M. KHOIRUL ANWAR/RADAR KUDUS |
Berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) tidak menghalangi Sarjono berkesenian. Bahkan, dia mencetuskan jenis kesenian baru, Wayang Golek Langkung. Wayang tersebut terbuat dari bambu dan tempurung kelapa.
-----------------------
M. KHOIRUL ANWAR, Jepara
----------------------
RUMAH sekaligus sanggar seni. Itu dikemas dengan baik oleh Sarjono di Desa Langon, Kecamatan Tahunan. Sanggar seni yang dinamakan ‘Panggung Alit’ itu di belakang rumahnya.
Beralaskan tikar sembari dihidangkan rebusan pisang dan kopi panas di sanggar seni belum lama ini, Sarjono menceritakan proses terbentuknya Wayang Golek Langkung. Wayang tersebut merupakan wayang golek yang terbuat dari bambu.
Menurutnya, nama Wayang Golek Langkung mempunyai filosofis yang mendalam. Selain diambil dari bentuknya yang seperti Wayang Golek, kata golek dalam bahasa Jawa selain berarti sejenis boneka juga memiliki arti mencari. Sedangkan, kata langkung dalam bahasa Jawa berarti luwih atau dalam bahasa Indonesia yaitu lebih atau kelebihan.
Nama Wayang Golek Langkung ini bisa diartikan mencari kelebihan. Mencari kelebihan yang dimaksud adalah lebih berguna bagi masyarakat luas. “Lebih siap menghadapi hidup setelah kehidupan yaitu kematian,” imbuhnya.
PNS Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Jepara ini melanjutkan, sebelum ada Wayang Golek Langkung ini, pada 2005 berdiri komunitas musik Mpu Palman. Sebuah komunitas musik khas Kota Ukir yang mengusung alat musik dari bambu. Anggotanya terdiri dari pegiat seni.
Latar belakang mereka berbeda-beda. Ada pengusaha, guru, tukang bunga, wartawan, pelajar, dan mahasiswa. Setelah eksistensinya selama kurang lebih enam tahun, dia bersama anggotanya mencoba menghidupkan kembali gairah berkesenian dengan mengangkat tema garapan wayang.
Cerita yang diangkat dalam penggarapan wayang tak jauh dari tema-tema sosial budaya, kesenian, dan masyarakat sekitar. “Dulu melalui lagu macapat Mpu Palman, penonton belum bisa menangkap pesan yang disampaikan. Sehingga muncul ide kolaborasi antara musik dan cerita wayang. Pementasan tidak terikat jenis lakon tertentu. Menyesuaikan tempat pementasan saja,” terangnya.
Dia mengaku, melalui kesenian kontemporer tersebut menggarap musik macapat gagrak pesisiran. Berbeda dengan model Surakarta, Jogjakarta, bahkan Semarang. Perbedaan yang sangat menonjol pada tempo lagu.
Kalau macapat biasanya bertempokan lambat dan halus, di tangannya bertempo lebih cepat dan bersemangat. Temponya disesuaikan kondisi masyarakat pesisir. Pementasan biasanya dilakukan di festival seni baik di Jepara maupun luar daerah. Terkadang tampil di sedekah bumi.
Disinggung tentang regenerasi kelompok wayangnya tersebut, dia kesulitan. Karena anggotanya telah berganti personel beberapa kali. Saat ini dia mencoba menggandeng anak-anak dan remaja di sekitar rumahnya.
Mereka dikenalkan dengan kesenian musik bambu beserta wayangnya. “Anggota lama sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sebelum pergantian anggota, mereka harus menularkan ilmunya kepada anak-anak di sini,” imbuhnya.
Setiap Sabtu Pahing, dia bersama anggotanya mengadakan rutinan jagong budaya. Di sana dia mengundang para pendidik dan pegiat seni. Mendiskusikan permasalahan sosial dan mencari jalan keluar berdasarkan perspektif kesenian. “Melalui jagongan ini ditampilkan pertunjukan wayang dan musik. Terkadang diisi kesenian lain dari teman-teman seniman,” ujarnya. (*/ris)