KEBUMEN(kebumenekspres) - Dalam beberapa hari terakhir, warga masyarakat Kebumen merasakan cuaca yang berbeda. Dingin namun begitu terasa hingga mendekati ekstrem. Apa sebenarnya yang menyebabkan ini terjadi?
Informasi yang kemudian banyak diterima masyarakat ini terjadi lantaran di waktu seperti ini Matahari berjarak paling jauh dari Bumi, membuat sinarnya tak sebanyak biasanya sehingga suhu udara pun menjadi lebih dingin. Kondisi ini lantas disebut dengan Aphelion.
Namun menurut pemerhati Astronomi Kabupaten Kebumen, Marufin Sudibyo, bukan itu penyebabnya. Malah menghubungkan aphelion dengan suhu udara dingin menurut Marufin, adalah sebuah kekeliruan. Lalu apa yang terjadi sebenarnya?
Dari kaca mata astronomi, katanya, suhu dingin yang kita rasakan pada hari-hari ini bukanlah akibat aphelion. Melainkan akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi.
Berikut penjelasan Marufin soal itu, seperti dikutip selengkapnya dari akun facebook (fb) miliknya, Marufin Sudibyo.Aphelion yang Dituduh Bikin Udara Dingin (Padahal Tidak)...
Hari-hari ini, terutama malam ini, kata aphelion mendadak menggema. Viral dimana-mana khususnya lewat aneka media sosial tentang kaitan aphelion dengan suhu udara kota-kota di Indonesia (khususnya Bandung) yang terasa lebih dingin. Diklaim, dalam kondisi aphelion maka Matahari berjarak paling jauh dari Bumi, membuat sinarnya tak sebanyak biasanya sehingga suhu udara pun menjadi lebih dingin.
Maaf, itu keliru. Dalam kata-kata sahabat saya pak Judhistira Aria Utama, klaim hubungan aphelion dengan suhu udara dingin adalah contoh tulisan yang cantik dalam 'berbohong' dengan sains.
Apa itu aphelion? Betul, aphelion atau aphelium adalah titik terjauh (apoapsis) Bumi terhadap Matahari (helion). Gabungkan apoapsis dengan helion, maka ketemulah aphelion. Aphelion adalah konsekuensi langsung dari bentuk orbit Bumi yang lonjong (ellips), dimana dalam bentuk ellips ini terdapat dua titik pusat (fokus) dan salah satunya ditempati oleh Matahari kita. Konsekuensi dari bentuk orbit yang ellips maka ada titik yang terdekat terhadap Matahari (disebut perihelion) dan ada titik yang terjauh, ya si aphelion itu.
Dalam setiap tahunnya, Bumi akan sekali berada di perihelion dan sekali pula berada di aphelion. Bumi menempati perihelion pada setiap awal Januari, tepatnya sekitar 14 hari setelah Matahari berada di titik balik selatan (solstice Desember). Sebaliknya Bumi juga menempati aphelion setiap awal Juli, yakni sekitar 14 hari pasca
Matahari berada di titik balik utara (solstice Juni). Saat di perihelion, Matahari berjarak 147.098.000 kilometer terhadap Bumi sementara di aphelion Matahari berjarak 152.097.000 kilometer terhadap Bumi. Semua jarak itu diukur dari pusat Matahari ke pusat Bumi (centre-to-centre).
Oke, jadi jelas ada perbedaan jarak Matahari saat perihelion dengan aphelion ke Bumi. Seberapa besar pengaruhnya terhadap penyinaran Matahari di Bumi? Sayangnya, tidak banyak dan tidak signifikan. Jarak Matahari saat aphelion hanyalah 3 % lebih besar dibanding saat perihelion. Konsekuensinya intensitas sinar Matahari yang jatuh ke paras Bumi (rata-rata) pada saat aphelion hanyalah 7 % lebih besar dibanding saat perihelion. Selisih ini cukup kecil dan tidak signifikan untuk planet seukuran Bumi.
