JAKARTA – Badan Pengawas Pemilu (Baawaslu) telah merilis parpol yang memasukkan mantan napi korupsi dalam daftar bakal calon legislatif (bacaleg) yang diajukan ke KPU. Terdapat 119 bacaleg yang pernah terjerat kasus korupsi.
Menurut Direktur Para Syndicate Ari Nurcahyo, parpol tidak konsisten melaksanakan pakta integritas yang telah ditandatangani, beberapa waktu lalu. Publik diharapkan bisa ikut mengawasi proses Pemilu 2019. Karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan memberi akses bagi publik untuk melihat siapa saja caleg mantan napi korupsi.
Selain itu, Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta menyerahkan daftar napi korupsi ke KPU dan Bawaslu. Hal itu diungkapkan Ari dalam diskusi bertajuk 'Menyambut Partai Tanpa Koruptor: Jangan Kendor!' di D'Hotel, Jalan Sultan Agung, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (30/7/2018).
Ari mengatakan, ketika penandatanganan Pakta Integritas, parpol berkomitmen akan membebaskan daftar caleg dari napi koruptor, mantan napi narkoba dan pelaku pelecehan seksual terhadap anak.
Namun, apa yang terjadi belakangan ini membuktikan bahwa sikap politik parpol tidak linier dengan pakta integritas tersebut. Karena itulah menurutnya penandatanganan pakta integritas hanya sebatas formalitas. "Ini bukti inkonsistensi parpol," tutur Ari.
Jika parpol tetap mencalonkan kadernya yang bekas koruptor, ini akan menjadi catatan gelap bagi proses demokrasi. Selama 20 tahun reformasi, demokrasi bukan hanya jalan di tempat tapi akan cenderung mundur.
Penolakan terhadap caleg mantan koruptor, sambung Ari, membutuhkan dukungan Bersama, mulai dari masyarakat sipil, penegak hukum, lembaga penegak hukum seperti MA dan KPK. "Sekarang sedang ditunggu list napi koruptor, bandar narkoba dan pelecehan seksual anak. KPU menunggu list nama dari MA dan publik juga menunggu list itu dibuka. Daripada lihat ribuan daftar caleg di KPU, kami sarankan MA dan KPK membuat list. Selain list itu diberikan ke KPU dan Bawaslu juga dibuka ke publik," kata dia.
Sehingga publik bisa mengawasi dan membantu KPU mengoreksi daftar bacaleg sebelum ditetapkan sebagai daftar caleg tetap (DCT). "Integritas di parpol masih jadi barang mahal dan kita harap partisipasi publik, KPK dan MA bisa ikut kawal DCS (daftar calon sementara) itu dari tiga aspek yaitu napi koruptor, napi bandar narkoba dan napi pelaku pelecehan seksual terhadap anak," tambah Ari.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw mendesak KPU memberi akses ke publik terkait data bacaleg ini. "Saya sesalkan pada KPU karena prosesnya tertutup. Seharusnya terbuka. Beberapa hari lalu kita minta KPU buka akses agar masyarakat ikut berkontribusi dalam melakukan pengawasan," jelas dia.
Jika akses tak dibuka, kata Jerry, masih adanya caleg bekas napi koruptor bisa juga hasil adanya permainan KPU dengan parpol. Hal yang juga disoroti dalam proses tahapan pemilu ini ialah caleg yang dipindah dapilnya dan juga nomor urutnya.
"Permainan bisa saja terjadi antara KPU dan parpol. Kalau Anda ikuti sebetulnya ada juga dinamika partai di mana para calon dijanjikan di dapil A kemudian enggak ada begitu juga pindah ke dapil lain dan dijanjikan di nomor urut satu tiba-tiba ke nomor urut 7. Ada dinamika seperti ini," kata dia.
"KPU sudah menggunakan Silon. Silon seharusnya digunakan untuk publik supaya publik bisa mengakses lebih mudah. Untuk apa teknologi mahal-mahal tapi tak bisa diakses publik. Ada problem sebetulnya di KPU dan kita sebut KPU minim memfasilitasi publik berpartisipasi dalam setiap tahapan," tandas dia.
Akan tetapi, Jerry bersyukur, akhirnya Bawaslu yang diberi akses oleh KPU bisa mendeteksi daftar bacaleg yang merupakan bekas napi koruptor dan diumumkan ke publik walaupun tidak secara rinci.
