A.CHRISTIAN/RADAR SOLO |
Mayoritas pengusaha mabel memilih kayu terbaik untuk produk kerajinannya. Tapi tidak bagi Barata Sena. Dia tidak alergi dengan kayu retak, pecah, dan rusak dimakan rayap.
--------------------
ANTONIUS CHRISTIAN, Solo
--------------------
DI RUMAH produksinya kawasan Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan, Barata sibuk menyiapkan pesanan pelanggan. Meski sudah memiliki pegawai, dia tidak segan mengangkat dan memotong kayu untuk bahan furnitur.
“Tidak ada kayu jelek. Setiap kayu memiliki potensi yang luar biasa untuk dibangkitkan. Jangan pernah lagi beranggapan bahwa kayu jati merupakan kayu terbaik,” paparnya.
Mereka yang bekerja di bidang perkayuan, lanjut Barata, biasanya menghindari kayu di makan rayap. “Saya tidak. Saya selalu melakukan eksplorasi karena karya seni sebenarnya tergantung pada pengetahuan, bukan semata-mata bahan baku,” ujar pria kelahiran Solo, 22 Maret 1969 ini.
Bukan sekadar wacana, Barata pernah menemukan tumpukan kayu yang sedianya untuk bahan baku furniture malah dimakan rayap. Namun, di balik kerusakan itu, dia justru menemukan keindahan tekstur kayu.
Barata kemudian melakukan eksperimen dengan meletakkan sejumlah meja, kursi, dan lemari kayu di tempat yang banyak rayap. Setiap pekan dia mencatat perkembangannya. Sesekali, posisi furniture tersebut diubah mendapatkan hasil yang diinginkan.
Sebulan kemudian, furnitur tersebut berubah menjadi karya seni secara alami. “Bagian kayu yang dimakan rayap menghasilkan tekstur sangat artistik. Bagi saya, keindahan ‘pahatan’ rayap tidak bisa ditandingi tangan manusia,” jelas dia.
Tidak hanya bereksperimen dengan rayap, Barata pernah melakukan yang lebih ekstrem. Dia mengadopsi pembuatan arang. Ya, meja, kursi dan lemari dimasukkan ke dalam tanah kemudian dibakar.
Hasilnya, tekstur kayu berubah menjadi kehitaman dengan corak kayu semakin terlihat. Agar warna hitam tidak melekat di tangan saat furniture di pegang, alumni Jurusan Seni Kriya Institutut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini mengoleskan cairan kimia khusus. Sekaligus untuk menguatkan bodi furniture.
Lewat karyanya yang nyeleneh itu, saat pameran, furnitur buatan Barata kerap mengundang decak kagum. “Saya menyebutnya sebagai karya art furniture. Dalam karya seperti ini, estetika desain menjadi orientasi utama, sedangkan fungsi berada di urutan belakang,” tandasnya.
Apa yang menyemangati untuk membuat karya unik tersebut? Barata mengatakan, di kampausnya ada kesenjangan pandangan antara seni rupa murni dan seni kriya. Sering dia mendengar ungkapan bahwa seniman lahir dari jurusan seni rupa murni, sedangkan jurusan kriya hanya mencetak tukang kayu.
Atas stigma tersebut, pascalulus kuliah, Barata tidak langsung terjun menjadi perajin furniture. Tapi memilih menjadi sales hingga pedagang soto. Dia kembali menggeluti perkayuan ketika bekerja di perusahaan pengembang perumahan.
“Tugas saya membuat rancangan rumah, interior, berikut pengadaan furnitur. Awalnya kita order mebeler dari Jepara. Tapi kemudian saya berpikir mengapa tidak membuat mebeler sendiri?” kata bapak dua anak ini.
Itu menjadi titik balik kehidupan Barata. Dia membuat sendiri meja, kursi, buffet, lemari, dan furniture lain untuk mengisi ruangan. Tak diduga, banyak pemesan yang puas dengan karyanya.
Setelah usahanya berkembang, Barata keluar dari perusahaan tempatnya bekerja di rantau. Dia kembali ke Kota Solo membuka usaha kerajinan furniture secara mendiri.
“Sampai sekarang saya masih mengerjakan furniture umum karena barang seperti itu cepat laku. Sebagian penghasilan dari furnitur konvensional saya gunakan untuk membiayai kerja art furniture saya,” urainya.
Enggan dicap hanya sebagai tukang kayu, beberapa kali Barata melakukan riset. Hasilnya, dia menyimpulkan bahwa kualitas kayu tergantung lokasi tumbuh pohonnya. “Oleh karena itu saya katakan tidak ada kayu jelek. Salah jika orang masih menganggap kayu jati yang terbaik, dan kayu lainnya jelek,” tegas dia. (*/wa)