Suhu udara paras Bumi justru lebih banyak dipengaruhi oleh faktor astronomis lainnya, yakni kemiringan sumbu rotasi Bumi sebesar 23,5ยบ (terhadap bidang tegaklurus ekliptika). Gabungkan kemiringan ini dengan pergerakan rutin Bumi mengelilingi Matahari, maka akan kita dapatkan penyinaran Matahari yang tak merata di seluruh bola
Bumi. Pada bulan Juni, misalnya, akan lebih banyak sinar Matahari yang diterima belahan Bumi utara ketimbang selatan. Sebaliknya pada saat Desember giliran belahan Bumi selatan yang bermandi sinar Matahari.
Bagi Indonesia, yang posisinya dijepit oleh dua benua, rutinitas astronomis itu menciptakan sistem angin muson (monsoon) yang berhembus di antara Asia (tepatnya dari kawasan Asia selatan) dengan Australia. Menjadi pengetahuan umum bahwa musim hujan di Indonesia (secara umum berlangsung antara bulan Oktober hingga April tahun berikutnya) berlangsung kala bertiup angin muson barat, yakni dari Asia menuju Australia. Sebaliknya musim kemarau (umumnya berlangsung antara bulan April hingga Oktober) terjadi kala angin muson timur berhembus dari Australia menuju Asia.
Pada saat aphelion terjadi, Indonesia berada dalam pengaruh angin muson timur yang relatif kering. Sehingga kelembaban udara lebih rendah dan jarang terbentuk awan. Pada saat yang sama kawasan benua Australia, tempat angin muson timur itu berasal, sedang berada dalam puncak musim dingin. Sehingga angin muson timur pun bersifat lebih dingin. Nah, mari bayangkan situasinya, angin muson timur yang dingin itu berhembus melewati Indonesia. Maka tak pelak suhu udara paras Bumi di Indonesia pun akan turun, dibanding katakanlah pada saat musim hujan. Ditunjang dengan sedikitnya awan, yang pada satu sisi mampu menyekap panas yang dilepaskan daratan, maka tak ada lagi hambatan bagi angin dingin itu untuk membuat kita menggigil.
Faktor lainnya yang juga menentukan suhu udara paras Bumi adalah apakah lokasi tersebut jauh dari laut atau tidak. Ini fisika sederhana. Daratan, tepatnya batuan, dikenal memiliki kapasitas panas yang kecil. Artinya ia tidak mampu menyimpan panas. Maka di siang hari daratan akan cepat memanas, namun begitu Matahari terbenam ia akan cepat pula mendingin. Maka variasi suhu di antara siang dan malam di daratan umumnya besar. Sebaliknya lautan, tepatnya air, memiliki kapasitas panas yang lebih besar. Sehingga tidak mudah memanas di waktu siang dan sebaliknya tidak mudah mendingin di waktu malam. Maka daerah yang berada di tengah-tengah daratan dan cukup jauh dari laut umumnya akan lebih dingin di malam hari ketimbang daerah yang berada di pesisir.
Suhu udara yang dingin di musim kemarau sebenarnya telah menjadi pengetahuan yang diserap kearifan lokal di banyak daerah di Indonesia. Di masa kecil saya, bila malam almarhumah ibuk selalu menyiapkan minyak goreng yang hendak digunakan untuk memasak esok pagi pada tempat dengan penampang yang lebar seperti mangkuk atau basin.
Karena di musim kemarau, minyak goreng akan membeku terutama menjelang fajar dan dengan menempatkannya di mangkuk ia lebih mudah ditangani ketimbang membeku di dalam botol. Di dataran tinggi Dieng, petani setempat sudah familiar dengan ancaman embun upas atau bun upas, yakni embun yang menempel di tanah dan dedaunan yang berubah menjadi es tipis karena saking dinginnya. Maka mereka pun memilih tanaman budidaya yang relatif tahan terhadap suhu dingin dan sementara menghindari menanam kentang, produk utama pertanian kawasan itu.
