JAKARTA – Desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) secara paksa kian menguat. Itu lantaran manuver ketua umum DPP Partai Golkar tersebut yang justru semakin liar dengan menggugat 2 pasal undang-undang lembaga superbodi tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Langkah ekstrem Setnov melalui kuasa hukumnya itu berpotensi menghambat pengusutan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). ”Harus dijemput paksa !,” kata koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, kemarin (14/11). Bila KPK tidak melakukan upaya paksa, Setnov dikhawatirkan melakukan manuver lain.
Upaya paksa menghadirkan saksi atau tersangka dugaan korupsi sejatinya sudah pernah dilakukan KPK. Salah satunya pada Juli 2015. Kala itu, KPK menjemput paksa Bupati Morotai Rusli Sibua yang berstatus tersangka suap sengketa pilkada di MK. Penjemputan paksa atau perintah membawa itu dilakukan lantaran yang bersangkutan berkali-kali mangkir panggilan komisi antirasuah.
Boyamin menjelaskan, Setnov sudah memenuhi kategori saksi atau tersangka yang layak dijemput paksa. Sebab, Setnov sudah dipanggil lebih dari 2 kali sebagai saksi dan selalu menyampaikan alasan kurang wajar. Sesuai hukum acara pidana (KUHAP) pasal 112 ayat (2), penyidik berhak mengeluarkan perintah membawa (paksa) terhadap orang yang 2 kali tidak memenuhi panggilan.
Menurut Boyamin, bila alasan Setnov dianggap penyidik wajar, maka jemput paksa bisa dilakukan setelah panggilan ketiga tidak diindahkan. ”Kalau ada alasan maka setelah panggilan ketiga (baru dipanggil paksa, Red). Terlepas alasan itu masuk akal atau tidak masuk akal,” paparnya. KPK juga bisa menerapkan mekanisme penangkapan terhadap Setnov. ”Dengan dasar cukup bukti.”
Boyamin berharap KPK segera melakukan upaya jemput paksa atau penangkapan terhadap Setnov. Sebab, ketentuan dan dasar hukum melakukan upaya itu sudah jelas. ”KPK tidak seharusnya menganggap SN sebagai warga yang istimewa,” ungkap mantan pengacara Antasari Azhar tersebut.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya kembali mengagendakan pemeriksaan terhadap Setnov hari ini. Orang nomor satu di parlemen tersebut diperiksa sebagai tersangka. ”Nanti kami lihat apakah besok (hari ini, Red) yang bersangkutan (Setnov) datang atau tidak datang,” ujarnya di gedung KPK, kemarin.
KPK berharap Setnov tidak lagi mangkir dibalik alasan yang kurang relevan. Misal, meminta KPK untuk mendapatkan persetujuan tertulis presiden sebelum melakukan pemanggilan. Padahal, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi anggota DPR yang berurusan dengan tindak pidana khusus, seperti korupsi. ”Kalau kita baca UU MD3 secara hati-hati, tidak ada ketentuan itu (minta izin presiden).”
Terkait opsi jemput paksa, Febri menjawab normatif. Menurut dia, KPK belum memiliki rencana melakukan hal tersebut meski alasan Setnov mangkir dinilai tidak masuk akal oleh penyidik. KPK beralasan masih fokus pada upaya memeriksa saksi-saksi lain. ”Kami juga belum bicara penahanan (Setnov, Red),” imbuhnya.
KPK juga berharap istri Setnov, Deisti Astriani Tagor dapat memenuhi panggilan penyidik. Deisti sejatinya dipanggil terkait kasus e-KTP pada Jumat (10/11) dalam kapasitas sebagai mantan komisaris PT Mondialindo Graha Perdana. Hanya, yang bersangkutan tidak hadir dengan alasan sakit. Nah, KPK kembali menjadwalkan ulang agenda pemeriksaan setelah yang bersangkutan sembuh.
Di sisi lain, Wapres Jusuf Kalla menyindir Setya Novanto yang dia sebut melakukan segala cara untuk bebas dari jerat hukum. Sindiran itu dia sampaikan ketika menjawab pertanyaan wartwan soal upaya piudana terhadap pimpinan KPK hingga gugatan terhadap UU KPK. ’’Ya namanya usaha, banyak orang berusaha untuk bebas dengan cara bermacam-macam.’’ Terang JK di kantornya kemarin.
Karena itu, JK melihat apa yang dilakukan oleh pimpinan legislatif, yakni Setnov, merupakan upaya dia untuk bisa bebas. ’’Selama hukum membolehkan, ya kita tidak boleh melarangnya,’’ lanjut JK. Termasuk dalam hal gugatan UU. Semua orang yang memiliki legal standing boleh mengajukan gugatan, bila merasa dirugikan oleh UU yang ada.
