JAKARTA – Ketua DPR Setya Novanto mendapatkan saksi meringankan dalam kasus dugaan korupsi e-KTP yang membuatnya meringkuk di sel tahanan KPK. Kemarin (27/11), Wasekjen Partai Golkar Maman Abdurrahman dan Ketua Badan Anggaran DPR RI Azis Syamsuddin hadir di KPK untuk meringankan beban setnov.
Kedua kader Partai Golkar itu tidak datang bersamaan. Maman tiba sekitar pukul 11.15, sementara Azis baru tiba sekitar pukul 14.00. Usai diperiksa sekitar empat jam, tidak banyak yang disampaikan Maman mengenai kesaksiannya yang dianggap bisa meringankan setnov. ’’Ada beberapa pertanyaan, namun detailnya tidak bisa saya sebutkan satu persatu,’’ ujarnya.
Yang jelas, dia hanya menyampaikan sejumlah hal yang dia ketahui mengenai setnov dan kasus itu. ’’Terkait kasus e-KTP, saya tidak tahu sama sekali, karena betul-betul tidak pernah berurusan dan ikut di kasus ini,’’ terangnya. Maman mengaku tidak tahu mengapa Setnov meminta dia menjadi saksi meringankan berkaitan dengan kasus e-KTP.
Selain mengenai keterkaitannya dengan kasus e-KTP, maman menjelaskan bahwa dia memberikan keterangan terkait aktivitas komunikasinya dengan Setnov sebelum menjadi tersangka. Selama lima sampai enam bulan terakhir, dia memang sempat berkomunikasi dengan Setnov terkait kasus e-KTP yang sedang berjalan di KPK. ’’Beliau (Setnov) pernah menyampaikan kepada saya bahwa beliau tidak terlibat,’’ lanjutnya.
Selebihnya, Maman enggan mengungkapkan keterangan lain yang dia sampaikan kepada penyidik KPK. Dia hanya menegaskan bahwa sebagai kader partai Golkar, dia merasa berkewajiban untuk meringankan beban seniornya yang sedang terkena masalah.
Sementara, Azis yang berada di ruangan penyidik selama sekitar dua jam menolak memberikan keterangan apapun mengenai apa yang dia sampaikan seputar kesaksiannya. ’’Saya diundang untuk memberikan keterangan yang menguntungkan tersangka (Setnov),’’ ujarnya mengawali keterangannya kepada wartawan.
Meskipun demikian, dia mengelak ketika disinggung apa saja keterangan yang bisa menguntungkan Setnov selaku tersangka. ’’Saya sudah sampaikan kepada penyidik, silakan nanti penyidik yang menyampaikan kepada wartawan. Jangan saya,’’ ujarnya sembari berupaya menerobos kerumunan wartawan.
Mantan Ketua Komisi III DPR itu sempat kembali masuk ke lobi KPK karena sopir yang mengantarnya ke KPK tidak kunjung tiba untuk membawa dia kembali. Sekitar 10 menit kemudian, dia keluar lagi dan tetap enggan memberikan keterangan.
Selain keduanya, Setnov juga diberi kesempatan mendatangkan saksi ahli untuk meringankan perkaranya, yakni pakar hukum tata negara Margarito Kamis. Usai pemeriksaan, Margarito mengungkaopkan bahwa dia memberi keterangan mengenai prosedur pemeriksaan terhadap angota DPR. ’’Harusnya ada izin dari Presiden,’’ terangnya.
Ketentuan tersebut berlaku tidak hanya untuk Setnov, namun juga seluruh anggota DPR. Itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. menurut Margarito, sebelum ditetapkan dan diperiksa sebagai tersangka, seseorang harus diperiksa sebagai calon tersangka. ’’Nah, waktu diperiksa sebagai calon tersangka, mesti ada izin dari Presiden,’’ lanjutnya.
Sementara itu, mantan Ketua KPK Abraham Samad menyarankan KPK agar menjerat para tersangka kasus E-KTP dengan pasal pencucian uang. ’’KPK harus menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kasus ini,’’ terang Samad usai memberi materi diklat untuk penyuluh antikorupsi di Gedung KPK kemarin.
Menurut Samad, ada beberapa kelebihan UU TPPU dalam menjerat tersangka korupsi. Pertama, kerugian negara bisa lebih dimaksimalkan pengembaliannya. Kedua, UU TPPU memungkinkan penyidik mengetahui siapa saja yang bertindak sebagai gatekeeper menampung uang hasil korupsi.
’’Ketiga, kita juga bisa melakukan tracking, siapa-siapa saja yang terlibat dalam kasus ini secara gamblang, itu intinya,’’ lanjut Pria asal Makassar, Sulsel, itu. Saat dia masih menjadi pimpinan, tutur Samad, KPK cukup sering menggunakan UU TPPU karena dinilai efektif dalam upaya mengembalikan kerugian negara.