Daftar yang diumumkan Bawaslu masih caleg tingkat DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Dan menurut Jerry tak menutup kemungkinan banyak juga bekas napi koruptor menjadi caleg DPR RI. "Apakah yang nasional tidak ada? Saya tidak yakin," imbuh Jerry.
Sementara itu, Ketua Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menyebutkan, sejak reformasi 1998 hingga kini, perbaikan aspek di eksekutif lebih terasa dibandingkan legislatif. Aspek di legislatif dinilainya lebih lambat perbaikannya karena masih berkutat di wilayah yang sama, yakni anggota yang malas rapat hingga terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Ia mengatakan, konsolidasi demokrasi di Indonesia semakin baik, termasuk penataan sistemnya. Namun di tengah itu, katanya, tujuan-tujuan dari Pemilu selalu gagal dan gagap. Tujuan pemilu, katanya, tidak hanya sekedar bagaimana menciptakan sirkulasi kekuasaan tetapi kekuasaan seperti apa yang dilahirkan dari produk pemilu itu.
Kondisi saat ini, kata Ray, menunjukkan bahwa kenaikan tujuan pemilu di wilayah legislatif lebih lambat. Sedangkan di eksekutif, katanya, beberapa sudah dibuktikan di Pilkada serentak lalu, banyak kepala daerah berprestasi di wilayah kabupaten atau kota, naik ke provinsi dan memenangkan kontestasi. Maka tak heran menurutnya pada pemilihan presiden 2024 mendatang akan menjadi arena pertarungan antar gubernur.
Ray juga mengatakan, jangan sampai wilayah eksekutif yang terus membaik, tetapi justru kultur politik di legislatif tidak berubah-ubah. Hal ini, katanya, sangat terkait dengan rekruitmen mereka di partai yang tidak ada perubahan. "Saya setuju aturan KPU (mantan napi korupsi dilarang nyaleg) untuk hindarkan darurat pemilu karena di wilayah legislatif sudah darurat," tegas dia.
Kedaruratan tersebut dinilainya terbukti dengan produk UU yang dihasilkan tidak sebanding dengan ocehan-ocehan sekelas wakil ketua di media sosial. Kerja parlemen saat ini dinilainya molor, attitude mereka pun tidak terbangun, tetapi korupsi terus menerus terjadi. Hal tersebut, katanya, menjadi suatu kedaruratan pemilu di wilayah legislatif.
Salah satu cara agar hal tersebut tak terjadi adalah dengan menegakkan Peraturan KPU (PKPU) No 20/2018, untuk tidak memasukkan para calon anggota legislatif sebagai calon legislatif (caleg) di Pemilu 2019.
Ia mengatakan, ada faktor hubungan timbal balik antara partai dengan mantan narapidana korupsi serta publik yang belun menilai isu korupsi sebagai isu utama. "Makanya, partai-partai masih ramah terhadap mantan narapidana korupsi sehingga masih menerima mereka," kata Ray.
Sedangkan Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan, jumlah anggota DPR yang terkena kasus korupsi pasca Pemilu 2019 akan semakin bertambah dengan karakter yang ditampilkan parpol-parpol saat ini, yakni mencalonkan mantan napi korupsi.
"Artinya, parpol sudah bunuh optimisme publik dengan harapan positif. Harapan DPR akan lebih baik dari periode sekarang dibunuh oleh parpol sendiri dengan munculnya banyak napi korupsi," terang dia.
Menurut Lucius, janji parpol-parpol yang ingin memberantas korupsi tidak lebih dari sekedar slogan dan jargon yang tidak ada alasannya untuk bisa masyarakat percayai. Munculnya para caleg-caleg yang buruk juga disebutkannya karena kaderisasi parpol yang tidak pernah tuntas.
Partai-partai lama yang anggotanya sudah ada di DPR, tutur Lucius, masih tidak merasa jera dengan tragedi-tragedi korupsi yang menimpa anggota dewan selama ini. Perjuangan agar publik mendapat parlemen yang bersih, tetap mempunyai harapan agar parpol-parpol yang ada bisa konsisten dan mengikuti contoh yang dilakukan parpol lain, yang sudah komitmen tidak memajukan calon bermasalah. (rul)
Pakta Integritas
• Daftar caleg parpol terbebas dari mantan napi koruptor
• Daftar caleg parpol terbebas dari mantan napi narkoba
• daftar caleg parpol terbebas dari pelaku pelecehan seksual terhadap anak
Menurut Direktur Para Syndicate Ari Nurcahyo, parpol tidak konsisten melaksanakan pakta integritas yang telah ditandatangani, beberapa waktu lalu. Publik diharapkan bisa ikut mengawasi proses Pemilu 2019. Karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan memberi akses bagi publik untuk melihat siapa saja caleg mantan napi korupsi.
