Jakarta – Indonesia kedatangan tamu tidak biasa, pada hari ini (6/5/2018). Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok, Li Keqiang dijadwalkan bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor. “Rencananya demikian (bertemu siang ini),” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir.
Natha mengatakan, kunjungan tersebut merupakan respon atas undangan yang disampaikan Presiden. Hanya saja, dia belum mau membeberkan pembicaraan apa yang akan dibahas dalam pertemuan bilateral tersebut.
Sementara itu, berdasarkan informasi yang dihimpun Jawa Pos, ada sejumlah isu yang akan di bahas. Di antaranya kereta cepat Jakarta – Bandung, One Belt One Road, peningkatan perdagangan, investasi hingga isu keamanan di kawasan. Kunjungan Li ke Indonesia bukan yang pertama. Saat masih menjabat wakil PM Tiongkok 2008 lalu, dia juga pernah berkunjung ke Indonesia.
Sejumlah kalangan memprediksi hubungan investasi antara Indonesia dan Tiongkok diproyeksikan akan terus meningkat ke depannya. Baik pelaku usaha maupun pengamat optimistis bahwa banyak sektor strategis yang bisa dijajaki dua negara, seperti sektor transportasi dan infrastruktur.
Berdasarkan data realisasi investasi kuartal pertama 2018 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Tiongkok menempati peringkat keempat dengan total investasi USD 676,2 juta. Secara peringkat, Tiongkok memang turun satu peringkat dari posisi ketiga menjadi keempat, namun BKPM menyebutkan secara besaran dan presentase investasi naik sekitar USD 0,7 milyar atau sekitar 8,3 persen dibanding kuartal pertama tahun lalu.
”Sebenarnya bukan penurunan, karena ada beberapa investasi yang baru realisasi di kuartal berikutnya. Tapi pada dasarnya investasi Tiongkok yang masuk ke Indonesia akan terus bertambah,” ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani.
Sektor infrastruktur dan transportasi dipercaya pengusaha dapat menjadi sektor yang diandalkan untuk kerjasama kedua negara. Jika mengacu pada data BKPM, sektor transportasi dan konstruksi pada Penanaman Modal Asing (PMA) memang menunjukan angka yang signifikan yakni di angka USD 327,9 juta untuk sektor transportasi dan USD 46,8 juta di sektor konstruksi.
”Dengan masuknya Indonesia ke negara yang mendapatkan fasilitas BRI atau Belt Road Initiatives, proyek-proyek infrastruktur akan semakin banyak. Tiongkok juga berpotensi membidik empat area potensial lain yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Utara dan Bali,” beber Shinta.
Shinta pun mengatakan bahwa kunjungan Perdana Menteri dan delegasi bisnis Tiongkok akan menjadi momentum yang baik untuk terus mendorong kemitraaan antara perusahaan Tiongkok dan Indonesia. Kerjasama-kerjasama strategis yang dijalin diharapkan mampu mempersempit defisit neraca dagang kedua negara. Apalagi, menurut pelaku usaha, Indonesia dalam dua tahun terakhir sudah berhasil memperkecil defisit dagang dengan Tiongkok hingga 11,63 persen.
Sementara itu, pengamat ekonomi dan perdagangan internasional Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan bahwa Indonesia dapat mengambil banyak keuntungan dari kemitraan yang erat dengan Tiongkok. Sebab, menurut Fithra, Tiongkok saat ini sudah menjadi barometer ekonomi global dimana negara yang mereka jadikan sasaran investasi, pasti memiliki prospek yang baik. ”Dimana mereka (Tiongkok, red) berekspansi, investor pasti akan mengikuti,” ujarnya.
Peringkat investasi Tiongkok yang sempat melandai di awal periode 2018 dianggap cukup wajar oleh BKPM. Kepala BKPM Thomas Lembong menyatakan Tiongkok sendiri sedang cukup agresif melakukan investasi ke negara-negara lain selain Indonesia. ”Tiongkok saat ini pun masih mitra dagang nomor 1 bagi lebih dari 120 negara di dunia termasuk Indonesia,” ujar Tom.
