JAKARTA - Skandal mega korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) memanas. Itu menyusul munculnya nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sidang terdakwa Setya Novanto (Setnov) di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin (25/1/2018). Mantan Presiden RI dua periode itu disebut melakukan intervensi proyek e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
Nama SBY muncul dalam tanya jawab antara saksi Mirwan Amir dengan penasehat hukum (PH) Setnov, Firman Wijaya. Dalam pertanyaannya, Firman memperjelas perihal hubungan pemenang pemilu 2009, yakni Partai Demokrat, dengan proyek e-KTP yang dibahas di DPR tahun 2010 lalu.
Mirwan yang kala itu menjabat sebagai wakil ketua badan anggaran (banggar) DPR dari Fraksi Partai Drmokrat mengatakan bahwa e-KTP merupakan program pemerintah. Nah, saat diminta untuk mempertegas siapa pemerintah yang dimaksud, Mirwan lantas menyebut nama Susilo Bambang Yudhoyono. "Memang itu adalah program pemerintah," ungkap Mirwan.
Berikutnya, Mirwan yang disebut pernah berkomunikasi dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam dakwaan Setnov itu menyatakan sempat menyampaikan kepada SBY bahwa proyek e-KTP sebenarnya bermasalah. Penyampaian itu dilakukan saat acara di kediaman SBY di Cikeas.
Namun, SBY kala itu justru meminta proyek dilanjutkan. "Tanggapan dari bapak SBY bahwa ini (e-KTP) untuk menuju Pilkada jadi poyek ini harus diteruskan," ungkapnya menirukan instruksi SBY setelah menerima laporan masalah e-KTP tersebut. "Saya tidak tahu masalah teknisnya e-KTP, tapi menurut pak Yusnan (pengusaha yang tidak jadi ikut proyek e-KTP) program e-KTP ini ada masalah," bebernya.
Ditanya apa alasan SBY memberikan instruksi tersebut, Mirwan tidak tahu. Dia mengaku tidak punya kekuatan untuk bertindak lebih jauh. Baik menanyakan alasan dibalik intervensi presiden dua periode tersebut hingga kewenangan menyetop anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun itu. "Saya hanya sebatas itu saja, habis itu saya tidak punya (kekuatan, Red)," terangnya.
Kesaksian Mirwan tersebut menjadi senjata baru bagi kubu Setnov. Sebab, keterangan yang baru mencuat dalam sidang itu bisa digunakan sebagai fakta yang melemahkan peran Setnov sebagai aktor utama korupsi e-KTP. Hal itu pun sejalan dengan langkah Setnov mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC).
Firman Wijaya mengatakan, saksi Mirwan itu merupakan saksi dari jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Pihaknya hanya mempertegas saja apa yang ditanyakan oleh jaksa kepada Mirwan dalam sidang kemarin. "Jaksa penuntut umum memulai dengan pertanyaan apakah proyek e-KTP ini ada kaitannya dengan pemenang pemilu 2009, karena itu saya sebagai penasehat umum mempertegas," ujarnya usai sidang.
Menurut Firman, keterangan Mirwan mengungkap adanya intervensi pengaruh dari kekuatan besar kala itu. Dengan demikian, kata Firman, dakwaan jaksa yang menilai kliennya memiliki peran penting dalam proses anggaran e-KTP keliru. "Dipertegas saja, (KPK) jangan ada tabir, siapa yang disebut penguasa yang mengintervensi itu (e-KTP)," cetusnya.
Fakta baru tentang SBY itu kian memantapkan manuver Setnov. Sebelumnya, Setnov di persidangan Senin (22/1) lalu menyatakan bahwa akan membeberkan nama anggota DPR yang menerima aliran dana e-KTP. Dia mengaku sudah menulis catatan itu dan akan memberikannya ke JPU KPK. Namun, anehnya, meski bakal membeber nama anggota DPR, Setnov tetap belum mau mengakui penerimaan uang USD 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille seharga USD 135 ribu.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan, pihaknya sampai saat ini belum mendapat informasi apapun dari Setnov terkait daftar nama politikus yang akan dibeberkan di persidangan tersebut. Artinya, rencana Setnov membuka daftar nama yang tertuang dalam buku catatan pribadi itu masih dipertanyakan. "Belum ada informasi yang baru dan kuat," ujar Febri.
Febri mengatakan, sejauh ini Setnov masih berkelit terkait dugaan penerimaan fee e-KTP USD 7,3 juta yang didistribusikan melalui keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan rekannya Made Oka Masagung.
Dengan demikian, rencana mantan ketua DPR itu membeber nama penerima fee e-KTP sangat kontradiktif. "Kita tahu, SN masih berkelit di pengadilan terkait sejumlah perbuatan dan penerimaan (fee e-KTP)," jelas mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut.