Selain menyarankan penggunaan UU TPPU, Samad juga mengingatkan KPK agar tidak berlama-lama menyidik Setnov. Menurut Samad, sebaiknya KPK segera merampungkan penyidikan Setnov dan segera melimpahkan kasusnya ke pengadilan. Apalagi, saat ini pihak Setnov sudah mengajukan praperadilan kembali.
Dia yakin KPK sudah menerapkan SOP dengan benar saat menyelidiki hingga menyidik kasus E-KTP. Itu juga menjadi jawaban mengapa KPK begitu lama dalam menetapkan tersangka. Di satu sisi, ujarnya, itu kritik utuk KPK. Di sisi lain, itu menunjukkan KPK sangat berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. ’’KPK ingin betul-betul setiap kasus yang ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan itu firm alat buktinya,’’ tambah Samad.
Seruan serupa juga disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). LSM antikorupsi itu mendesak KPK utuk segera menuntaskan penyidikan terhadap Setnov. Mengingat, pngajuan praperadilan jilid dua sudah resmi masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 15 November lalu. Sementara, sidang perdana dijadwalkan berlangsung kamis (30/11) mendatang.
Dalam keterangan pers yang diterima Jawa Pos kemarin, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengingatkan bahwa upaya praperadilan kedua itu mengkhawatirkan. Sebab, hakim tunggal yang ditunjuk menanganinya, yakni Kusno, Wakil Ketua PN Jaksel, rekam jejaknya perlu mendapat perhatian.
Dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) 2011, harta kekayaan Kusno tercatatRp 1.544.269.000. saat melapor kembali pada 2016, kekayaannya melonjak menjadi Rp 4.249.250.000. ’’Tentu lonjakan ini perlu ditelusuri lebih lanjut,’’ terang Adnan.
Ditambah lagi, Kusno punya riwayat membebaskan empat terdakwa kasus korupsi saat menjadi hakim di PN Pontianak. Juga, menjatuhkan vonis ringan satu tahun penjara untuk terdakwa Zulfadhli, anggota DPR yang terlibat kasus korupsi dana Bansos Provinsi Kalbar yang merugikan negara hingga Rp 15 miliar.
Karena itu, lanjutnya, ICW mendesak KPK untuk segera menyelesaikan berkas penyidikan lalu melimpahkannya ke pengadilan tipikor. ’’Ini menjadi syarat mutlak untuk menggugurkan permohonan praperadilan novanto,’’ tambahnya. Selain itu, percepatan pelimpahan berkas itu penting untuk memastikan penanganan perkara e-KTP segera selesai. (byu)
Kedua kader Partai Golkar itu tidak datang bersamaan. Maman tiba sekitar pukul 11.15, sementara Azis baru tiba sekitar pukul 14.00. Usai diperiksa sekitar empat jam, tidak banyak yang disampaikan Maman mengenai kesaksiannya yang dianggap bisa meringankan setnov. ’’Ada beberapa pertanyaan, namun detailnya tidak bisa saya sebutkan satu persatu,’’ ujarnya.
Yang jelas, dia hanya menyampaikan sejumlah hal yang dia ketahui mengenai setnov dan kasus itu. ’’Terkait kasus e-KTP, saya tidak tahu sama sekali, karena betul-betul tidak pernah berurusan dan ikut di kasus ini,’’ terangnya. Maman mengaku tidak tahu mengapa Setnov meminta dia menjadi saksi meringankan berkaitan dengan kasus e-KTP.
Selain mengenai keterkaitannya dengan kasus e-KTP, maman menjelaskan bahwa dia memberikan keterangan terkait aktivitas komunikasinya dengan Setnov sebelum menjadi tersangka. Selama lima sampai enam bulan terakhir, dia memang sempat berkomunikasi dengan Setnov terkait kasus e-KTP yang sedang berjalan di KPK. ’’Beliau (Setnov) pernah menyampaikan kepada saya bahwa beliau tidak terlibat,’’ lanjutnya.
Selebihnya, Maman enggan mengungkapkan keterangan lain yang dia sampaikan kepada penyidik KPK. Dia hanya menegaskan bahwa sebagai kader partai Golkar, dia merasa berkewajiban untuk meringankan beban seniornya yang sedang terkena masalah.
Sementara, Azis yang berada di ruangan penyidik selama sekitar dua jam menolak memberikan keterangan apapun mengenai apa yang dia sampaikan seputar kesaksiannya. ’’Saya diundang untuk memberikan keterangan yang menguntungkan tersangka (Setnov),’’ ujarnya mengawali keterangannya kepada wartawan.
Meskipun demikian, dia mengelak ketika disinggung apa saja keterangan yang bisa menguntungkan Setnov selaku tersangka. ’’Saya sudah sampaikan kepada penyidik, silakan nanti penyidik yang menyampaikan kepada wartawan. Jangan saya,’’ ujarnya sembari berupaya menerobos kerumunan wartawan.