Jadi, secara astronomi, suhu dingin yang kita rasakan pada hari-hari ini bukanlah akibat aphelion. Melainkan akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi.Terakhir, mengutip gaya gaul dan galau anak-anak milenial, udara memang dingin pada hari-hari ini dan Matahari begitu jauhnya, namun tak sejauh dan tak sedingin dirimuhhh. #Eaaaa…
Informasi yang kemudian banyak diterima masyarakat ini terjadi lantaran di waktu seperti ini Matahari berjarak paling jauh dari Bumi, membuat sinarnya tak sebanyak biasanya sehingga suhu udara pun menjadi lebih dingin. Kondisi ini lantas disebut dengan Aphelion.
Namun menurut pemerhati Astronomi Kabupaten Kebumen, Marufin Sudibyo, bukan itu penyebabnya. Malah menghubungkan aphelion dengan suhu udara dingin menurut Marufin, adalah sebuah kekeliruan. Lalu apa yang terjadi sebenarnya?
Dari kaca mata astronomi, katanya, suhu dingin yang kita rasakan pada hari-hari ini bukanlah akibat aphelion. Melainkan akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi.
Berikut penjelasan Marufin soal itu, seperti dikutip selengkapnya dari akun facebook (fb) miliknya, Marufin Sudibyo.Aphelion yang Dituduh Bikin Udara Dingin (Padahal Tidak)...
Hari-hari ini, terutama malam ini, kata aphelion mendadak menggema. Viral dimana-mana khususnya lewat aneka media sosial tentang kaitan aphelion dengan suhu udara kota-kota di Indonesia (khususnya Bandung) yang terasa lebih dingin. Diklaim, dalam kondisi aphelion maka Matahari berjarak paling jauh dari Bumi, membuat sinarnya tak sebanyak biasanya sehingga suhu udara pun menjadi lebih dingin.
Maaf, itu keliru. Dalam kata-kata sahabat saya pak Judhistira Aria Utama, klaim hubungan aphelion dengan suhu udara dingin adalah contoh tulisan yang cantik dalam 'berbohong' dengan sains.
Apa itu aphelion? Betul, aphelion atau aphelium adalah titik terjauh (apoapsis) Bumi terhadap Matahari (helion). Gabungkan apoapsis dengan helion, maka ketemulah aphelion. Aphelion adalah konsekuensi langsung dari bentuk orbit Bumi yang lonjong (ellips), dimana dalam bentuk ellips ini terdapat dua titik pusat (fokus) dan salah satunya ditempati oleh Matahari kita. Konsekuensi dari bentuk orbit yang ellips maka ada titik yang terdekat terhadap Matahari (disebut perihelion) dan ada titik yang terjauh, ya si aphelion itu.
Dalam setiap tahunnya, Bumi akan sekali berada di perihelion dan sekali pula berada di aphelion. Bumi menempati perihelion pada setiap awal Januari, tepatnya sekitar 14 hari setelah Matahari berada di titik balik selatan (solstice Desember). Sebaliknya Bumi juga menempati aphelion setiap awal Juli, yakni sekitar 14 hari pasca
Matahari berada di titik balik utara (solstice Juni). Saat di perihelion, Matahari berjarak 147.098.000 kilometer terhadap Bumi sementara di aphelion Matahari berjarak 152.097.000 kilometer terhadap Bumi. Semua jarak itu diukur dari pusat Matahari ke pusat Bumi (centre-to-centre).
Oke, jadi jelas ada perbedaan jarak Matahari saat perihelion dengan aphelion ke Bumi. Seberapa besar pengaruhnya terhadap penyinaran Matahari di Bumi? Sayangnya, tidak banyak dan tidak signifikan. Jarak Matahari saat aphelion hanyalah 3 % lebih besar dibanding saat perihelion. Konsekuensinya intensitas sinar Matahari yang jatuh ke paras Bumi (rata-rata) pada saat aphelion hanyalah 7 % lebih besar dibanding saat perihelion. Selisih ini cukup kecil dan tidak signifikan untuk planet seukuran Bumi.