Meski demikian, KPK tetap terus memantau perkembangan penuntutan perkara yang diduga merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun itu. Khususnya terkait dengan keterangan baru dari saksi yang dihadirkan seperti kemarin. Lembaga superbodi itu juga akan mempertimbangkan pengajuan JC Setnov. "Dan harus di ingat, syarat JC itu harus memenuhi kriteria, mulai dari mengakui perbuatan dan membuka peran pihak lain selain pelaku utama," imbuh dia.
Terpisah, Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean mengatakan, pernyataan yang disampaikan Mirwan tidak menunjukkan bahwa Presiden RI ke-6 SBY dan Partai Demokrat terlibat dalam pusaran korupsi e-KTP. Kalaupun ada kader yang terlibat, hal itu merupakan perbuatan oknum dan bukan partai secara lembaga. “SBY bersih dari seluruh kasus korupsi e-KTP,” tegas dia.
Saat itu, terangnya, SBY tidak mungkin menghentikan proyek yang sudah berjalan. Kebijakan tersebut sudah disetujui pemerintah dan DPR. Apalagi, tutur dia, program e-KTP sebagai upaya penataan identitas kependudukan warga negara Indonesia.
Penataan itu juga bertujuan untuk memperkuat faktualisasi data pemilih dalam pilkada dan pemilu. “Akan menjadi masalah besar bila proyek tersebut dihentikan begitu saja,” terang dia saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Selain itu, ucapnya, saat Mirwan menyampaikan informasi terkait proyek e-KTP, belum ada masalah korupsi yang mengganggu proyek data kependudukan tersebut, sehingga tidak mungkin bisa dihentikan tanpa alasan yang jelas. Penghentian akan berakibat hukum atas kontrak yang sudah ditandatangani. Pemerintah bisa dituntut balik oleh pihak kontraktor.
Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat Agus Hermanto mengatakan, dalam melaksanakan kebijakan proyek e-KTP, Presiden SBY sudah mempertimbangkan sangat matang. Menurut dia, program itu sangat penting. Kartu identitas elektronik itu sangat diperlukan.
Namun, tuturnya, ketika dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan dan pelanggaran, hal itu tidak ada kaitannya dengan presiden. Kasus korupsi yang muncul dalam proyek tersebut sepenuhnya menjadi ranah hukum dan harus diusut tuntas. “Tanpa pandang bulu dan tebang pilih. Harus transparan, akuntable dan profesional. Hindari politisasi kepentingan,” ucap wakil ketua DPR RI itu. (tyo/lum)
Nama SBY muncul dalam tanya jawab antara saksi Mirwan Amir dengan penasehat hukum (PH) Setnov, Firman Wijaya. Dalam pertanyaannya, Firman memperjelas perihal hubungan pemenang pemilu 2009, yakni Partai Demokrat, dengan proyek e-KTP yang dibahas di DPR tahun 2010 lalu.
Mirwan yang kala itu menjabat sebagai wakil ketua badan anggaran (banggar) DPR dari Fraksi Partai Drmokrat mengatakan bahwa e-KTP merupakan program pemerintah. Nah, saat diminta untuk mempertegas siapa pemerintah yang dimaksud, Mirwan lantas menyebut nama Susilo Bambang Yudhoyono. "Memang itu adalah program pemerintah," ungkap Mirwan.
Berikutnya, Mirwan yang disebut pernah berkomunikasi dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam dakwaan Setnov itu menyatakan sempat menyampaikan kepada SBY bahwa proyek e-KTP sebenarnya bermasalah. Penyampaian itu dilakukan saat acara di kediaman SBY di Cikeas.
Namun, SBY kala itu justru meminta proyek dilanjutkan. "Tanggapan dari bapak SBY bahwa ini (e-KTP) untuk menuju Pilkada jadi poyek ini harus diteruskan," ungkapnya menirukan instruksi SBY setelah menerima laporan masalah e-KTP tersebut. "Saya tidak tahu masalah teknisnya e-KTP, tapi menurut pak Yusnan (pengusaha yang tidak jadi ikut proyek e-KTP) program e-KTP ini ada masalah," bebernya.
Ditanya apa alasan SBY memberikan instruksi tersebut, Mirwan tidak tahu. Dia mengaku tidak punya kekuatan untuk bertindak lebih jauh. Baik menanyakan alasan dibalik intervensi presiden dua periode tersebut hingga kewenangan menyetop anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun itu. "Saya hanya sebatas itu saja, habis itu saya tidak punya (kekuatan, Red)," terangnya.
Kesaksian Mirwan tersebut menjadi senjata baru bagi kubu Setnov. Sebab, keterangan yang baru mencuat dalam sidang itu bisa digunakan sebagai fakta yang melemahkan peran Setnov sebagai aktor utama korupsi e-KTP. Hal itu pun sejalan dengan langkah Setnov mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC).
