JAKARTA- Pengumuman kelulusan jenjang SMA sederajat disampaikan kemarin (3/5/2018). Penetapan kelulusan diantaranya dari nilai ujian sekolah berstandar nasional (USBN). Banyak daerah maupun satuan pendidikan yang mendapati tingkat kelulusan nyaris sempurna bahkan ada yang 100 persen.
Saat ini sistem kelulusan siswa menggunakan model baru. Keputusan kelulusan ditetapkan oleh sekolah. Selain itu nilai unas tidak menjadi penentu kelulusan. Terakhir kali kelulusan siswa ditetapkan melalui unas, terjadi pada 2014 lalu. Pada saat itu dinyatakan ada 8.970 siswa dinyatakan tidak lulus unas. Perinciannya adalah 7.811 siswa SMA dan MA serta 1.159 siswa SMK.
Diantara penyebab banyaknya siswa tidak lulus saat itu adalah Kemendikbud meningkatkan bobot soal ujian kategori sukar. Sebelumnya soal kategori sukar hanya 10 persen. Kemudian pada unas 2014 bobot soal sukar dinaikkan dua kali lipat menjadi 20 persen.
Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Suryadi menyampaikan pesan kepada siswa yang dinyatakan tidak lulus. "’Dalam ujian yang namanya lulus dan tidak lulus adalah hal biasa," tuturnya kemarin (3/5). Menurut dia setiap sekolah tentu wajar ingin angka kelulusan semaksimal mungkin. Tetapi jika ada siswa yang belum bisa mencapai standar kelulusan, ya tidak perlu dipaksa untuk dilakukan.
Keputusan tidak lulus menurut Bambang merupakan sebuah bahan refleksi diri. "Keputusan tidak lulus perlu disikapi secara positif. Tidak perlu sakit hati, dendam ke guru atau sekolah," jelasnya. Sebaliknya dengan keputusan tidak lulus itu diharpakan bisa menjadi semangat untuk menjadi lebih baik lagi.
Bambang mengingatkan bahwa keputusan kelulusan ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan. Dia menjelaskan ada tiga kriteria penentuan kelulusan. Yakni telah tuntas mengikuti pembelajaran. "Kalau jenjang SMA ya berarti tuntas mengikuti pembelajaran tiga tahun," katanya.
Kemudian memiliki nilai minimal baik untuk aspek perilaku atau akhlak. Bambang mencontohkan seorang siswa di Madura yang membunuh gurunya. Dia ikut unas maupun USBN. Tetapi bisa jadi dinyatakan tidak lulus, karena nilai perilaku atau akhlaknya tidak mencapai nilai baik atau B.
Penentuan kelulusan ketiga adalah dinyatakan memenuhi standar minimal kelulusan USBN. Bambang menjelaskan ambang batas atau kriteria kelulusan USBN ditetapkan oleh masing-masing sekolah. "Apakah minimal 50, 60, atau 75 poin (dari maksimal 100, Red) itu yang menetapkan sekolah," jelasnya. Ketika ada anak yang nilai USBN-nya tidak mencapai standar minimal nilai tersebut, maka yang bersangkutan tidak lulus ujian.
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengatakan wajar ketika nilai unas turun, tetapi tingkat kelulusannya tinggi. Sebab menurut dia masih ada perbedaan kualitas soal ujian antara unas dengan USBN yang jadi penentu kelulusan. Apalagi dengan adanya soal ujian higher order thinking skill (HOTS), soal unas jauh lebih sulit dibandingkan soal USBN.
Menurut Indra, menyamakan kualitas soal ujian antara unas dengan USBN bukan sesuatu yang mustahil. Dia menjelaskan soal USBN yang 75 persen dibuat oleh guru-guru setempat, bisa setara dengan kualitas unas asalkan gurunya dilatih membuat soal ujian.
Guru besar bidang kurikulum dan evaluasi pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Said Hamid Hasan mengatakan kalaupun ada sekolah atau daerah dengan tingkat kelulusan 100 persen, sebaiknya direspon positif karena artinya bagus. "Tentu asumsi saya pelaksanaan ujiannya berlangsung jujur," katanya.
Dia mengatakan sistem pendidikan yang menyaring siswa mampu dan tidak mampu, adalah peninggalan jamah penjajahan atau kolonial. Said menuturkan pada era modern, tingkat kelulusan seratus persen itu sudah biasa. Bahkan sekolah dinyatakan bagus jika seluruh anak didinya lulus ujian.