Suhu udara paras Bumi justru lebih banyak dipengaruhi oleh faktor astronomis lainnya, yakni kemiringan sumbu rotasi Bumi sebesar 23,5ยบ (terhadap bidang tegaklurus ekliptika). Gabungkan kemiringan ini dengan pergerakan rutin Bumi mengelilingi Matahari, maka akan kita dapatkan penyinaran Matahari yang tak merata di seluruh bola
Bumi. Pada bulan Juni, misalnya, akan lebih banyak sinar Matahari yang diterima belahan Bumi utara ketimbang selatan. Sebaliknya pada saat Desember giliran belahan Bumi selatan yang bermandi sinar Matahari.
Bagi Indonesia, yang posisinya dijepit oleh dua benua, rutinitas astronomis itu menciptakan sistem angin muson (monsoon) yang berhembus di antara Asia (tepatnya dari kawasan Asia selatan) dengan Australia. Menjadi pengetahuan umum bahwa musim hujan di Indonesia (secara umum berlangsung antara bulan Oktober hingga April tahun berikutnya) berlangsung kala bertiup angin muson barat, yakni dari Asia menuju Australia. Sebaliknya musim kemarau (umumnya berlangsung antara bulan April hingga Oktober) terjadi kala angin muson timur berhembus dari Australia menuju Asia.
Pada saat aphelion terjadi, Indonesia berada dalam pengaruh angin muson timur yang relatif kering. Sehingga kelembaban udara lebih rendah dan jarang terbentuk awan. Pada saat yang sama kawasan benua Australia, tempat angin muson timur itu berasal, sedang berada dalam puncak musim dingin. Sehingga angin muson timur pun bersifat lebih dingin. Nah, mari bayangkan situasinya, angin muson timur yang dingin itu berhembus melewati Indonesia. Maka tak pelak suhu udara paras Bumi di Indonesia pun akan turun, dibanding katakanlah pada saat musim hujan. Ditunjang dengan sedikitnya awan, yang pada satu sisi mampu menyekap panas yang dilepaskan daratan, maka tak ada lagi hambatan bagi angin dingin itu untuk membuat kita menggigil.
Faktor lainnya yang juga menentukan suhu udara paras Bumi adalah apakah lokasi tersebut jauh dari laut atau tidak. Ini fisika sederhana. Daratan, tepatnya batuan, dikenal memiliki kapasitas panas yang kecil. Artinya ia tidak mampu menyimpan panas. Maka di siang hari daratan akan cepat memanas, namun begitu Matahari terbenam ia akan cepat pula mendingin. Maka variasi suhu di antara siang dan malam di daratan umumnya besar. Sebaliknya lautan, tepatnya air, memiliki kapasitas panas yang lebih besar. Sehingga tidak mudah memanas di waktu siang dan sebaliknya tidak mudah mendingin di waktu malam. Maka daerah yang berada di tengah-tengah daratan dan cukup jauh dari laut umumnya akan lebih dingin di malam hari ketimbang daerah yang berada di pesisir.
Suhu udara yang dingin di musim kemarau sebenarnya telah menjadi pengetahuan yang diserap kearifan lokal di banyak daerah di Indonesia. Di masa kecil saya, bila malam almarhumah ibuk selalu menyiapkan minyak goreng yang hendak digunakan untuk memasak esok pagi pada tempat dengan penampang yang lebar seperti mangkuk atau basin.
Karena di musim kemarau, minyak goreng akan membeku terutama menjelang fajar dan dengan menempatkannya di mangkuk ia lebih mudah ditangani ketimbang membeku di dalam botol. Di dataran tinggi Dieng, petani setempat sudah familiar dengan ancaman embun upas atau bun upas, yakni embun yang menempel di tanah dan dedaunan yang berubah menjadi es tipis karena saking dinginnya. Maka mereka pun memilih tanaman budidaya yang relatif tahan terhadap suhu dingin dan sementara menghindari menanam kentang, produk utama pertanian kawasan itu.
Jadi, secara astronomi, suhu dingin yang kita rasakan pada hari-hari ini bukanlah akibat aphelion. Melainkan akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi.Terakhir, mengutip gaya gaul dan galau anak-anak milenial, udara memang dingin pada hari-hari ini dan Matahari begitu jauhnya, namun tak sejauh dan tak sedingin dirimuhhh. #Eaaaa…