Selain itu, Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta menyerahkan daftar napi korupsi ke KPU dan Bawaslu. Hal itu diungkapkan Ari dalam diskusi bertajuk 'Menyambut Partai Tanpa Koruptor: Jangan Kendor!' di D'Hotel, Jalan Sultan Agung, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (30/7/2018).
Ari mengatakan, ketika penandatanganan Pakta Integritas, parpol berkomitmen akan membebaskan daftar caleg dari napi koruptor, mantan napi narkoba dan pelaku pelecehan seksual terhadap anak.
Namun, apa yang terjadi belakangan ini membuktikan bahwa sikap politik parpol tidak linier dengan pakta integritas tersebut. Karena itulah menurutnya penandatanganan pakta integritas hanya sebatas formalitas. "Ini bukti inkonsistensi parpol," tutur Ari.
Jika parpol tetap mencalonkan kadernya yang bekas koruptor, ini akan menjadi catatan gelap bagi proses demokrasi. Selama 20 tahun reformasi, demokrasi bukan hanya jalan di tempat tapi akan cenderung mundur.
Penolakan terhadap caleg mantan koruptor, sambung Ari, membutuhkan dukungan Bersama, mulai dari masyarakat sipil, penegak hukum, lembaga penegak hukum seperti MA dan KPK. "Sekarang sedang ditunggu list napi koruptor, bandar narkoba dan pelecehan seksual anak. KPU menunggu list nama dari MA dan publik juga menunggu list itu dibuka. Daripada lihat ribuan daftar caleg di KPU, kami sarankan MA dan KPK membuat list. Selain list itu diberikan ke KPU dan Bawaslu juga dibuka ke publik," kata dia.
Sehingga publik bisa mengawasi dan membantu KPU mengoreksi daftar bacaleg sebelum ditetapkan sebagai daftar caleg tetap (DCT). "Integritas di parpol masih jadi barang mahal dan kita harap partisipasi publik, KPK dan MA bisa ikut kawal DCS (daftar calon sementara) itu dari tiga aspek yaitu napi koruptor, napi bandar narkoba dan napi pelaku pelecehan seksual terhadap anak," tambah Ari.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw mendesak KPU memberi akses ke publik terkait data bacaleg ini. "Saya sesalkan pada KPU karena prosesnya tertutup. Seharusnya terbuka. Beberapa hari lalu kita minta KPU buka akses agar masyarakat ikut berkontribusi dalam melakukan pengawasan," jelas dia.
Jika akses tak dibuka, kata Jerry, masih adanya caleg bekas napi koruptor bisa juga hasil adanya permainan KPU dengan parpol. Hal yang juga disoroti dalam proses tahapan pemilu ini ialah caleg yang dipindah dapilnya dan juga nomor urutnya.
"Permainan bisa saja terjadi antara KPU dan parpol. Kalau Anda ikuti sebetulnya ada juga dinamika partai di mana para calon dijanjikan di dapil A kemudian enggak ada begitu juga pindah ke dapil lain dan dijanjikan di nomor urut satu tiba-tiba ke nomor urut 7. Ada dinamika seperti ini," kata dia.
"KPU sudah menggunakan Silon. Silon seharusnya digunakan untuk publik supaya publik bisa mengakses lebih mudah. Untuk apa teknologi mahal-mahal tapi tak bisa diakses publik. Ada problem sebetulnya di KPU dan kita sebut KPU minim memfasilitasi publik berpartisipasi dalam setiap tahapan," tandas dia.
Akan tetapi, Jerry bersyukur, akhirnya Bawaslu yang diberi akses oleh KPU bisa mendeteksi daftar bacaleg yang merupakan bekas napi koruptor dan diumumkan ke publik walaupun tidak secara rinci.
