rendah dari pada pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah. BPJS Kesehatan dinilai belum menggarap potensi iuran besar yang bisa datang dari PPU. Menurut data yang diberikan Timboel, pekerja formal swasta yang ikut BPJS Kesehatan hanya 10,9 juta perSeptember 2017. ”Padahal pekerja formal swasta kita menurut badan pusat stastisik ada 40 juta,” terangnya.
”Kalau baca laporan keuangan Dana Jaminan Sosial BPJS Kesehatan per 30 juni 2017 iuran dari PPU swasta sebesar Rp 10.58 triliun. Nah kalau dalam dua semesterbisa mencapai Rp 20 triliun,” katanya.
Dia menambahkan jika BPJS Kesehatan mampu menggaet PPU dari sektor swasta menjadi 20 juta orang, maka potensi iuran dalam setahun bisa mencapai Rp 40 triliun. ”Ini kan angka yg sangat besar menutup defisit BPJS Kesehatan,” imbuhnya.
BPJS Kesehatan juga masih punya pekerjaan rumah lagi. Yakni membereskan tunggakan PPU. Timboel membeberkan jika tunggakan PPU swasta sebesar Rp 624,9 miliar per 30 juni lalu.
Timboel juga menyarankan agar dari sisi pembiayaan juga harus diseriusi oleh pihak direksi BPJS Kesehatan. ”Banyak dugaan fraud (kecurangan, Red) kalim yang diajukan RS sehingga biaya klaim INA CBGs semakin besar. Per 30 juni 2017 saja biaya INA CBGs mencapai 34 triliun dari total iuran yang diterima per 30 juni 2017 sebesar 35 triliun,” katanya.
BPJS Watch, menurut Timboel sering sering menerima pengaduan pasien JKN yang belum sembuh tapi sudah disuruh pulang tapi sehari dua hari lagi disuruh masuk lagi. Hal itulah yang menurutnya menyebabkan klaim INA CBGs makin membengkak. ”Ini yang belum bisa dikendalikan direksi,” tuturnya. (mam/lyn/jpnn)