JAKARTA– Peristiwa kekerasan yang kembali menerpa Jamaah Ahmadiyah di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat (NTB) memantik keprihatinan sejumlah kalangan. Untuk memberikan efek jera, pemerintah dan aparat kepolisian diminta menindak tegas pelaku.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, apapun motifnya, penyerangan dan aksi kekerasan yang berakibat pada terusirnya 24 orang warga Ahmadiyah dari kampungnya bukan hal yang dibenarkan. Oleh karenanya, pemerintah harus bisa melindungi.
Beka menambahkan, apa yang menimpa jamaah ahmadiyah di Lombok Timur bukanlah yang pertama. Peristiwa itu terus berulang sejak tahun 2006 lalu. “Dari 2006 belum ada solusi yang memadai baik dari pusat maupun daerah. Kami meminta negara yang memiliki kewajiban konstitusi untuk memberikan perlindungan,” ujarnya di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, kemarin (21/5/2018).
Selain itu, Beka juga meminta aparat kepolisian untuk menggunakan pendekatan pidana terhadap pelaku. Diakuinya, dalam menghadapi konflik yang bermuatan agama, selama ini polri selalu mengedepankan penyelesaian secara damai. Imbasnya, pelaku pengerusakan dan aksi masa yang kerap dilakukan terhadap kaum minoritas tidak pernah dihukum.
“Polisi lebih sering memilih damai timbang memajukan upaya hukum yang memberi efek jera pelaku,” imbuhnya. Padahal, kata dia, tanpa ada penindakan tegas, hal itu akan terus berulang.
Untuk diketahui, peristiwa pengerusakan yang berujung pada pengusiran delapan keluarga jamaah ahmadiyah terjadi di Desa Greneng, Kecamatan Sekra, Lombok Timur, akhir pekan kemarin. Juru Bicara Ahmadiyah Yendra Budiana mengatakan, penyerangan dilakukan di tiga waktu. Yakni Sabtu (19/5) pukul 11.30 dan 21.00, serta Minggu (20/5) pagi pukul 06.30 waktu setempat.
“Delapan rumah hancur dan empat motor rusak,” ujarnya di Kantor Komnas Perempuan.
Selain kerugian fisik, 24 jamaah dari delapan keluarga pun harus meninggalkan tempat tinggalnya. Terdiri dari 21 orang perempuan dan tiga orang laki-laki. Dari 21 orang perempuan, 12 di antaranya masih anak-anak. Saat ini, 24 jamaah itu belum bisa pulang dan terpaksa tinggal di Mapolres Lombok Timur dengan alasan keamanan.
Yendra menambahkan, peristiwa itu bukan terjadi tiba-tiba. Sejak bulan maret hingga pertengahan bulan mei, di lokasi sudah dilakukan pra kondisi. Di mana para jamaah ahmadiyah sudah diminta untuk meninggalkan ajarannya atau dilakukan pengusiran.
Sementara itu, berdasarkan rekaman yang disampaikan salah seorang korban di Kantor Komnas perempuan kemarin, upaya intimidasi juga dilakukan pejabat dan aparat setempat. Mulai dari Lurah, Camat, hingga Polsek. Bahkan, Camat Sekra mengancam akan menyerahkan ke massa jika jamaah ahmadiyah tidak mau meninggalkan ajarannya.
Terkait pelakunya, Yendra menyebut ada banyak orang, tak terkecuali warga sekitar. Namun demikian, dia juga menilai warga sekitar yang ikut terprovokasi bagian dari korban. “Mereka dari korban paham kebencian dan kekerasan. Saya minta ke aparat, tidak hanya melihat pada pelaku di lapangan, tapi actor-aktor dibaliknya,” imbuhnya.
Terpisah, Dirjen Bimas Islam Kemenag Muhammadiyah Amin meminta supaya umat Islam bisa menahan diri. ’’Jangan melakukan tindakan hakim sendiri,’’ katanya kemarin (21/5). Amin menjelaskan pengerusakan rumah warga Ahmadiyah itu merupakan bentuk aksi main hakim sendiri.
Dia mengingatkan bahwa saat ini umat Islam sedang memasuki bulan puasa. Amin tidak ingin aksi kepada jamaah Ahmadiyah itu bisa merusak kekhusukan menjalankan ibadah puasa. Amin berharpa kondisi di Lombok Timur bisa secepatnya kondusif. Kepada aparat keamanan diharpakan juga bisa mengatasi persoalan ini dengan cepat.
