JAKARTA – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memperingatkan Belanja online sebagai transaksi yang rawan terhadap pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Hal tersebut disampaikan pengurus harian YLKI di Jakarta kemarin (19/1/2018).
Dalam catatan YLKI, dari total 642 pengaduan (di luar jumlah pengaduan umroh), 16 persennya adalah aduan tentang belanja online. Atau 101 aduan. Tertinggi dibanding jenis aduan lain. Pengaduan meliputi masalah tidak terkirimnya barang, proses refund, sistem, cacat produk, penipuan, cyber crime (peretasan akun dan pencurian data pribadi), hingga lambatnya respon penjual.
Dari 101 aduan tersebut, 86 persen ditujukan pada toko online yang berada dibawah naungan penyedia aplikasi. Sisanya adalah berasal dari blog probadi, domain umum, dan media sosial.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan bahwa meskipun transaksi online meningkat pesat, namun nyatanya banyak pelanggaran konsumen. Pada Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) Desember lalu, tercatat bahwa jumlah aduan mencapai puncaknya, yakni 33 aduan. Meningkat 40 persen dari bulan Desember tahun lalu.
Menurut Tulus, setidaknya ada dua faktor mengapa sektor belanja online sangat rawan terhadap pelanggaran hak konsumen. “Lemahnya regulasi dan ada I’tikad yang kurang baik dari operator atau penyedia jasa belanja,” katanya.
Selain itu, kata Tulus, ketidakmengertian konsumen terhadap hak-hak nya juga masih menjadi faktor yang mendominasi. Maka dari itu edukasi terhadap hak-hak konsumen harus terus dilakukan. Terungkapnya kasus pelanggaran juga membutuhkan konsumen yang kritis dan berani. “Saya yakin banyak yang tahu persis haknya dilanggar, tapi masih belum berani melaporkan,” katanya.
Hal ini, kata Tulus dapat dipahami karena akhir-akhir ini banyak produsen melakukan kriminalisasi terhadap konsumennya sendiri. Contohnya seperti kasus Acho dan Menejemen Apartemen Green Pramuka. “Sebenarnya masih banyak kasus-kasus lain,” ujarnya.
Untuk itu, kata Tulus, sebaiknya para konsumen tidak terburu-buru untuk memposting kritik dan keluhan di media sosial tanpa ada komunikasi dengan pihak produsen/pengelola terlebih dahulu. Apalagi belum disertai dengan bukti-bukti yang kuat.
Meski demikian, konsumen sudah seharusnya kritis terhadap produsen yang melanggar hak-haknya. Di banding negara-negara lain, jumlah pengaduan di indonesia yang rata-rata ratusan tiap tahun masih kalah jauh dari negara maju semisal Singapura yang mencapai 19 ribu pengaduan per tahun.
Indeks pemberdayaan konsumen indonesia masih terhitung sedang, yakni pada angkat 32- 33 sementara Singapura berada di angka 55. “Jadi bukan berarti negara maju nggak ada masalahnya. Tapi konsumennya kritis, dan itu bagus,” pungkas Tulus.(tau)
Dalam catatan YLKI, dari total 642 pengaduan (di luar jumlah pengaduan umroh), 16 persennya adalah aduan tentang belanja online. Atau 101 aduan. Tertinggi dibanding jenis aduan lain. Pengaduan meliputi masalah tidak terkirimnya barang, proses refund, sistem, cacat produk, penipuan, cyber crime (peretasan akun dan pencurian data pribadi), hingga lambatnya respon penjual.
Dari 101 aduan tersebut, 86 persen ditujukan pada toko online yang berada dibawah naungan penyedia aplikasi. Sisanya adalah berasal dari blog probadi, domain umum, dan media sosial.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan bahwa meskipun transaksi online meningkat pesat, namun nyatanya banyak pelanggaran konsumen. Pada Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) Desember lalu, tercatat bahwa jumlah aduan mencapai puncaknya, yakni 33 aduan. Meningkat 40 persen dari bulan Desember tahun lalu.
Menurut Tulus, setidaknya ada dua faktor mengapa sektor belanja online sangat rawan terhadap pelanggaran hak konsumen. “Lemahnya regulasi dan ada I’tikad yang kurang baik dari operator atau penyedia jasa belanja,” katanya.
Selain itu, kata Tulus, ketidakmengertian konsumen terhadap hak-hak nya juga masih menjadi faktor yang mendominasi. Maka dari itu edukasi terhadap hak-hak konsumen harus terus dilakukan. Terungkapnya kasus pelanggaran juga membutuhkan konsumen yang kritis dan berani. “Saya yakin banyak yang tahu persis haknya dilanggar, tapi masih belum berani melaporkan,” katanya.
Hal ini, kata Tulus dapat dipahami karena akhir-akhir ini banyak produsen melakukan kriminalisasi terhadap konsumennya sendiri. Contohnya seperti kasus Acho dan Menejemen Apartemen Green Pramuka. “Sebenarnya masih banyak kasus-kasus lain,” ujarnya.
Untuk itu, kata Tulus, sebaiknya para konsumen tidak terburu-buru untuk memposting kritik dan keluhan di media sosial tanpa ada komunikasi dengan pihak produsen/pengelola terlebih dahulu. Apalagi belum disertai dengan bukti-bukti yang kuat.
Meski demikian, konsumen sudah seharusnya kritis terhadap produsen yang melanggar hak-haknya. Di banding negara-negara lain, jumlah pengaduan di indonesia yang rata-rata ratusan tiap tahun masih kalah jauh dari negara maju semisal Singapura yang mencapai 19 ribu pengaduan per tahun.
Indeks pemberdayaan konsumen indonesia masih terhitung sedang, yakni pada angkat 32- 33 sementara Singapura berada di angka 55. “Jadi bukan berarti negara maju nggak ada masalahnya. Tapi konsumennya kritis, dan itu bagus,” pungkas Tulus.(tau)