JAKARTA – Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan tidak akan ada kampus yang terlewat dari pemeriksaan aparat. Jika ditemukan tanda-tanda kegiatan yang mengarah pada gangguan keamanan, Nasir mempersilahkan aparat keamanan untuk masuk ke kampus dan memeriksa.
“Tidak ada kampus yang akan steril dari pemeriksaan,” tegas Nasir di Jakarta kemarin. (4/6/2018).
Nasir mengatakan sama sekali tidak setuju dengan argumen bahwa kampus tidak boleh dimasuki petugas keamanan karena merupakan mimbar akademik. “Di negara mana kampus tidak boleh dimasuki (petugas kemanan,Red) nggak ada aturannya, kalau bikin negara tidak aman ya harus dihabisi,” katanya.
Nasir menyebut, benih-benih pemikiran radikal sudah terjadi sejak dulu era tahun 1983. Saat itu Orde Baru memberlakukan kebijakan Normalisasi Kegiatan Kampus (NKK) dan Badan Keamanan Kampus (BKK) untuk mesterilkan kampus dari kegiatan politik mahasiswa. “Ya akhirnya di kampus terjadi kekosongan, diisi mereka (pemikiran ekstrim,red),” katanya.
Resiko paparan radikalisme tersebut, kata Nasir tidak hanya terjadi di kampus. Melainkan juga di sekolah SMA maupun SMP. “Gurunya terpapar, siswanya ikut terpapar. Dosennya terpapar, mahasiswanya terpapar,” jelasnya.
Untuk mengendalikan hal ini, Nasir mengaku pihaknya telah menggencarkan sosialisasi wawasan kebangsaan dan bela negara. Semakin digiatkan pasca pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Saat ini, kata Nasir pihaknya terus berkolaborasi dengan Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT). Kampus akan dimonitor ketat. Para Dosen wajib menyerahkan nomer telepon pribadinya pada pihak kampus. Akun-akun medsos milik mahasiswa juga akan dipantau. “Bukan mau mencampuri privasi mereka (mahasiswa,Red) tapi ini masalah gangguan keamanan,” katanya.
Nasir yakin apa yang terjadi di Riau (Universitas Negeri Riau,Red) juga akan muncul dimana-mana. Termasuk di lingkungan sekolah SMP maupun SMA. Caranya adalah dengan menguatkan deteksi dini.
Selain itu, Nasir mengatakan dalam waktu dekat akan mewajibkan kampus untuk membuat desain kurikulum dengan muatan materi pemahaman terhadap keamanan di indonesia, serta wawasan kebangsaan dan bela negara. Menurut Nasir ini penting karena menyangkut reputasi indonesia di mata dunia. “Kalau indonesia nggak aman, siapa orang asing yang mau masuk kesini?” pungkasnya.
Sementara itu Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradapan Prof Din Syamsuddin menuturkan radikalisme di kampus asalkan sudah melalui obeservasi secara akademik itu tentu keprihatinan semua orang. Tapi, dia berharap tidak ada generalisasi atau kecenderungan menganggap bahwa kalangan kampus itu disusupi paham radikal. ”Kalau keyakinan saya kan yang tidak radikal jauh lebih banyak,” ujar dia usai dialog Islam-Konghucu di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, kemarin (4/6).
Selain itu, dia juga menilai ada banyak faktor yang membuat sesorang bisa menjadi radikal. Bukan hanya karena faktor ideologi atau pandangan keagamaan yang radikal. Tapi juga dipicu oleh faktor-faktor sosial lainnya. ”Tapi radikalime itu sebenarnya juga kegeraman dia atas faktor situasi kondisi,” imbuh Mantan Ketua umum PP Muhammadiyah itu.
Nah, untuk mengatasi masalah radikalisme itu bukan hanya tanggung jawab aparat pemerintah saja. Din cenderung menganggap bahwa tidak perlu ada satu atau dua institusi yang disalahkan. Tapi, adanya radikalime itu bisa disebut sebagai salah semua, termasuk juga negara dan pemerintah. Organisasi masyarakat dan agama juga harus ikut bertanggung jawab. ”Sampai kepada orang tua dimana sang anak mahasiswa itu berada,” kata mantan Ketua MUI itu.
Sedangkan untuk mencegahnya, Din mengungkapkan pemerintah perlu melibatkan pula organisasi keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, atau NU. Misalnya dalam proses deradikalisasi orang-orang yang pernah menjadi kombatan di Afghanistan atau Syiria. Selama ini mereka belum pernah dilibatkan dalam mendampingi dan kontra idiologi para returnis dari wilayah konflik itu.