Daftar yang diumumkan Bawaslu masih caleg tingkat DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Dan menurut Jerry tak menutup kemungkinan banyak juga bekas napi koruptor menjadi caleg DPR RI. "Apakah yang nasional tidak ada? Saya tidak yakin," imbuh Jerry.
Sementara itu, Ketua Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menyebutkan, sejak reformasi 1998 hingga kini, perbaikan aspek di eksekutif lebih terasa dibandingkan legislatif. Aspek di legislatif dinilainya lebih lambat perbaikannya karena masih berkutat di wilayah yang sama, yakni anggota yang malas rapat hingga terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Ia mengatakan, konsolidasi demokrasi di Indonesia semakin baik, termasuk penataan sistemnya. Namun di tengah itu, katanya, tujuan-tujuan dari Pemilu selalu gagal dan gagap. Tujuan pemilu, katanya, tidak hanya sekedar bagaimana menciptakan sirkulasi kekuasaan tetapi kekuasaan seperti apa yang dilahirkan dari produk pemilu itu.
Kondisi saat ini, kata Ray, menunjukkan bahwa kenaikan tujuan pemilu di wilayah legislatif lebih lambat. Sedangkan di eksekutif, katanya, beberapa sudah dibuktikan di Pilkada serentak lalu, banyak kepala daerah berprestasi di wilayah kabupaten atau kota, naik ke provinsi dan memenangkan kontestasi. Maka tak heran menurutnya pada pemilihan presiden 2024 mendatang akan menjadi arena pertarungan antar gubernur.
Ray juga mengatakan, jangan sampai wilayah eksekutif yang terus membaik, tetapi justru kultur politik di legislatif tidak berubah-ubah. Hal ini, katanya, sangat terkait dengan rekruitmen mereka di partai yang tidak ada perubahan. "Saya setuju aturan KPU (mantan napi korupsi dilarang nyaleg) untuk hindarkan darurat pemilu karena di wilayah legislatif sudah darurat," tegas dia.
Kedaruratan tersebut dinilainya terbukti dengan produk UU yang dihasilkan tidak sebanding dengan ocehan-ocehan sekelas wakil ketua di media sosial. Kerja parlemen saat ini dinilainya molor, attitude mereka pun tidak terbangun, tetapi korupsi terus menerus terjadi. Hal tersebut, katanya, menjadi suatu kedaruratan pemilu di wilayah legislatif.
Salah satu cara agar hal tersebut tak terjadi adalah dengan menegakkan Peraturan KPU (PKPU) No 20/2018, untuk tidak memasukkan para calon anggota legislatif sebagai calon legislatif (caleg) di Pemilu 2019.
Ia mengatakan, ada faktor hubungan timbal balik antara partai dengan mantan narapidana korupsi serta publik yang belun menilai isu korupsi sebagai isu utama. "Makanya, partai-partai masih ramah terhadap mantan narapidana korupsi sehingga masih menerima mereka," kata Ray.
Sedangkan Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan, jumlah anggota DPR yang terkena kasus korupsi pasca Pemilu 2019 akan semakin bertambah dengan karakter yang ditampilkan parpol-parpol saat ini, yakni mencalonkan mantan napi korupsi.
"Artinya, parpol sudah bunuh optimisme publik dengan harapan positif. Harapan DPR akan lebih baik dari periode sekarang dibunuh oleh parpol sendiri dengan munculnya banyak napi korupsi," terang dia.
Menurut Lucius, janji parpol-parpol yang ingin memberantas korupsi tidak lebih dari sekedar slogan dan jargon yang tidak ada alasannya untuk bisa masyarakat percayai. Munculnya para caleg-caleg yang buruk juga disebutkannya karena kaderisasi parpol yang tidak pernah tuntas.
Partai-partai lama yang anggotanya sudah ada di DPR, tutur Lucius, masih tidak merasa jera dengan tragedi-tragedi korupsi yang menimpa anggota dewan selama ini. Perjuangan agar publik mendapat parlemen yang bersih, tetap mempunyai harapan agar parpol-parpol yang ada bisa konsisten dan mengikuti contoh yang dilakukan parpol lain, yang sudah komitmen tidak memajukan calon bermasalah. (rul)
Pakta Integritas
• Daftar caleg parpol terbebas dari mantan napi koruptor
• Daftar caleg parpol terbebas dari mantan napi narkoba
• daftar caleg parpol terbebas dari pelaku pelecehan seksual terhadap anak