Berani Lapor dan Tak Nyontek saat Ujian
Menjadi pejuang antikorupsi tidak bisa instan. Diperlukan proses yang berkelanjutan sejak usia dini. Belakangan, mulai muncul tren menanamkan perilaku jujur untuk anak-anak dan dewasa.
--------------------------
Bayu Putra-Agus D. Prasetyo, Jakarta
-------------------------
WHITBY Christy sontak berdiri ketika gurunya bertanya siapa yang melihat kejadian bullying terhadap seorang kawannya. Siswi kelas VII SMPN 155 Jakarta itu mengaku melihat aksi perundungan tersebut dilakukan teman sekelasnya. Tidak ada rasa takut meski yang dilaporkan adalah orang yang dikenalnya.
Itu adalah gambaran salah satu drama yang disajikan dalam Festival Anak Jujur (FAJ) 2 yang dihelat KPK pada 1–3 Desember lalu. Sejumlah relawan menyajikan drama bullying dan para siswa terlibat aktif. Tidak hanya sebagai penonton, tapi juga terlibat langsung dalam cerita.
Drama perundungan itu dimaksudkan, antara lain, melatih siswa berani bersaksi. Ketika ada pelanggaran hukum di hadapannya dan tidak bisa mencegah, yang bisa dilakukan adalah bersaksi atas pelanggaran tersebut. Dan untuk menjadi saksi, dibutuhkan keberanian. Apalagi bila pelakunya adalah orang yang dia kenal.
Bukan hanya bullying, ada sejumlah drama lain yang ditampilkan. Misalnya, tentang kejujuran di dalam rumah. Bagaimana seorang anak berusaha memenuhi ambisi orang tua sehingga melakukan segala cara agar terlihat baik di hadapan orang tuanya.
FAJ 2 dilaksanakan di lantai 3 gedung belakang KPK, tempat para tersangka kasus korupsi ditahan. Tepatnya di ruang olahraga yang sekaligus menjadi tempat para tahanan KPK berinteraksi. Tentu saja, selama tiga hari itu, para tahanan tidak bisa mengakses ruang tersebut. Sebelumnya, FAJ jilid I 2016 digelar di Ecovention, Ancol.
Kegiatan itu melibatkan para siswa mulai level SD hingga SMA. Setiap level diberi pelajaran yang berbeda sesuai kemampuan para siswa dalam memahami persoalan. Mereka diberi gambaran yang biasa terjadi dalam pergaulan antar sesamanya.
Whitby pun mengaku antusias mengikuti setiap drama yang ditampilkan. Khusus mengenai drama bullying, dia memiliki alasan tersendiri untuk menjadi yang paling aktif. "Karena aku kan juga pernah di-bully, jadi ngerasain," tuturnya. Di sekolahnya, dia pernah di-bully tentang fisik, bahkan pernah dirundung soal agama yang dianutnya.
Karena itu, dia tahu betul bahwa di-bully itu sangat tidak enak. Dalam pergaulannya di sekolah pun, dia pernah membela kawannya yang di-bully teman lainnya. Dia ingin menunjukkan bahwa untuk berbuat benar tidak perlu takut.
Whitby menuturkan, ada banyak hal yang dirinya pelajari dalam FAJ. Di antaranya, bagaimana bersikap sopan hingga cara memanusiakan manusia. "Juga bagaimana kita harus berani berpendapat," lanjutnya. Bagi Whitby, dari semua yang dipelajarinya, kejujuran sangat penting dalam pergaulan. Dia sendiri mengakui masih belum mampu 100 persen jujur meski sudah berupaya. Khususnya di rumah. Salah satunya, untuk menyenangkan hati orang tuanya. Kadang dia khawatir orang tuanya kecewa bila tahu kenyataannya.
Nilai kejujuran sangat penting untuk mencegah perilaku koruptif. Dan itu bisa dilatih melalui perilaku sehari-hari. Baik di rumah, sekolah, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut dia, banyak hal positif yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kejujuran, keberanian, keadilan, hingga kedisiplinan. Semuanya bisa diterapkan secara sederhana dalam pergaulan. Itu bisa mencegah peluang remaja berperilaku buruk.
M. Rehan Alfaris juga berpendapat bahwa latihan kejujuran harus terus digalakkan. Dia senang bisa mengikuti drama yang disajikan dalam FAJ 2. "Saya harus introspeksi diri agar ke depan bisa lebih jujur," tutur siswa SMPN 141 Jakarta itu. Contoh kecil penerapan kejujuran di sekolah adalah tidak menyontek saat ujian. Ketika ditanya apakah dia pernah menyontek, siswa kelas VIII itu tersipu. "Pernah, tapi saya yakin setelah ini bisa mengurangi itu," imbuhnya.