Said menjelaskan di undang-undang memang dinyatakan bahwa penentu kelulusan adalah sekolah. Dia mengatakan tingkat kelulusan yang mencapai 100 persen itu juga bisa menghemat keuangan negara. Sebab kursi belajar yang ditempati, bisa diganti adik kelasnya secara keseluruhan. "Makin banyak yang tidak lulus, berarti bangsa ini membiayai yang tidak lulus itu," katanya.
Said mengatakan yang harus diperhatikan itu adalah siswa kesulitan mengerjakan USBN karena bersekolah di sekolah yang tidak layak. Misalnya gurunya tidak cukup. Kemudian fasilitas belajarnya ala kadarnya. Dia mengatakan siswa yang demikian jelas dirugikan, karena saat ujian tidak bisa mengerjakan dengan baik.
Semangat Belajar Turun
Sejumlah pihak menilai penurunan nilai unas tahun ini, dipicu menurunnya semangat belajar siswa, khususnya mendekati pelaksanaan ujian. Dugaan penurunan semangat atau gairah belajar jelang unas, sehingga berkontribusi membuat nilai unas secara nasional turun, disampaikan guru besar FKIP UNY Rochmat Wahab. "Kalau kita cermati kenapa nilai unas turun, karena tidak menentukan kelulusan. Anak belajar tidak ada effort (usaha, Red) yang maksimal," katanya kemarin (4/5).
Rochmat berharap Kemendikbud mengembalikan fungsi nilai unas seperti sebelumnya. Yakni jadi bagian dalam penentuan kelulusan siswa. Tidak seperti sekarang, dimana penentuan kelulusan siswa diserahkan sepenuhnya ke sekolah. Yakni melalui ujian sekolah berstandar nasional (USBN).
Menurut guru besar bidang pendidikan anak berbakat itu, tidak dijadikannya nilai unas menjadi penentu kelulusan, tidak sekedar membuat upaya belajar siswa menurun. Tetapi dia juga menengarai ada penurunan serupa di kalangan guru bahkan orangtua.
Dia menegaskan dalam teori pembelajaran, seseorang itu dihadapkan ujian untuk mencapai titik tertentu. Dalam konteks pelaksanaan unas, seharusnya siswa dihadapkan dengan capaian untuk lulus atau tidak lulus. "Sekarang unas tidak ada unsur mengkhawatirkannya. Sehingga itu tadi effort belajarnya menurun," papar dia.
Rochmat juga mengkritisi pengukuran indeks integritas ujian nasional (IIUN).
Apalagi nilai IIUN saat ini menjadi semacam "tameng" bagi pemerintah, di tengah penurunan nilai unas. Dia mengatakan dengan pelaksanaan UNBK, otomatis menekan potensi untuk curang. Anak-anak peserta unas model UNBK tidak bisa melirik ke kiri-kanan untuk mencari contekan.
Namun dia menegaskan kondisi itu bukan berarti bisa jadi acuan untuk mengukur sebuah integritas atau kejujuran. "Anak-anak juga tidak dihadapkan dengan kelulusan. Ya buat apa nyontek," tuturnya.
Rochmat mengatakan kalaupun anak-anak saat ini lebih jujur dalam mengerjakan unas, nilai kejujuran itu masih jadi perdebatan. Sebab ujiannya tidak menentukan kelulusan lagi. Berbeda dengan anak-anak tetap jujur ketika unas jadi penentu kelulusan. Menurutnya jujur di tengah "ancaman" lulus atau tidak lalu, berbeda kadarnya dibanding jujur tanpa ada konsekuensi lulus atau tidak lulus.
Dia mengakui ada yang menuding jika unas jadi penentu kelulusan, bisa membuat siswa stres. Rochmat mengakatn stress menghadapi ujian yang menentukan kelulusan, adalah stress positif. Sebuah stress yang bisa memicu anak-anak lebih bersemangat belajar. "Perkara saat jadi penentu kelulusan ada kecurangan, yang dihapus kecurangannya. Bukan unasnya tidak dijadikan penentu kelulusan," pungkasnya.
Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Suryadi juga menduga penurunan nilai unas dipicu turunnya motivasi belajar siswa. BSNP merupakan otoritas penyelenggara unas. "Saya belum tahu pasti mata pelajaran apa yang turun. Namun, turunnya nilai itu kemungkinan bisa disebabkan tiga hal," jelasnya.
