JAKARTA – Jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan surat dakwaan Setya Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi e-KTP telah memenuhi syarat, baik formal maupun material hukum pidana. Mereka pun meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta untuk menolak nota keberatan (eksepsi) penasehat hukum (PH) Setnov dan melanjutkan sidang kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Permohonan penolakan eksepsi Setnov itu dibacakan tim penuntut umum KPK, kemarin (28/12). Jaksa menganggap dalil-dalil eksepsi Setnov yang dibacakan PH pekan lalu tidak berdasar. Misal, soal penyidikan yang tidak sah. Menurut jaksa, Setnov bisa kembali ditetapkan tersangka meski pernah menang gugatan praperadilan dalam kasus yang sama.
Begitu pula soal dalil PH yang menganggap surat dakwaan Setnov tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Jaksa menegaskan, PH seharusnya tidak perlu membuang energi untuk mempelajari surat dakwaan perkara Irman, Sugiharto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai pembanding surat dakwaan Setnov.
Sebab, surat dakwaan yang disusun secara jelas memenuhi 8 unsur syarat material. Yakni, tindak pidana yang didakwakan, siapa pelakunya, dimana tindak pidana dilakukan, kapan tindak pidana terjadi, akibat tindak pidana, hal yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana, kronologi, sampai ketentuan tindak pidana yang diterapkan.
”Surat dakwaan tersebut telah memenuhi syarat sahnya surat dakwaan,” kata jaksa KPK Ahmad Burhanudin saat membacakan tanggapan eksepsi. Jaksa juga menegaskan bahwa penilaian pemecahan (splitsing) berkas perkara yang menjadi dasar surat dakwaan merupakan hal keliru. ”Splitsing masuk dalam ranah teknis penuntutan, bukan merupakan asas hukum acara pidana,” terangnya.
Sementara terkait dengan indikasi penerimaan uang USD 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille seri RM 011 dari Andi Narogong, jaksa beranggapan materi itu merupakan bagian dari pokok perkara yang akan dibuktikan dalam rangkaian persidangan. Sehingga, tidak tepat ditanggapi di tahap eksepsi. ”Mekanismenya akan dilakukan dalam pembuktian pokok perkara dalam ranah sidang,” ujarnya.
Pengacara Setnov, Firman Wijaya menyatakan pihaknya sudah menduga sebelumnya tanggapan jaksa tersebut. Dia pun menyesalkan tidak adanya penjelasan jaksa soal nama-nama politikus DPR yang hilang dalam tanggapan kemarin. Hal tersebut dinilai berseberangan dengan transparansi peradilan. ”Ini berkaitan soal keadilan,” ucapnya.
Selain itu, Firman juga menilai tanggapan jaksa soal penggabungan dan splitsing perkara e-KTP juga masih membingungkan. Sebab, jaksa justru berargumen bahwa penasehat hukum mestinya fokus saja terhadap perkara Setnov, bukan kasus dengan terdakwa lain.
”Tapi (jaksa) mengatakan, ini (kasus Setnov) ada kaitannya dengan perkara-perkara lain, karena ini kasus e-KTP,” imbuh pengacara senior tersebut. Majelis hakim kemarin menjadwalkan pembacaraan putusan sela sidang Setnov Kamis (4/12) pekan depan. Bila eksepsi dikabulkan, sidang Setnov terancam terhambat. Sebab, kewenangan penahanan Setnov berada dibawah hakim. (tyo/agm)
Permohonan penolakan eksepsi Setnov itu dibacakan tim penuntut umum KPK, kemarin (28/12). Jaksa menganggap dalil-dalil eksepsi Setnov yang dibacakan PH pekan lalu tidak berdasar. Misal, soal penyidikan yang tidak sah. Menurut jaksa, Setnov bisa kembali ditetapkan tersangka meski pernah menang gugatan praperadilan dalam kasus yang sama.
Begitu pula soal dalil PH yang menganggap surat dakwaan Setnov tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Jaksa menegaskan, PH seharusnya tidak perlu membuang energi untuk mempelajari surat dakwaan perkara Irman, Sugiharto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai pembanding surat dakwaan Setnov.
Sebab, surat dakwaan yang disusun secara jelas memenuhi 8 unsur syarat material. Yakni, tindak pidana yang didakwakan, siapa pelakunya, dimana tindak pidana dilakukan, kapan tindak pidana terjadi, akibat tindak pidana, hal yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana, kronologi, sampai ketentuan tindak pidana yang diterapkan.
”Surat dakwaan tersebut telah memenuhi syarat sahnya surat dakwaan,” kata jaksa KPK Ahmad Burhanudin saat membacakan tanggapan eksepsi. Jaksa juga menegaskan bahwa penilaian pemecahan (splitsing) berkas perkara yang menjadi dasar surat dakwaan merupakan hal keliru. ”Splitsing masuk dalam ranah teknis penuntutan, bukan merupakan asas hukum acara pidana,” terangnya.
Sementara terkait dengan indikasi penerimaan uang USD 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille seri RM 011 dari Andi Narogong, jaksa beranggapan materi itu merupakan bagian dari pokok perkara yang akan dibuktikan dalam rangkaian persidangan. Sehingga, tidak tepat ditanggapi di tahap eksepsi. ”Mekanismenya akan dilakukan dalam pembuktian pokok perkara dalam ranah sidang,” ujarnya.
Pengacara Setnov, Firman Wijaya menyatakan pihaknya sudah menduga sebelumnya tanggapan jaksa tersebut. Dia pun menyesalkan tidak adanya penjelasan jaksa soal nama-nama politikus DPR yang hilang dalam tanggapan kemarin. Hal tersebut dinilai berseberangan dengan transparansi peradilan. ”Ini berkaitan soal keadilan,” ucapnya.
Selain itu, Firman juga menilai tanggapan jaksa soal penggabungan dan splitsing perkara e-KTP juga masih membingungkan. Sebab, jaksa justru berargumen bahwa penasehat hukum mestinya fokus saja terhadap perkara Setnov, bukan kasus dengan terdakwa lain.
”Tapi (jaksa) mengatakan, ini (kasus Setnov) ada kaitannya dengan perkara-perkara lain, karena ini kasus e-KTP,” imbuh pengacara senior tersebut. Majelis hakim kemarin menjadwalkan pembacaraan putusan sela sidang Setnov Kamis (4/12) pekan depan. Bila eksepsi dikabulkan, sidang Setnov terancam terhambat. Sebab, kewenangan penahanan Setnov berada dibawah hakim. (tyo/agm)