Pihak sekolah juga menangkap pesan yang disampaikan KPK. Setelah beberapa tahun belakangan ajakan berperilaku jujur digaungkan lewat media massa, pihak sekolah mengembangkan program latihan kejujuran versi masing-masing.
Wakasek Kesiswaan SMPN 104 Jakarta Murtini menuturkan, yang ditampilkan dalam drama sebenarnya sudah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. "Contohnya, ada seorang ibu yang menyuruh anaknya mengatakan bahwa ibu tidak ada di rumah kepada tamunya. Itu sering sekali kita lihat," tuturnya. Perintah ibu dalam contoh kecil tersebut adalah cara mengajari anak untuk berbohong.
Begitu pula kasus bullying, yang muncul saat seorang siswa merasa lebih hebat daripada yang lain. Kemudian, dia menindas siswa lain yang dinilai lemah. Para siswa pun diajar untuk melawan ketidakadilan semacam itu.
Murtini menjelaskan, di sekolahnya, pelatihan kejujuran dikemas dalam berbagai metode. Salah satunya lewat latihan dasar kepemimpinan siswa (LDKS). Dalam kegiatan tersebut, ditanamkan nilai-nilai kejujuran, keberanian untuk menolong yang lemah, hingga kepedulian sosial.
Menurut Murtini, mendidik siswa untuk jujur itu gampang-gampang susah. Di sekolah para guru selalu membiasakan siswanya berperilaku jujur. Baik kepada guru maupun sesama teman. "Tapi, ketika dia kembali ke rumah, ini yang kami sangsikan, apakah oang tua juga berperan aktif mengajak anak-anak untuk jujur," tambah guru 52 tahun tersebut.
Karena itu, dia berkesimpulan bahwa pendidikan di rumah dan sekolah harus sinkron. Ketika sekolah menerapkan nilai kejujuran, orang tua juga harus proaktif menerapkan kejujuran di dalam rumah. Dengan demikian, pendidikan moral tersebut tidak akan terputus. Siswa akan terbiasa jujur karena baik di rumah maupun di sekolah ada keharusan untuk menjaga integritas.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menambahkan bahwa tidak mungkin pejuang antikorupsi lahir dari orang yang tidak jujur. "Pejuang antikorupsi ke depan itu sangat bergantung pada kejujuran sejak anak-anak sekarang," katanya kepada Jawa Pos.
(*/c10/c9/oki)
Menjadi pejuang antikorupsi tidak bisa instan. Diperlukan proses yang berkelanjutan sejak usia dini. Belakangan, mulai muncul tren menanamkan perilaku jujur untuk anak-anak dan dewasa.
--------------------------
Bayu Putra-Agus D. Prasetyo, Jakarta
-------------------------
WHITBY Christy sontak berdiri ketika gurunya bertanya siapa yang melihat kejadian bullying terhadap seorang kawannya. Siswi kelas VII SMPN 155 Jakarta itu mengaku melihat aksi perundungan tersebut dilakukan teman sekelasnya. Tidak ada rasa takut meski yang dilaporkan adalah orang yang dikenalnya.
Itu adalah gambaran salah satu drama yang disajikan dalam Festival Anak Jujur (FAJ) 2 yang dihelat KPK pada 1–3 Desember lalu. Sejumlah relawan menyajikan drama bullying dan para siswa terlibat aktif. Tidak hanya sebagai penonton, tapi juga terlibat langsung dalam cerita.
Drama perundungan itu dimaksudkan, antara lain, melatih siswa berani bersaksi. Ketika ada pelanggaran hukum di hadapannya dan tidak bisa mencegah, yang bisa dilakukan adalah bersaksi atas pelanggaran tersebut. Dan untuk menjadi saksi, dibutuhkan keberanian. Apalagi bila pelakunya adalah orang yang dia kenal.
Bukan hanya bullying, ada sejumlah drama lain yang ditampilkan. Misalnya, tentang kejujuran di dalam rumah. Bagaimana seorang anak berusaha memenuhi ambisi orang tua sehingga melakukan segala cara agar terlihat baik di hadapan orang tuanya.
FAJ 2 dilaksanakan di lantai 3 gedung belakang KPK, tempat para tersangka kasus korupsi ditahan. Tepatnya di ruang olahraga yang sekaligus menjadi tempat para tahanan KPK berinteraksi. Tentu saja, selama tiga hari itu, para tahanan tidak bisa mengakses ruang tersebut. Sebelumnya, FAJ jilid I 2016 digelar di Ecovention, Ancol.
Kegiatan itu melibatkan para siswa mulai level SD hingga SMA. Setiap level diberi pelajaran yang berbeda sesuai kemampuan para siswa dalam memahami persoalan. Mereka diberi gambaran yang biasa terjadi dalam pergaulan antar sesamanya.