Bambang menjelaskan turunya nilai unas bisa disebabkan karena moda pelaksanaan ujiannya menggunakan komputer atau UNBK. Sehingga sulit bagi siswa untuk melakukan kecurangan. Berikutnya turunnya nilai unas bisa dipicu kualitas soal ujian yang dinaikkan. Misalnya untuk mata pelajaran matematika, ada butir soal berbentuk isian singkat. "Ketiga kseriusan dan motivasi belajar siswa yang menurun karena unas tidak menentukan kelulusan," katanya.
Dia mengatakan menurunnya nilai unas menjadi tantangan bersama. Bambang mengatakan turunnya nilai ini menjadi tanganan untuk melakukan perbaikan dalam proses pembelajaran. Melalui perbaikan ini diharapkan kompetensi lulusan juga akan meningkat.
Adanya penurunan usaha belajar jelang unas, setelah tidak jadi penentu kelulusan, diakui oleh Wakil Kepala SMAN1 Gunungsari, Lombok Barat, NTB Mansur. "Seperti program sukses unas yang dulu banyak dilaksanakan di sekolah maupun bimbel (bimbingan belajar, Red) jelas berkurang," tuturnya.
Guru kimia itu mengatakan bagaimanapun juga setelah unas tidak menentukan kelulusan, otomatis "ketakutan" siswa tmenjadi berkurang. Kemudian kegiatan-kegiatan sekolah yang semula giat menghadapi unas, jadi semakin berkurang.
Namun Mansur mengatakan menurunnya kegiatan belajar jelang unas tersebut, bukan berarti semangat belajar sehari-hari ikut turun. Dia mengatakan semangat belajar sehari-hari siswa tetap seperti biasanya.
Sementara itu terkait dengan kelulusan yang mengacu pada nilai USBN, Mansur mengatakan di sekolahnya ada siswa yang dinyatakan tidak lulus. Namun dia tidak bersedia menyebutkan jumlahnya.
Dia mengatakan sekolah tetap memutuskan ada siswa yang tidak lulus, karena memang tidak memenuhi kriteria atau syarat kelulusan. Selain itu juga untuk mematahkan pandangan bahwa pokoknya ikut USBN dipastikan lulus semuanya. Sebab dia mendapatkan informasi dari sejawat, banyak sekolah yang memutuskan meluluskan semua siswanya.
(wan)
Saat ini sistem kelulusan siswa menggunakan model baru. Keputusan kelulusan ditetapkan oleh sekolah. Selain itu nilai unas tidak menjadi penentu kelulusan. Terakhir kali kelulusan siswa ditetapkan melalui unas, terjadi pada 2014 lalu. Pada saat itu dinyatakan ada 8.970 siswa dinyatakan tidak lulus unas. Perinciannya adalah 7.811 siswa SMA dan MA serta 1.159 siswa SMK.
Diantara penyebab banyaknya siswa tidak lulus saat itu adalah Kemendikbud meningkatkan bobot soal ujian kategori sukar. Sebelumnya soal kategori sukar hanya 10 persen. Kemudian pada unas 2014 bobot soal sukar dinaikkan dua kali lipat menjadi 20 persen.
Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Suryadi menyampaikan pesan kepada siswa yang dinyatakan tidak lulus. "’Dalam ujian yang namanya lulus dan tidak lulus adalah hal biasa," tuturnya kemarin (3/5). Menurut dia setiap sekolah tentu wajar ingin angka kelulusan semaksimal mungkin. Tetapi jika ada siswa yang belum bisa mencapai standar kelulusan, ya tidak perlu dipaksa untuk dilakukan.
Keputusan tidak lulus menurut Bambang merupakan sebuah bahan refleksi diri. "Keputusan tidak lulus perlu disikapi secara positif. Tidak perlu sakit hati, dendam ke guru atau sekolah," jelasnya. Sebaliknya dengan keputusan tidak lulus itu diharpakan bisa menjadi semangat untuk menjadi lebih baik lagi.
Bambang mengingatkan bahwa keputusan kelulusan ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan. Dia menjelaskan ada tiga kriteria penentuan kelulusan. Yakni telah tuntas mengikuti pembelajaran. "Kalau jenjang SMA ya berarti tuntas mengikuti pembelajaran tiga tahun," katanya.