Hanya saja, JK mempertanyakan waktu pengajuan gugatan itu yang lama setelah UU tersebut disahkan. ’’Pertanyaannya, kenapa kena baru mengajukan (gugatan),’’ lanjutnya. Disinggung apakah hal tersebut etis, mengingat posisi Setnov sebagai bagian dari pimpinan negara, JK menjawab enteng. “Ya namanya juga usaha,’’ tutupnya. (tyo/byu)
Langkah ekstrem Setnov melalui kuasa hukumnya itu berpotensi menghambat pengusutan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). ”Harus dijemput paksa !,” kata koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, kemarin (14/11). Bila KPK tidak melakukan upaya paksa, Setnov dikhawatirkan melakukan manuver lain.
Upaya paksa menghadirkan saksi atau tersangka dugaan korupsi sejatinya sudah pernah dilakukan KPK. Salah satunya pada Juli 2015. Kala itu, KPK menjemput paksa Bupati Morotai Rusli Sibua yang berstatus tersangka suap sengketa pilkada di MK. Penjemputan paksa atau perintah membawa itu dilakukan lantaran yang bersangkutan berkali-kali mangkir panggilan komisi antirasuah.
Boyamin menjelaskan, Setnov sudah memenuhi kategori saksi atau tersangka yang layak dijemput paksa. Sebab, Setnov sudah dipanggil lebih dari 2 kali sebagai saksi dan selalu menyampaikan alasan kurang wajar. Sesuai hukum acara pidana (KUHAP) pasal 112 ayat (2), penyidik berhak mengeluarkan perintah membawa (paksa) terhadap orang yang 2 kali tidak memenuhi panggilan.
Menurut Boyamin, bila alasan Setnov dianggap penyidik wajar, maka jemput paksa bisa dilakukan setelah panggilan ketiga tidak diindahkan. ”Kalau ada alasan maka setelah panggilan ketiga (baru dipanggil paksa, Red). Terlepas alasan itu masuk akal atau tidak masuk akal,” paparnya. KPK juga bisa menerapkan mekanisme penangkapan terhadap Setnov. ”Dengan dasar cukup bukti.”
Boyamin berharap KPK segera melakukan upaya jemput paksa atau penangkapan terhadap Setnov. Sebab, ketentuan dan dasar hukum melakukan upaya itu sudah jelas. ”KPK tidak seharusnya menganggap SN sebagai warga yang istimewa,” ungkap mantan pengacara Antasari Azhar tersebut.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya kembali mengagendakan pemeriksaan terhadap Setnov hari ini. Orang nomor satu di parlemen tersebut diperiksa sebagai tersangka. ”Nanti kami lihat apakah besok (hari ini, Red) yang bersangkutan (Setnov) datang atau tidak datang,” ujarnya di gedung KPK, kemarin.
KPK berharap Setnov tidak lagi mangkir dibalik alasan yang kurang relevan. Misal, meminta KPK untuk mendapatkan persetujuan tertulis presiden sebelum melakukan pemanggilan. Padahal, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi anggota DPR yang berurusan dengan tindak pidana khusus, seperti korupsi. ”Kalau kita baca UU MD3 secara hati-hati, tidak ada ketentuan itu (minta izin presiden).”
Terkait opsi jemput paksa, Febri menjawab normatif. Menurut dia, KPK belum memiliki rencana melakukan hal tersebut meski alasan Setnov mangkir dinilai tidak masuk akal oleh penyidik. KPK beralasan masih fokus pada upaya memeriksa saksi-saksi lain. ”Kami juga belum bicara penahanan (Setnov, Red),” imbuhnya.
KPK juga berharap istri Setnov, Deisti Astriani Tagor dapat memenuhi panggilan penyidik. Deisti sejatinya dipanggil terkait kasus e-KTP pada Jumat (10/11) dalam kapasitas sebagai mantan komisaris PT Mondialindo Graha Perdana. Hanya, yang bersangkutan tidak hadir dengan alasan sakit. Nah, KPK kembali menjadwalkan ulang agenda pemeriksaan setelah yang bersangkutan sembuh.
Di sisi lain, Wapres Jusuf Kalla menyindir Setya Novanto yang dia sebut melakukan segala cara untuk bebas dari jerat hukum. Sindiran itu dia sampaikan ketika menjawab pertanyaan wartwan soal upaya piudana terhadap pimpinan KPK hingga gugatan terhadap UU KPK. ’’Ya namanya usaha, banyak orang berusaha untuk bebas dengan cara bermacam-macam.’’ Terang JK di kantornya kemarin.
Karena itu, JK melihat apa yang dilakukan oleh pimpinan legislatif, yakni Setnov, merupakan upaya dia untuk bisa bebas. ’’Selama hukum membolehkan, ya kita tidak boleh melarangnya,’’ lanjut JK. Termasuk dalam hal gugatan UU. Semua orang yang memiliki legal standing boleh mengajukan gugatan, bila merasa dirugikan oleh UU yang ada.
Hanya saja, JK mempertanyakan waktu pengajuan gugatan itu yang lama setelah UU tersebut disahkan. ’’Pertanyaannya, kenapa kena baru mengajukan (gugatan),’’ lanjutnya. Disinggung apakah hal tersebut etis, mengingat posisi Setnov sebagai bagian dari pimpinan negara, JK menjawab enteng. “Ya namanya juga usaha,’’ tutupnya. (tyo/byu)