Whitby pun mengaku antusias mengikuti setiap drama yang ditampilkan. Khusus mengenai drama bullying, dia memiliki alasan tersendiri untuk menjadi yang paling aktif. "Karena aku kan juga pernah di-bully, jadi ngerasain," tuturnya. Di sekolahnya, dia pernah di-bully tentang fisik, bahkan pernah dirundung soal agama yang dianutnya.
Karena itu, dia tahu betul bahwa di-bully itu sangat tidak enak. Dalam pergaulannya di sekolah pun, dia pernah membela kawannya yang di-bully teman lainnya. Dia ingin menunjukkan bahwa untuk berbuat benar tidak perlu takut.
Whitby menuturkan, ada banyak hal yang dirinya pelajari dalam FAJ. Di antaranya, bagaimana bersikap sopan hingga cara memanusiakan manusia. "Juga bagaimana kita harus berani berpendapat," lanjutnya. Bagi Whitby, dari semua yang dipelajarinya, kejujuran sangat penting dalam pergaulan. Dia sendiri mengakui masih belum mampu 100 persen jujur meski sudah berupaya. Khususnya di rumah. Salah satunya, untuk menyenangkan hati orang tuanya. Kadang dia khawatir orang tuanya kecewa bila tahu kenyataannya.
Nilai kejujuran sangat penting untuk mencegah perilaku koruptif. Dan itu bisa dilatih melalui perilaku sehari-hari. Baik di rumah, sekolah, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut dia, banyak hal positif yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kejujuran, keberanian, keadilan, hingga kedisiplinan. Semuanya bisa diterapkan secara sederhana dalam pergaulan. Itu bisa mencegah peluang remaja berperilaku buruk.
M. Rehan Alfaris juga berpendapat bahwa latihan kejujuran harus terus digalakkan. Dia senang bisa mengikuti drama yang disajikan dalam FAJ 2. "Saya harus introspeksi diri agar ke depan bisa lebih jujur," tutur siswa SMPN 141 Jakarta itu. Contoh kecil penerapan kejujuran di sekolah adalah tidak menyontek saat ujian. Ketika ditanya apakah dia pernah menyontek, siswa kelas VIII itu tersipu. "Pernah, tapi saya yakin setelah ini bisa mengurangi itu," imbuhnya.
Pihak sekolah juga menangkap pesan yang disampaikan KPK. Setelah beberapa tahun belakangan ajakan berperilaku jujur digaungkan lewat media massa, pihak sekolah mengembangkan program latihan kejujuran versi masing-masing.
Wakasek Kesiswaan SMPN 104 Jakarta Murtini menuturkan, yang ditampilkan dalam drama sebenarnya sudah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. "Contohnya, ada seorang ibu yang menyuruh anaknya mengatakan bahwa ibu tidak ada di rumah kepada tamunya. Itu sering sekali kita lihat," tuturnya. Perintah ibu dalam contoh kecil tersebut adalah cara mengajari anak untuk berbohong.
Begitu pula kasus bullying, yang muncul saat seorang siswa merasa lebih hebat daripada yang lain. Kemudian, dia menindas siswa lain yang dinilai lemah. Para siswa pun diajar untuk melawan ketidakadilan semacam itu.
Murtini menjelaskan, di sekolahnya, pelatihan kejujuran dikemas dalam berbagai metode. Salah satunya lewat latihan dasar kepemimpinan siswa (LDKS). Dalam kegiatan tersebut, ditanamkan nilai-nilai kejujuran, keberanian untuk menolong yang lemah, hingga kepedulian sosial.
Menurut Murtini, mendidik siswa untuk jujur itu gampang-gampang susah. Di sekolah para guru selalu membiasakan siswanya berperilaku jujur. Baik kepada guru maupun sesama teman. "Tapi, ketika dia kembali ke rumah, ini yang kami sangsikan, apakah oang tua juga berperan aktif mengajak anak-anak untuk jujur," tambah guru 52 tahun tersebut.
Karena itu, dia berkesimpulan bahwa pendidikan di rumah dan sekolah harus sinkron. Ketika sekolah menerapkan nilai kejujuran, orang tua juga harus proaktif menerapkan kejujuran di dalam rumah. Dengan demikian, pendidikan moral tersebut tidak akan terputus. Siswa akan terbiasa jujur karena baik di rumah maupun di sekolah ada keharusan untuk menjaga integritas.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menambahkan bahwa tidak mungkin pejuang antikorupsi lahir dari orang yang tidak jujur. "Pejuang antikorupsi ke depan itu sangat bergantung pada kejujuran sejak anak-anak sekarang," katanya kepada Jawa Pos.
(*/c10/c9/oki)