”Supaya kita bisa menarik mereka (eks returnis) kejalan yang benar juga. Selama ini tidak pernah (diberi data), saya sudah lama minta agar diberikan returni Afghanistan,” ungkap Din.(tau/jun)
“Tidak ada kampus yang akan steril dari pemeriksaan,” tegas Nasir di Jakarta kemarin. (4/6/2018).
Nasir mengatakan sama sekali tidak setuju dengan argumen bahwa kampus tidak boleh dimasuki petugas keamanan karena merupakan mimbar akademik. “Di negara mana kampus tidak boleh dimasuki (petugas kemanan,Red) nggak ada aturannya, kalau bikin negara tidak aman ya harus dihabisi,” katanya.
Nasir menyebut, benih-benih pemikiran radikal sudah terjadi sejak dulu era tahun 1983. Saat itu Orde Baru memberlakukan kebijakan Normalisasi Kegiatan Kampus (NKK) dan Badan Keamanan Kampus (BKK) untuk mesterilkan kampus dari kegiatan politik mahasiswa. “Ya akhirnya di kampus terjadi kekosongan, diisi mereka (pemikiran ekstrim,red),” katanya.
Resiko paparan radikalisme tersebut, kata Nasir tidak hanya terjadi di kampus. Melainkan juga di sekolah SMA maupun SMP. “Gurunya terpapar, siswanya ikut terpapar. Dosennya terpapar, mahasiswanya terpapar,” jelasnya.
Untuk mengendalikan hal ini, Nasir mengaku pihaknya telah menggencarkan sosialisasi wawasan kebangsaan dan bela negara. Semakin digiatkan pasca pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Saat ini, kata Nasir pihaknya terus berkolaborasi dengan Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT). Kampus akan dimonitor ketat. Para Dosen wajib menyerahkan nomer telepon pribadinya pada pihak kampus. Akun-akun medsos milik mahasiswa juga akan dipantau. “Bukan mau mencampuri privasi mereka (mahasiswa,Red) tapi ini masalah gangguan keamanan,” katanya.
Nasir yakin apa yang terjadi di Riau (Universitas Negeri Riau,Red) juga akan muncul dimana-mana. Termasuk di lingkungan sekolah SMP maupun SMA. Caranya adalah dengan menguatkan deteksi dini.
Selain itu, Nasir mengatakan dalam waktu dekat akan mewajibkan kampus untuk membuat desain kurikulum dengan muatan materi pemahaman terhadap keamanan di indonesia, serta wawasan kebangsaan dan bela negara. Menurut Nasir ini penting karena menyangkut reputasi indonesia di mata dunia. “Kalau indonesia nggak aman, siapa orang asing yang mau masuk kesini?” pungkasnya.
Sementara itu Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradapan Prof Din Syamsuddin menuturkan radikalisme di kampus asalkan sudah melalui obeservasi secara akademik itu tentu keprihatinan semua orang. Tapi, dia berharap tidak ada generalisasi atau kecenderungan menganggap bahwa kalangan kampus itu disusupi paham radikal. ”Kalau keyakinan saya kan yang tidak radikal jauh lebih banyak,” ujar dia usai dialog Islam-Konghucu di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, kemarin (4/6).
Selain itu, dia juga menilai ada banyak faktor yang membuat sesorang bisa menjadi radikal. Bukan hanya karena faktor ideologi atau pandangan keagamaan yang radikal. Tapi juga dipicu oleh faktor-faktor sosial lainnya. ”Tapi radikalime itu sebenarnya juga kegeraman dia atas faktor situasi kondisi,” imbuh Mantan Ketua umum PP Muhammadiyah itu.
Nah, untuk mengatasi masalah radikalisme itu bukan hanya tanggung jawab aparat pemerintah saja. Din cenderung menganggap bahwa tidak perlu ada satu atau dua institusi yang disalahkan. Tapi, adanya radikalime itu bisa disebut sebagai salah semua, termasuk juga negara dan pemerintah. Organisasi masyarakat dan agama juga harus ikut bertanggung jawab. ”Sampai kepada orang tua dimana sang anak mahasiswa itu berada,” kata mantan Ketua MUI itu.
Sedangkan untuk mencegahnya, Din mengungkapkan pemerintah perlu melibatkan pula organisasi keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, atau NU. Misalnya dalam proses deradikalisasi orang-orang yang pernah menjadi kombatan di Afghanistan atau Syiria. Selama ini mereka belum pernah dilibatkan dalam mendampingi dan kontra idiologi para returnis dari wilayah konflik itu.
”Supaya kita bisa menarik mereka (eks returnis) kejalan yang benar juga. Selama ini tidak pernah (diberi data), saya sudah lama minta agar diberikan returni Afghanistan,” ungkap Din.(tau/jun)