Kemudian memiliki nilai minimal baik untuk aspek perilaku atau akhlak. Bambang mencontohkan seorang siswa di Madura yang membunuh gurunya. Dia ikut unas maupun USBN. Tetapi bisa jadi dinyatakan tidak lulus, karena nilai perilaku atau akhlaknya tidak mencapai nilai baik atau B.
Penentuan kelulusan ketiga adalah dinyatakan memenuhi standar minimal kelulusan USBN. Bambang menjelaskan ambang batas atau kriteria kelulusan USBN ditetapkan oleh masing-masing sekolah. "Apakah minimal 50, 60, atau 75 poin (dari maksimal 100, Red) itu yang menetapkan sekolah," jelasnya. Ketika ada anak yang nilai USBN-nya tidak mencapai standar minimal nilai tersebut, maka yang bersangkutan tidak lulus ujian.
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengatakan wajar ketika nilai unas turun, tetapi tingkat kelulusannya tinggi. Sebab menurut dia masih ada perbedaan kualitas soal ujian antara unas dengan USBN yang jadi penentu kelulusan. Apalagi dengan adanya soal ujian higher order thinking skill (HOTS), soal unas jauh lebih sulit dibandingkan soal USBN.
Menurut Indra, menyamakan kualitas soal ujian antara unas dengan USBN bukan sesuatu yang mustahil. Dia menjelaskan soal USBN yang 75 persen dibuat oleh guru-guru setempat, bisa setara dengan kualitas unas asalkan gurunya dilatih membuat soal ujian.
Guru besar bidang kurikulum dan evaluasi pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Said Hamid Hasan mengatakan kalaupun ada sekolah atau daerah dengan tingkat kelulusan 100 persen, sebaiknya direspon positif karena artinya bagus. "Tentu asumsi saya pelaksanaan ujiannya berlangsung jujur," katanya.
Dia mengatakan sistem pendidikan yang menyaring siswa mampu dan tidak mampu, adalah peninggalan jamah penjajahan atau kolonial. Said menuturkan pada era modern, tingkat kelulusan seratus persen itu sudah biasa. Bahkan sekolah dinyatakan bagus jika seluruh anak didinya lulus ujian.
Said menjelaskan di undang-undang memang dinyatakan bahwa penentu kelulusan adalah sekolah. Dia mengatakan tingkat kelulusan yang mencapai 100 persen itu juga bisa menghemat keuangan negara. Sebab kursi belajar yang ditempati, bisa diganti adik kelasnya secara keseluruhan. "Makin banyak yang tidak lulus, berarti bangsa ini membiayai yang tidak lulus itu," katanya.
Said mengatakan yang harus diperhatikan itu adalah siswa kesulitan mengerjakan USBN karena bersekolah di sekolah yang tidak layak. Misalnya gurunya tidak cukup. Kemudian fasilitas belajarnya ala kadarnya. Dia mengatakan siswa yang demikian jelas dirugikan, karena saat ujian tidak bisa mengerjakan dengan baik.
Semangat Belajar Turun
Sejumlah pihak menilai penurunan nilai unas tahun ini, dipicu menurunnya semangat belajar siswa, khususnya mendekati pelaksanaan ujian. Dugaan penurunan semangat atau gairah belajar jelang unas, sehingga berkontribusi membuat nilai unas secara nasional turun, disampaikan guru besar FKIP UNY Rochmat Wahab. "Kalau kita cermati kenapa nilai unas turun, karena tidak menentukan kelulusan. Anak belajar tidak ada effort (usaha, Red) yang maksimal," katanya kemarin (4/5).
Rochmat berharap Kemendikbud mengembalikan fungsi nilai unas seperti sebelumnya. Yakni jadi bagian dalam penentuan kelulusan siswa. Tidak seperti sekarang, dimana penentuan kelulusan siswa diserahkan sepenuhnya ke sekolah. Yakni melalui ujian sekolah berstandar nasional (USBN).
Menurut guru besar bidang pendidikan anak berbakat itu, tidak dijadikannya nilai unas menjadi penentu kelulusan, tidak sekedar membuat upaya belajar siswa menurun. Tetapi dia juga menengarai ada penurunan serupa di kalangan guru bahkan orangtua.
Dia menegaskan dalam teori pembelajaran, seseorang itu dihadapkan ujian untuk mencapai titik tertentu. Dalam konteks pelaksanaan unas, seharusnya siswa dihadapkan dengan capaian untuk lulus atau tidak lulus. "Sekarang unas tidak ada unsur mengkhawatirkannya. Sehingga itu tadi effort belajarnya menurun," papar dia.