Kemenag sendiri menerjukan tim untuk menggali persoalan Ahmadiyah di Lombok Timur tersebut. Salah satu yang diterjunkan adalah peneliti Balitbang-Diklat Kemenag Abdul Jamil Wahab. ’’Saya besok (hari ini, Red) berangkat ke Lombok,’’ jelasnya. Dia diberi tugas untuk memantau langsung kasus Ahmadiyah itu di lapangan.
Informasi awal yang diterima, penyulut konflik Ahmadiyah di NTB itu dipicu ada anak orang non Ahmadiyah yang kedapatan mengaji di komunitas Ahmadiyah. Kemudian orang tua anak itu tidak terima, lantas memobilisasi massa. ’’Isu kasus Ahmadiyah biasanya karena Ahmadiyah dianggap sesat. Sehingga tidak boleh beraktivitas,’’ tuturnya.
Jadi hampir di setiap kasus konflik Ahmadiyah selalu dipicu isu menolak eksistensi Ahmadiyah. Padahal menurut konstitusi semua warga berhak menjalankan agama dan keyakinannya. Soal ahmadiyah yang memiliki pemahaman agama yang bermasalah, sudah disikapi oleh pemerintah dengan surat keputusan bersama (SKB) merujuk pada UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalagunaan Dan/Atau Penodaan Agama.
Sementara Kadivhumas Polri Irjen Setyo Wasisto menuturkan bahwa kekerasan terhadap warga Ahmadiyah sedang dilakukan penyelidikan sembari dilakukan langkah untuk pemulihan keamanan. ”Proses hukum berlanjut, sekaligus berupaya mencegah konflik kembali terulang,” paparnya.
Permasalahan yang terjadi terhadap warga Ahmadiyah ini perlu diselesaikan secara menyeluruh. Tidak hanya bisa dilakukan kepolisian, namun kerjasama dengan Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). ”Polri membantu terkait kemanan dan penegakan hukum, kalau keyakinannya seharusnya semua stakeholder,” ungkapnya.
Yang juga penting adalah Polri mengantisipasi menjalarnya permasalahan antara masyarakat dengan warga Ahmadiyah di daerah lain. Dia menuturkan, setiap Kasatwil sudah mengetahui bila ada kejadian tertentu harus bersiap. ”Jbila di daerahnya ada warga Ahmadiyah, tentunya jangan sampai hal yang sama terjadi,” terangnya. (far/wan/idr)
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, apapun motifnya, penyerangan dan aksi kekerasan yang berakibat pada terusirnya 24 orang warga Ahmadiyah dari kampungnya bukan hal yang dibenarkan. Oleh karenanya, pemerintah harus bisa melindungi.
Beka menambahkan, apa yang menimpa jamaah ahmadiyah di Lombok Timur bukanlah yang pertama. Peristiwa itu terus berulang sejak tahun 2006 lalu. “Dari 2006 belum ada solusi yang memadai baik dari pusat maupun daerah. Kami meminta negara yang memiliki kewajiban konstitusi untuk memberikan perlindungan,” ujarnya di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, kemarin (21/5/2018).
Selain itu, Beka juga meminta aparat kepolisian untuk menggunakan pendekatan pidana terhadap pelaku. Diakuinya, dalam menghadapi konflik yang bermuatan agama, selama ini polri selalu mengedepankan penyelesaian secara damai. Imbasnya, pelaku pengerusakan dan aksi masa yang kerap dilakukan terhadap kaum minoritas tidak pernah dihukum.
“Polisi lebih sering memilih damai timbang memajukan upaya hukum yang memberi efek jera pelaku,” imbuhnya. Padahal, kata dia, tanpa ada penindakan tegas, hal itu akan terus berulang.
Untuk diketahui, peristiwa pengerusakan yang berujung pada pengusiran delapan keluarga jamaah ahmadiyah terjadi di Desa Greneng, Kecamatan Sekra, Lombok Timur, akhir pekan kemarin. Juru Bicara Ahmadiyah Yendra Budiana mengatakan, penyerangan dilakukan di tiga waktu. Yakni Sabtu (19/5) pukul 11.30 dan 21.00, serta Minggu (20/5) pagi pukul 06.30 waktu setempat.
“Delapan rumah hancur dan empat motor rusak,” ujarnya di Kantor Komnas Perempuan.
Selain kerugian fisik, 24 jamaah dari delapan keluarga pun harus meninggalkan tempat tinggalnya. Terdiri dari 21 orang perempuan dan tiga orang laki-laki. Dari 21 orang perempuan, 12 di antaranya masih anak-anak. Saat ini, 24 jamaah itu belum bisa pulang dan terpaksa tinggal di Mapolres Lombok Timur dengan alasan keamanan.