Pada realisasi investasi kuartal satu 2018, Singapura menjadi peringkat pertama negara investor di Indonesia dengan nilai sekitar USD 2,6 milyar. Disusul dengan Jepang dengan nilai USD 1,4 milyar lalu Korea Selatan dengan nilai USD 940 juta. (far/agf)
Natha mengatakan, kunjungan tersebut merupakan respon atas undangan yang disampaikan Presiden. Hanya saja, dia belum mau membeberkan pembicaraan apa yang akan dibahas dalam pertemuan bilateral tersebut.
Sementara itu, berdasarkan informasi yang dihimpun Jawa Pos, ada sejumlah isu yang akan di bahas. Di antaranya kereta cepat Jakarta – Bandung, One Belt One Road, peningkatan perdagangan, investasi hingga isu keamanan di kawasan. Kunjungan Li ke Indonesia bukan yang pertama. Saat masih menjabat wakil PM Tiongkok 2008 lalu, dia juga pernah berkunjung ke Indonesia.
Sejumlah kalangan memprediksi hubungan investasi antara Indonesia dan Tiongkok diproyeksikan akan terus meningkat ke depannya. Baik pelaku usaha maupun pengamat optimistis bahwa banyak sektor strategis yang bisa dijajaki dua negara, seperti sektor transportasi dan infrastruktur.
Berdasarkan data realisasi investasi kuartal pertama 2018 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Tiongkok menempati peringkat keempat dengan total investasi USD 676,2 juta. Secara peringkat, Tiongkok memang turun satu peringkat dari posisi ketiga menjadi keempat, namun BKPM menyebutkan secara besaran dan presentase investasi naik sekitar USD 0,7 milyar atau sekitar 8,3 persen dibanding kuartal pertama tahun lalu.
”Sebenarnya bukan penurunan, karena ada beberapa investasi yang baru realisasi di kuartal berikutnya. Tapi pada dasarnya investasi Tiongkok yang masuk ke Indonesia akan terus bertambah,” ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani.
Sektor infrastruktur dan transportasi dipercaya pengusaha dapat menjadi sektor yang diandalkan untuk kerjasama kedua negara. Jika mengacu pada data BKPM, sektor transportasi dan konstruksi pada Penanaman Modal Asing (PMA) memang menunjukan angka yang signifikan yakni di angka USD 327,9 juta untuk sektor transportasi dan USD 46,8 juta di sektor konstruksi.
”Dengan masuknya Indonesia ke negara yang mendapatkan fasilitas BRI atau Belt Road Initiatives, proyek-proyek infrastruktur akan semakin banyak. Tiongkok juga berpotensi membidik empat area potensial lain yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Utara dan Bali,” beber Shinta.
Shinta pun mengatakan bahwa kunjungan Perdana Menteri dan delegasi bisnis Tiongkok akan menjadi momentum yang baik untuk terus mendorong kemitraaan antara perusahaan Tiongkok dan Indonesia. Kerjasama-kerjasama strategis yang dijalin diharapkan mampu mempersempit defisit neraca dagang kedua negara. Apalagi, menurut pelaku usaha, Indonesia dalam dua tahun terakhir sudah berhasil memperkecil defisit dagang dengan Tiongkok hingga 11,63 persen.
Sementara itu, pengamat ekonomi dan perdagangan internasional Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan bahwa Indonesia dapat mengambil banyak keuntungan dari kemitraan yang erat dengan Tiongkok. Sebab, menurut Fithra, Tiongkok saat ini sudah menjadi barometer ekonomi global dimana negara yang mereka jadikan sasaran investasi, pasti memiliki prospek yang baik. ”Dimana mereka (Tiongkok, red) berekspansi, investor pasti akan mengikuti,” ujarnya.
Peringkat investasi Tiongkok yang sempat melandai di awal periode 2018 dianggap cukup wajar oleh BKPM. Kepala BKPM Thomas Lembong menyatakan Tiongkok sendiri sedang cukup agresif melakukan investasi ke negara-negara lain selain Indonesia. ”Tiongkok saat ini pun masih mitra dagang nomor 1 bagi lebih dari 120 negara di dunia termasuk Indonesia,” ujar Tom.
Pada realisasi investasi kuartal satu 2018, Singapura menjadi peringkat pertama negara investor di Indonesia dengan nilai sekitar USD 2,6 milyar. Disusul dengan Jepang dengan nilai USD 1,4 milyar lalu Korea Selatan dengan nilai USD 940 juta. (far/agf)