JAKARTA -- Kebijakan impor 500 ribu ton beras dianggap sebagai ketidakmampuan pemerintah menata kebijakan pangan nasional. Wakil Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Lely Pelitasari Soebekty menilai impor beras bak pil pahit yang terpaksa harus dimakan.
Lely menuturkan proses impor beras itu memakan waktu sekitar 40 hari. Itu artinya pada saat panen raya pada Maret justru beras impor itu datang. Dia meminta pemerintah agar beras tersebut tidak sampai langsung masuk ke pasar. Tapi, disimpan dulu di gudang-gudang Bulog.
"Itu untuk jaga-jaga. Kalau panen gagal, harga melonjak nah itu dikeluarkan untuk operasi pasar," ujar dia usai diskusi yang diadakan ICMI bertema 'Solusi Masalah Perberasan Indonesia' di Jakarta, kemarin (24/1).
Kebijakan impor, menurut Lely, pemerintah semestinya punya skema atau tata kelola pangan yang antisipatif. Masalah impor beras misalnya harus diputuskan jauh-jauh hari berdasarkan prediksi yang terukur.
"Istilah saya tadi pil pahit yang harus dimakan karena mungkin antisipasinya terlambat," ungkap dia.
ORI telah melakukan pemantauan langsung bersama kantor Perwakilan ORI di daerah. Mereka mewawancarai para pedagang beras. Hasilnya memang harga beras naik dan stok yang tak merata. "Memang kebijakannya hari ini tidak terintegrasi dengan baik," imbuh dia.
Wakil Ketua Umum ICMI Prof Hery Suhardiyanto menambahkan pemerintah perlu mengubah strategi subsidi di sektor pangan. Bukan lagi memberikan subsidi pupuk atau benih. Tapi, subsidi output dari para petani.
"Satu kelompok tani bisa menghasilkan produktivitas di atas angka tertentu bisa mendapakatka insentif," ujar mantan Rektor IPB itu. Dia yakin petani akan berlomba-lomba meningkatkan kemampuannya sendiri dan berinovasi untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Ide tersebut sudah berulangkali disampaikan, tapi pemerintah masih cari cara yang gampang dengan subsidi input seperti pupuk dan bibit.
Selain itu, menurut Hery para petani perlu membuat kelompok tani dengan lahan garapan bersama yang besar. Soal batas lahan bisa ditentukan dengan titik-titik GPS yang terukur. Dengan lahan garapan yang lebih luas para petani bisa mengusahakan hasil tanam yang lebih bagus.
"Petani kalau biasanya cuma mengelola 0,3 hektare dikonsolidasi jadi 30-50 hektare. Dilatih diajari mampu jadi operator traktor dan pengamat hama akan sangat tergerakan itu," ungkap dia.
Apalagi saat ini sudah ada benih unggul karya dari IPB atau Batan. Benih itu bisa ditanam di tanah yang telah terkonsolidasi tersebut. (Jun)
Lely menuturkan proses impor beras itu memakan waktu sekitar 40 hari. Itu artinya pada saat panen raya pada Maret justru beras impor itu datang. Dia meminta pemerintah agar beras tersebut tidak sampai langsung masuk ke pasar. Tapi, disimpan dulu di gudang-gudang Bulog.
"Itu untuk jaga-jaga. Kalau panen gagal, harga melonjak nah itu dikeluarkan untuk operasi pasar," ujar dia usai diskusi yang diadakan ICMI bertema 'Solusi Masalah Perberasan Indonesia' di Jakarta, kemarin (24/1).
Kebijakan impor, menurut Lely, pemerintah semestinya punya skema atau tata kelola pangan yang antisipatif. Masalah impor beras misalnya harus diputuskan jauh-jauh hari berdasarkan prediksi yang terukur.
"Istilah saya tadi pil pahit yang harus dimakan karena mungkin antisipasinya terlambat," ungkap dia.
ORI telah melakukan pemantauan langsung bersama kantor Perwakilan ORI di daerah. Mereka mewawancarai para pedagang beras. Hasilnya memang harga beras naik dan stok yang tak merata. "Memang kebijakannya hari ini tidak terintegrasi dengan baik," imbuh dia.
Wakil Ketua Umum ICMI Prof Hery Suhardiyanto menambahkan pemerintah perlu mengubah strategi subsidi di sektor pangan. Bukan lagi memberikan subsidi pupuk atau benih. Tapi, subsidi output dari para petani.
"Satu kelompok tani bisa menghasilkan produktivitas di atas angka tertentu bisa mendapakatka insentif," ujar mantan Rektor IPB itu. Dia yakin petani akan berlomba-lomba meningkatkan kemampuannya sendiri dan berinovasi untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Ide tersebut sudah berulangkali disampaikan, tapi pemerintah masih cari cara yang gampang dengan subsidi input seperti pupuk dan bibit.
Selain itu, menurut Hery para petani perlu membuat kelompok tani dengan lahan garapan bersama yang besar. Soal batas lahan bisa ditentukan dengan titik-titik GPS yang terukur. Dengan lahan garapan yang lebih luas para petani bisa mengusahakan hasil tanam yang lebih bagus.
"Petani kalau biasanya cuma mengelola 0,3 hektare dikonsolidasi jadi 30-50 hektare. Dilatih diajari mampu jadi operator traktor dan pengamat hama akan sangat tergerakan itu," ungkap dia.
Apalagi saat ini sudah ada benih unggul karya dari IPB atau Batan. Benih itu bisa ditanam di tanah yang telah terkonsolidasi tersebut. (Jun)