Yendra menambahkan, peristiwa itu bukan terjadi tiba-tiba. Sejak bulan maret hingga pertengahan bulan mei, di lokasi sudah dilakukan pra kondisi. Di mana para jamaah ahmadiyah sudah diminta untuk meninggalkan ajarannya atau dilakukan pengusiran.
Sementara itu, berdasarkan rekaman yang disampaikan salah seorang korban di Kantor Komnas perempuan kemarin, upaya intimidasi juga dilakukan pejabat dan aparat setempat. Mulai dari Lurah, Camat, hingga Polsek. Bahkan, Camat Sekra mengancam akan menyerahkan ke massa jika jamaah ahmadiyah tidak mau meninggalkan ajarannya.
Terkait pelakunya, Yendra menyebut ada banyak orang, tak terkecuali warga sekitar. Namun demikian, dia juga menilai warga sekitar yang ikut terprovokasi bagian dari korban. “Mereka dari korban paham kebencian dan kekerasan. Saya minta ke aparat, tidak hanya melihat pada pelaku di lapangan, tapi actor-aktor dibaliknya,” imbuhnya.
Terpisah, Dirjen Bimas Islam Kemenag Muhammadiyah Amin meminta supaya umat Islam bisa menahan diri. ’’Jangan melakukan tindakan hakim sendiri,’’ katanya kemarin (21/5). Amin menjelaskan pengerusakan rumah warga Ahmadiyah itu merupakan bentuk aksi main hakim sendiri.
Dia mengingatkan bahwa saat ini umat Islam sedang memasuki bulan puasa. Amin tidak ingin aksi kepada jamaah Ahmadiyah itu bisa merusak kekhusukan menjalankan ibadah puasa. Amin berharpa kondisi di Lombok Timur bisa secepatnya kondusif. Kepada aparat keamanan diharpakan juga bisa mengatasi persoalan ini dengan cepat.
Kemenag sendiri menerjukan tim untuk menggali persoalan Ahmadiyah di Lombok Timur tersebut. Salah satu yang diterjunkan adalah peneliti Balitbang-Diklat Kemenag Abdul Jamil Wahab. ’’Saya besok (hari ini, Red) berangkat ke Lombok,’’ jelasnya. Dia diberi tugas untuk memantau langsung kasus Ahmadiyah itu di lapangan.
Informasi awal yang diterima, penyulut konflik Ahmadiyah di NTB itu dipicu ada anak orang non Ahmadiyah yang kedapatan mengaji di komunitas Ahmadiyah. Kemudian orang tua anak itu tidak terima, lantas memobilisasi massa. ’’Isu kasus Ahmadiyah biasanya karena Ahmadiyah dianggap sesat. Sehingga tidak boleh beraktivitas,’’ tuturnya.
Jadi hampir di setiap kasus konflik Ahmadiyah selalu dipicu isu menolak eksistensi Ahmadiyah. Padahal menurut konstitusi semua warga berhak menjalankan agama dan keyakinannya. Soal ahmadiyah yang memiliki pemahaman agama yang bermasalah, sudah disikapi oleh pemerintah dengan surat keputusan bersama (SKB) merujuk pada UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalagunaan Dan/Atau Penodaan Agama.
Sementara Kadivhumas Polri Irjen Setyo Wasisto menuturkan bahwa kekerasan terhadap warga Ahmadiyah sedang dilakukan penyelidikan sembari dilakukan langkah untuk pemulihan keamanan. ”Proses hukum berlanjut, sekaligus berupaya mencegah konflik kembali terulang,” paparnya.
Permasalahan yang terjadi terhadap warga Ahmadiyah ini perlu diselesaikan secara menyeluruh. Tidak hanya bisa dilakukan kepolisian, namun kerjasama dengan Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). ”Polri membantu terkait kemanan dan penegakan hukum, kalau keyakinannya seharusnya semua stakeholder,” ungkapnya.
Yang juga penting adalah Polri mengantisipasi menjalarnya permasalahan antara masyarakat dengan warga Ahmadiyah di daerah lain. Dia menuturkan, setiap Kasatwil sudah mengetahui bila ada kejadian tertentu harus bersiap. ”Jbila di daerahnya ada warga Ahmadiyah, tentunya jangan sampai hal yang sama terjadi,” terangnya. (far/wan/idr)