Mantan Ketua Komisi III DPR itu sempat kembali masuk ke lobi KPK karena sopir yang mengantarnya ke KPK tidak kunjung tiba untuk membawa dia kembali. Sekitar 10 menit kemudian, dia keluar lagi dan tetap enggan memberikan keterangan.
Selain keduanya, Setnov juga diberi kesempatan mendatangkan saksi ahli untuk meringankan perkaranya, yakni pakar hukum tata negara Margarito Kamis. Usai pemeriksaan, Margarito mengungkaopkan bahwa dia memberi keterangan mengenai prosedur pemeriksaan terhadap angota DPR. ’’Harusnya ada izin dari Presiden,’’ terangnya.
Ketentuan tersebut berlaku tidak hanya untuk Setnov, namun juga seluruh anggota DPR. Itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. menurut Margarito, sebelum ditetapkan dan diperiksa sebagai tersangka, seseorang harus diperiksa sebagai calon tersangka. ’’Nah, waktu diperiksa sebagai calon tersangka, mesti ada izin dari Presiden,’’ lanjutnya.
Sementara itu, mantan Ketua KPK Abraham Samad menyarankan KPK agar menjerat para tersangka kasus E-KTP dengan pasal pencucian uang. ’’KPK harus menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kasus ini,’’ terang Samad usai memberi materi diklat untuk penyuluh antikorupsi di Gedung KPK kemarin.
Menurut Samad, ada beberapa kelebihan UU TPPU dalam menjerat tersangka korupsi. Pertama, kerugian negara bisa lebih dimaksimalkan pengembaliannya. Kedua, UU TPPU memungkinkan penyidik mengetahui siapa saja yang bertindak sebagai gatekeeper menampung uang hasil korupsi.
’’Ketiga, kita juga bisa melakukan tracking, siapa-siapa saja yang terlibat dalam kasus ini secara gamblang, itu intinya,’’ lanjut Pria asal Makassar, Sulsel, itu. Saat dia masih menjadi pimpinan, tutur Samad, KPK cukup sering menggunakan UU TPPU karena dinilai efektif dalam upaya mengembalikan kerugian negara.
Selain menyarankan penggunaan UU TPPU, Samad juga mengingatkan KPK agar tidak berlama-lama menyidik Setnov. Menurut Samad, sebaiknya KPK segera merampungkan penyidikan Setnov dan segera melimpahkan kasusnya ke pengadilan. Apalagi, saat ini pihak Setnov sudah mengajukan praperadilan kembali.
Dia yakin KPK sudah menerapkan SOP dengan benar saat menyelidiki hingga menyidik kasus E-KTP. Itu juga menjadi jawaban mengapa KPK begitu lama dalam menetapkan tersangka. Di satu sisi, ujarnya, itu kritik utuk KPK. Di sisi lain, itu menunjukkan KPK sangat berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. ’’KPK ingin betul-betul setiap kasus yang ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan itu firm alat buktinya,’’ tambah Samad.
Seruan serupa juga disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). LSM antikorupsi itu mendesak KPK utuk segera menuntaskan penyidikan terhadap Setnov. Mengingat, pngajuan praperadilan jilid dua sudah resmi masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 15 November lalu. Sementara, sidang perdana dijadwalkan berlangsung kamis (30/11) mendatang.
Dalam keterangan pers yang diterima Jawa Pos kemarin, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengingatkan bahwa upaya praperadilan kedua itu mengkhawatirkan. Sebab, hakim tunggal yang ditunjuk menanganinya, yakni Kusno, Wakil Ketua PN Jaksel, rekam jejaknya perlu mendapat perhatian.
Dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) 2011, harta kekayaan Kusno tercatatRp 1.544.269.000. saat melapor kembali pada 2016, kekayaannya melonjak menjadi Rp 4.249.250.000. ’’Tentu lonjakan ini perlu ditelusuri lebih lanjut,’’ terang Adnan.
Ditambah lagi, Kusno punya riwayat membebaskan empat terdakwa kasus korupsi saat menjadi hakim di PN Pontianak. Juga, menjatuhkan vonis ringan satu tahun penjara untuk terdakwa Zulfadhli, anggota DPR yang terlibat kasus korupsi dana Bansos Provinsi Kalbar yang merugikan negara hingga Rp 15 miliar.
Karena itu, lanjutnya, ICW mendesak KPK untuk segera menyelesaikan berkas penyidikan lalu melimpahkannya ke pengadilan tipikor. ’’Ini menjadi syarat mutlak untuk menggugurkan permohonan praperadilan novanto,’’ tambahnya. Selain itu, percepatan pelimpahan berkas itu penting untuk memastikan penanganan perkara e-KTP segera selesai. (byu)