Rochmat juga mengkritisi pengukuran indeks integritas ujian nasional (IIUN).
Apalagi nilai IIUN saat ini menjadi semacam "tameng" bagi pemerintah, di tengah penurunan nilai unas. Dia mengatakan dengan pelaksanaan UNBK, otomatis menekan potensi untuk curang. Anak-anak peserta unas model UNBK tidak bisa melirik ke kiri-kanan untuk mencari contekan.
Namun dia menegaskan kondisi itu bukan berarti bisa jadi acuan untuk mengukur sebuah integritas atau kejujuran. "Anak-anak juga tidak dihadapkan dengan kelulusan. Ya buat apa nyontek," tuturnya.
Rochmat mengatakan kalaupun anak-anak saat ini lebih jujur dalam mengerjakan unas, nilai kejujuran itu masih jadi perdebatan. Sebab ujiannya tidak menentukan kelulusan lagi. Berbeda dengan anak-anak tetap jujur ketika unas jadi penentu kelulusan. Menurutnya jujur di tengah "ancaman" lulus atau tidak lalu, berbeda kadarnya dibanding jujur tanpa ada konsekuensi lulus atau tidak lulus.
Dia mengakui ada yang menuding jika unas jadi penentu kelulusan, bisa membuat siswa stres. Rochmat mengakatn stress menghadapi ujian yang menentukan kelulusan, adalah stress positif. Sebuah stress yang bisa memicu anak-anak lebih bersemangat belajar. "Perkara saat jadi penentu kelulusan ada kecurangan, yang dihapus kecurangannya. Bukan unasnya tidak dijadikan penentu kelulusan," pungkasnya.
Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Suryadi juga menduga penurunan nilai unas dipicu turunnya motivasi belajar siswa. BSNP merupakan otoritas penyelenggara unas. "Saya belum tahu pasti mata pelajaran apa yang turun. Namun, turunnya nilai itu kemungkinan bisa disebabkan tiga hal," jelasnya.
Bambang menjelaskan turunya nilai unas bisa disebabkan karena moda pelaksanaan ujiannya menggunakan komputer atau UNBK. Sehingga sulit bagi siswa untuk melakukan kecurangan. Berikutnya turunnya nilai unas bisa dipicu kualitas soal ujian yang dinaikkan. Misalnya untuk mata pelajaran matematika, ada butir soal berbentuk isian singkat. "Ketiga kseriusan dan motivasi belajar siswa yang menurun karena unas tidak menentukan kelulusan," katanya.
Dia mengatakan menurunnya nilai unas menjadi tantangan bersama. Bambang mengatakan turunnya nilai ini menjadi tanganan untuk melakukan perbaikan dalam proses pembelajaran. Melalui perbaikan ini diharapkan kompetensi lulusan juga akan meningkat.
Adanya penurunan usaha belajar jelang unas, setelah tidak jadi penentu kelulusan, diakui oleh Wakil Kepala SMAN1 Gunungsari, Lombok Barat, NTB Mansur. "Seperti program sukses unas yang dulu banyak dilaksanakan di sekolah maupun bimbel (bimbingan belajar, Red) jelas berkurang," tuturnya.
Guru kimia itu mengatakan bagaimanapun juga setelah unas tidak menentukan kelulusan, otomatis "ketakutan" siswa tmenjadi berkurang. Kemudian kegiatan-kegiatan sekolah yang semula giat menghadapi unas, jadi semakin berkurang.
Namun Mansur mengatakan menurunnya kegiatan belajar jelang unas tersebut, bukan berarti semangat belajar sehari-hari ikut turun. Dia mengatakan semangat belajar sehari-hari siswa tetap seperti biasanya.
Sementara itu terkait dengan kelulusan yang mengacu pada nilai USBN, Mansur mengatakan di sekolahnya ada siswa yang dinyatakan tidak lulus. Namun dia tidak bersedia menyebutkan jumlahnya.
Dia mengatakan sekolah tetap memutuskan ada siswa yang tidak lulus, karena memang tidak memenuhi kriteria atau syarat kelulusan. Selain itu juga untuk mematahkan pandangan bahwa pokoknya ikut USBN dipastikan lulus semuanya. Sebab dia mendapatkan informasi dari sejawat, banyak sekolah yang memutuskan meluluskan semua siswanya.
(wan)