Samsul Mas Hari |
Sebelumnya, telah terjadi tiga revolusi industri. Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830). Kedua, penemuan listrik, alat komunikasi, kimia dan minyak (1870-1900). Ketiga, penemuan komputer, internet, dan telepon genggam (1960 hingga sekarang). Versi lain menyatakan, revolusi industri ketiga dimulai pada 1969 melalui kemunculan teknologi informasi dan mesin otomasi.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memproyeksikan Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Kamboja atas dampak dari revolusi ini, akan memindahkan 56 persen pekerjaan ke otomatisasi pada beberapa dasawarsa mendatang. Adapun 54 persen pekerja Malaysia terancam kehilangan pekerjaan. Semuanya tampak suram kecuali Singapura yang kini penduduknya 5,6 juta orang.
Satu hal sudah pasti bahwa industri 4.0 sudah datang dan kita tidak mungkin menolak ataupun menghindarinya. Proses ini akan terus berjalan dan kita harus mati-matian menepis dampak negatifnya. Tak ada lagi yang bisa menghentikannya. Lalu, bagaimana nasib Indonesia?
Revolusi 4.0 dalam bidang kelautan dan perikanan
Negara kita memiliki keragaman sumber daya ikan laut yang luar biasa. Dalam beberapa catatan disebutkan kita punya lebih 2.000 spesies ikan, 1.500 jenis krustase, 2.500-an moluska, 1.000-an karang, 850 sponge, 500-an ekinodermata, dan 30-an mamalia laut. Namun, kekayaan yang melimpah ini terabaikan dan belum dapat sentuhan memadai.
Ikan pelagis besar memiliki potensi ekonomi sangat tinggi yaitu tuna, cakalang, hiu, tenggiri, dan layaran. Dalam perspektif bisnis, saat ini industrialisasi ikan tuna bisa dikembangbiakan mulai dari budidaya, manajemen lingkungan, teknologi penangkapan, pengolahan sampai pada bisnis. Sebuah rantai bisnis yang tentunya akan mampu menyerap tenaga kerja vokasi dan profesional yang luar biasa banyaknya.
Pelagis kecil dikembangkan karena menyerap paling banyak tenaga kerja: industri penangkapan kapal, industri pengolahan, dan konservasi. Kapal cantrang bisa mempekerjakan lebih dari 10 anak buah kapal (ABK) per kapal. Jika ada 1.000 cantrang, maka setidaknya ada 1.000 nakhoda dengan 9.000 ABK. Penangkapan dan pengolahan ikan memerlukan keahlian vokasional dan manajerial. Pelagis dengan kualitas premium bisa masuk dalam industri pengalengan yang dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Potensi ikan 12,5 juta ton per tahun sesungguhnya sebuah peluang dalam menyediakan tenaga kerja berkeahlian yang sesuai perkembangan revolusi 4.0.
Keindahan pantai dan karang apalagi. Merupakan fenomena tersendiri karena bernilai ekonomi dan seni. Pantai di Indonesia mashur karena kecantikan yang mempesona. Kebumen adalah salah satu daerah yang dianugrahi sumber daya alam yang melimpah dengan pantai yang eksotik seperti Menganti. Akses jalan dan infrastruktur sudah cukup memadai. Disamping memiliki sarana tempat pelelangan ikan; bebukitan, batu karang dan ombak lautan punya daya tarik lain, yaitu sebagai obyek wisata. Banyak orang memanfaatkan sebagai inspirasi seni serta obyek ”selfie”. Namun, kita harus terus bekerja kerjas agar anugerah yag melimpah ini mampu memberikan dampak dan manfaat melalui penyerapan tenaga kerja.
Adaptasikan Teknologi
Menghadapi revolusi 4.0, maka pendidikan vokasi, interdisiplin, dan transdisiplin tidak akan terhindarkan. Dalam sektor perikanan yang paling tepat dikembangkan lebih awal adalah program marikultur. Lahan perairan sangat luas, teknologi juga sudah berkembang. Seperti teknologi pembenihan, teknologi keramba, teknologi perbesaran, pengendalian penyakit, dan pengolahan sudah dikuasai dengan baik. Hanya perlu sentuhan keberpihakan kebijakan kepada pelaku usaha dan masyarakat.
Marikultur dalam Buku Putih Kementerian Kelautan dan Perikanan mengungkapkan bahwa teknologi Keramba Jaring Apung (KJA) pantai direncanakan akan mempekerjakan 1.450 orang dalam kondisi normal tanpa gangguan bencana alam. KKP juga menargetkan revitalisasi 250 unit KJA (1.000 lubang) yang diharapkan mampu mempekerjakan 500 orang.
Rencana bantuan KJA baru dari pemerintah, 202 unit di 22 provinsi dan 48 kabupaten/kota, perlu juga dievaluasi. Kunci kesuksesan berbudidaya yaitu jika paradigma usaha menerapkan sistem berbasis masyarakat. Sebagai usaha yang berisiko besar dalam investasi, maka sebaiknya pengembangan marikultur melibatkan pengusaha lokal. Pemerintah cukup memberikan insentif kebijakan agar pergerakan marikultur berjalan baik.
Selain bagian produksi, dalam tata kelola perikanan dan kelautan, seharusnya sudah mampu mengadaptasikan sistem informasi dalam big data. Mekanisme pengumpulan data terpusat saat ini berpotensi menimbulkan error yang lebih besar. Bahkan ide verifikasi ke dinas perikanan provinsi dan kabupaten juga tidak efektif karena provinsi dan kabupaten kota tidak lagi mengumpulkan data perikanan.
Alternatifnya, pengembangan perusahaan rintisan data perikanan harus dipacu dengan memanfaatkan nelayan penangkap, nelayan pengumpul, serta bakul dan tauke sebagai pengguna. Kelompok nelayan ini dibekali dengan Android yang memiliki aplikasi data terpusat dengan beberapa catatan di lokasi masing-masing. Maka, tidak hanya data yang bisa kita satukan, persoalan setiap nelayan juga bisa dipetakan.
Sesungguhnya adaptasi revolusi 4.0 pada sektor perikanan dan kelautan tidak terlalu sulit, tinggal kemampuan manajemen yang ditingkatkan dengan melibatkan semua pihak.
Samsul Mas Hari
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Sains Agribisnis
Institute Pertanian Bogor