ILUSTRASI |
Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala menjelaskan, investigasi dilakukan pada layanan SKCK ini karena memang jumlahnya masal. Terdapat momentum tes CPNS yang digelar pemerintah pada tahun ini. ”SKCK menjadi syarat mutlak untuk semua peserta tes, jumlah pesertanya sampai 2,4 juta orang. Ini banyak sekali,” paparnya.
Dalam temuan Ombudsman itu diketahui ada sejumlah indikasi pungli, misalnya dengan gestur dari petugas untuk meminta uang atau sebagainya. Ada pula berbagai ungkapan seperti sok aja atuh berapa dan ada yang sepuluh ribu ada yang lima ribu. ”Intinya ada permintaan uang lebih untuk mengurus, sebab aturannya SKCK itu hanya membayar Rp 30 ribu. Namun, banyak yang membayar lebih hingga Rp 10 ribu,” ujarnya.
Selain soal pungli, ada pula penyimpangan prosedur yang terindikasi terjadi. Seperti, meminta kartu keluarga dan KTP untuk dilegalisir. Padahal, sudah membawa dokumen aslinya. ”Tentunya ini menghambat dan memperlama. Apalagi, waktu pelayanannya tidak ada kepastian,” jelasnya.
Dia mengatakan, salah satu masukan dari Ombudsman adalah dengan memampang informasi SKCK sejelas dan sebanyak mungkin di kantor kepolisian. ”Bayarnya hanya Rp 30 ribu dan persyaratannya apa saja. sehingga, kalau ada permintaan uang lebih serta persyaratan yang berbeda bisa dimintai penjelasan,” terangnya.
Sementara Irwasum Polri Komjen Putut Eko Bayu Seno menjelaskan, Polri berterimakasih atas masukan dari Ombudsman. Langkah selanjutnya untuk mengantisipasi semua masalah itu adalah dengan memberikan pelayanan SKCK online. ”Sehingga, mengurusnya tidak perlu bertemu dengan petugas,” paparnya.
Menurutnya, petugas yang terbukti melakukan penyimpangan dipastikan akan mendapatkan sanksi. Sanksi itu beragam sesuai dengan berat atau tidaknya pelanggaran yang terjadi. ”Bisa sampai pemecatan,” paparnya. (idr)