Firman Wijaya mengatakan, saksi Mirwan itu merupakan saksi dari jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Pihaknya hanya mempertegas saja apa yang ditanyakan oleh jaksa kepada Mirwan dalam sidang kemarin. "Jaksa penuntut umum memulai dengan pertanyaan apakah proyek e-KTP ini ada kaitannya dengan pemenang pemilu 2009, karena itu saya sebagai penasehat umum mempertegas," ujarnya usai sidang.
Menurut Firman, keterangan Mirwan mengungkap adanya intervensi pengaruh dari kekuatan besar kala itu. Dengan demikian, kata Firman, dakwaan jaksa yang menilai kliennya memiliki peran penting dalam proses anggaran e-KTP keliru. "Dipertegas saja, (KPK) jangan ada tabir, siapa yang disebut penguasa yang mengintervensi itu (e-KTP)," cetusnya.
Fakta baru tentang SBY itu kian memantapkan manuver Setnov. Sebelumnya, Setnov di persidangan Senin (22/1) lalu menyatakan bahwa akan membeberkan nama anggota DPR yang menerima aliran dana e-KTP. Dia mengaku sudah menulis catatan itu dan akan memberikannya ke JPU KPK. Namun, anehnya, meski bakal membeber nama anggota DPR, Setnov tetap belum mau mengakui penerimaan uang USD 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille seharga USD 135 ribu.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan, pihaknya sampai saat ini belum mendapat informasi apapun dari Setnov terkait daftar nama politikus yang akan dibeberkan di persidangan tersebut. Artinya, rencana Setnov membuka daftar nama yang tertuang dalam buku catatan pribadi itu masih dipertanyakan. "Belum ada informasi yang baru dan kuat," ujar Febri.
Febri mengatakan, sejauh ini Setnov masih berkelit terkait dugaan penerimaan fee e-KTP USD 7,3 juta yang didistribusikan melalui keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan rekannya Made Oka Masagung.
Dengan demikian, rencana mantan ketua DPR itu membeber nama penerima fee e-KTP sangat kontradiktif. "Kita tahu, SN masih berkelit di pengadilan terkait sejumlah perbuatan dan penerimaan (fee e-KTP)," jelas mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut.
Meski demikian, KPK tetap terus memantau perkembangan penuntutan perkara yang diduga merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun itu. Khususnya terkait dengan keterangan baru dari saksi yang dihadirkan seperti kemarin. Lembaga superbodi itu juga akan mempertimbangkan pengajuan JC Setnov. "Dan harus di ingat, syarat JC itu harus memenuhi kriteria, mulai dari mengakui perbuatan dan membuka peran pihak lain selain pelaku utama," imbuh dia.
Terpisah, Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean mengatakan, pernyataan yang disampaikan Mirwan tidak menunjukkan bahwa Presiden RI ke-6 SBY dan Partai Demokrat terlibat dalam pusaran korupsi e-KTP. Kalaupun ada kader yang terlibat, hal itu merupakan perbuatan oknum dan bukan partai secara lembaga. “SBY bersih dari seluruh kasus korupsi e-KTP,” tegas dia.
Saat itu, terangnya, SBY tidak mungkin menghentikan proyek yang sudah berjalan. Kebijakan tersebut sudah disetujui pemerintah dan DPR. Apalagi, tutur dia, program e-KTP sebagai upaya penataan identitas kependudukan warga negara Indonesia.
Penataan itu juga bertujuan untuk memperkuat faktualisasi data pemilih dalam pilkada dan pemilu. “Akan menjadi masalah besar bila proyek tersebut dihentikan begitu saja,” terang dia saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Selain itu, ucapnya, saat Mirwan menyampaikan informasi terkait proyek e-KTP, belum ada masalah korupsi yang mengganggu proyek data kependudukan tersebut, sehingga tidak mungkin bisa dihentikan tanpa alasan yang jelas. Penghentian akan berakibat hukum atas kontrak yang sudah ditandatangani. Pemerintah bisa dituntut balik oleh pihak kontraktor.
Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat Agus Hermanto mengatakan, dalam melaksanakan kebijakan proyek e-KTP, Presiden SBY sudah mempertimbangkan sangat matang. Menurut dia, program itu sangat penting. Kartu identitas elektronik itu sangat diperlukan.
Namun, tuturnya, ketika dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan dan pelanggaran, hal itu tidak ada kaitannya dengan presiden. Kasus korupsi yang muncul dalam proyek tersebut sepenuhnya menjadi ranah hukum dan harus diusut tuntas. “Tanpa pandang bulu dan tebang pilih. Harus transparan, akuntable dan profesional. Hindari politisasi kepentingan,” ucap wakil ketua DPR RI itu. (tyo/lum)