KEBUMEN (kebumenekspres.com)- Masyarakat tak perlu takut untuk melakukan pamularasan terhadap jenazah ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Hal ini ditegaskan Kepala UPT Pengobatan Penyakit Paru Kabupaten Kebumen, dr Aris Ekosulistiyono, saat membuka Seminar HIV/AIDS dengan tema "Pemularasan Jenazah ODHA" di Aula UPTD Penyakit Paru Kebumen, Rabu (29/11/2017).
Meningkatnya kasus HIV/AIDS di Kabupaten Kebumen, yang sampai tahun 2017 mencapai 836 kasus, tentu bisa memunculkan masalah baru saat ada yang meninggal. Ketakutan masyarakat terhadap penularan HIV/AIDS bila tak diikuti pengetahuan yang memadai bisa membuat ODHA yang meninggal akan terlantar.
Karena tak ada yang berani melakukan pamularasan jenazahnya, seperti memandikan dan mengkafani. Karena itu sebagai salah satu rangkaian peringatan Hari AIDS diadakan seminar pamularasan jenazah ODHA.
Menurut dr Aris untuk memandikan jenazah ODHA sama saja dengan jenazah lainnya. Hanya ada spesifikasi tertentu yang harus dilakukan sesuai prosedur standard (Standard Operational Procedure, SOP). "ODHA meninggal biasanya bukan karena HIV-nya, tapi inveksi penyakit lain," jelas dr Aris.
Lebih lanjut dr Aris menerangkan, bahwa sebaiknya paling lama setelah empat jam ODHA meninggal, jenazahnya mesti dimandikan. Karena leucositnya sudah tidak berfungsi dikhawatirkan ada inveksi dari penyakit lain, sehingga dalam memandikannya perlu DOP.
"Pihak RSUD Soedirman sebenarnya setiap tahun sudah melakukan sosialisasi terkait SOP memandikan mayat. Yang diundang kaum atau kaur kesra desa se Kabupaten Kebumen," ujar dr Aris.
Dalam seminar pamulasaran jenazah ODHA juga mengundang seluruh desa/kelurahan untuk mengirim tiga peserta. Dua orang Warga Peduli AIDS (WPA) dan kaur kesra desa.
Seminar menghadirkan tiga orang nara sumber. Dua orang dari RSUD Soedirman Kebumen, yakni dr Gularso SpPD dan konselor profesional HIV/AIDS Yuli Rudi Prihartono, yang juga seorang psikolog. Serta seorang aktivis peduli AIDS.(ori)
Meningkatnya kasus HIV/AIDS di Kabupaten Kebumen, yang sampai tahun 2017 mencapai 836 kasus, tentu bisa memunculkan masalah baru saat ada yang meninggal. Ketakutan masyarakat terhadap penularan HIV/AIDS bila tak diikuti pengetahuan yang memadai bisa membuat ODHA yang meninggal akan terlantar.
Karena tak ada yang berani melakukan pamularasan jenazahnya, seperti memandikan dan mengkafani. Karena itu sebagai salah satu rangkaian peringatan Hari AIDS diadakan seminar pamularasan jenazah ODHA.
Menurut dr Aris untuk memandikan jenazah ODHA sama saja dengan jenazah lainnya. Hanya ada spesifikasi tertentu yang harus dilakukan sesuai prosedur standard (Standard Operational Procedure, SOP). "ODHA meninggal biasanya bukan karena HIV-nya, tapi inveksi penyakit lain," jelas dr Aris.
Lebih lanjut dr Aris menerangkan, bahwa sebaiknya paling lama setelah empat jam ODHA meninggal, jenazahnya mesti dimandikan. Karena leucositnya sudah tidak berfungsi dikhawatirkan ada inveksi dari penyakit lain, sehingga dalam memandikannya perlu DOP.
"Pihak RSUD Soedirman sebenarnya setiap tahun sudah melakukan sosialisasi terkait SOP memandikan mayat. Yang diundang kaum atau kaur kesra desa se Kabupaten Kebumen," ujar dr Aris.
Dalam seminar pamulasaran jenazah ODHA juga mengundang seluruh desa/kelurahan untuk mengirim tiga peserta. Dua orang Warga Peduli AIDS (WPA) dan kaur kesra desa.
Seminar menghadirkan tiga orang nara sumber. Dua orang dari RSUD Soedirman Kebumen, yakni dr Gularso SpPD dan konselor profesional HIV/AIDS Yuli Rudi Prihartono, yang juga seorang psikolog. Serta seorang aktivis peduli AIDS.(ori)