SEMARANG - Bupati Kebumen non aktif , Mohammad Yahya Fuad, membeberkan praktek suap dalam proses turunnya anggaran pusat ke daerah. Menurut Yahya Fuad, praktek suap untuk pusat itu sudah berlangsung lama dan sudah menjadi rahasia umum.
Prakteknya, pejabat pusat memberikan informasi jauh hari sebelum anggaran itu turun. Agar proyek bersumber anggaran pusat (APBN) bisa turun ke daerah, diperlukan uang pelicin atau istilahnya dana rintisan alias "nyengget" sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak.
Hal itu disampaikan Yahya ketika bersaksi untuk perkara Hojin Ansori di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (12/9/2018).
Terkait hal ini, Yahya Fuad mengaku memiliki pengalaman yang sama, yakni menyetor fee proyek kepada pejabat pusat pada program pembangunan khususnya bersumber Dana Alokasi Khusus (DAK). Baik sebelum maupun setelah menjadi Bupati Kebumen.
Di tahun 2014, misalnya saat masih sebagai pengusaha. Yahya Fuad yang pemilik PT Tradha Grup, pernah menyetorkan uang Rp 1,5 miliar kepada Fraksi PKB DPR RI. Uang itu diberikan kepada tenaga ahli DPR RI bernama Cahyono.
"Saya ketemu Cahyono salah satu tenaga ahli di DPR RI. Setahu saya dari Fraksi PKB. Lalu kami dipertemukan dengan pejabat dengan Departemen Keuangan (Depkeu) di Hotel Le Meridien Jakarta. Diberi tahu akan ada dana turun dari pusat. Kami diminta Rp 1,5 miliar," ujar Yahya Fuad menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Joko Hermawan.
Proyek pusat senilai Rp 40 miliar itu kemudian dapat direalisasikan pada DAK APBD Murni 2016. Selain dirinya, kata Yahya, rintisan juga dilakukan pengusaha Khayub M Lutfi, sehingga total anggaran pusat yang turun pada APBD Murni 2016 senilai Rp 109 miliar.
Dalam perjalanannya, Yahya Fuad dan Khayub M Lutfi maju dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Kebumen 2015. Dan, Yahya Fuad, terpilih. Oleh sebab itu, Yahya Fuad memilih "melepas" proyek tersebut yang kemudian "diambil" Hojin Ansori. Sebagai kesepakatan, Hojin mengganti uang yang sudah telanjur dikeluarkan PT Tradha milik Mohammad Yahya Fuad.
Nah, pada Desember 2015, Hojin mengganti uang Rp 3,030 miliar sebagai ganti rintisan proyek. Uang itu lalu masuk rekening PT Tradha. "Setahu saya, saat itu saya masih pengusaha karena belum dilantik," ujar Yahya Fuad yang kemudian mengaku bersalah dan menangis itu.
Bupati Kebumen periode 2016-2021 yang dilantik pada 17 Februari 2016 itu kembali berurusan dengan pejabat dari pusat. Kali ini dengan Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniawan.
Berawal dari kerusakan jalan di Kebumen yang parah, Yahya Fuad lantas berupaya mencari bantuan kepada pemerintah pusat dalam hal ini melalui Kementerian Pekerjaan Umum. Selain itu, Yahya Fuad meminta bantuan para anggota DPR RI di Daerah Pemilihan (Dapil) VII Jawa Tengah (Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga).
Seperti Taufik R Abdullah (PKB), Romahurmuzy (PPP), Bambang Soesatyo (Golkar), Amelia Anggraeni (Nasdem), Taufik Kurniawan (PAN) Darori Wonodipuro (Gerindra) dan Utut Adianto (PDI Perjuangan).
Dari 7 anggota DPR RI itu, hanya Taufik Kurniawan yang menawarkan ada anggaran Rp 100 miliar untuk perbaikan jalan pada yang rencananya akan turun pada APBD Perubahan 2016.
"Saat itu, pak Taufik Kurniawan menawarkan bila bersedia ada dana dana proyek jalan DAK Perubahan senilai Rp 100 miliar. Namun dikatakannya, tidak gratis karena ada bagian untuk kawan-kawannya,”kata Yahya Fuad, menirukan omongan yang disampaikan Taufik.
Yahya Fuad tidak langsung menjawab. Namun Taufik menyebutkan bila Kebumen tak mau menerima, akan dialihkan ke daerah lain. Kendati merasa bersalah, Yahya Fuad akhirnya menyanggupi.
Dalam upaya merealisasikannya, Yahya Fuad lantas menunjuk Hojin Ansori yang mantan tim suksesnya pada Pilkada untuk mengumpulkan fee dari para pengusaha jasa konstruksi di Kebumen.
Belakangan terungkap, para kontraktor ditarik fee 7 persen. Rinciannya, 5 persen untuk merintis anggaran dari pemerintah pusat, 2 persen untuk bina lingkungan (bilung).
Terungkap pula, Pemkab Kebumen membuat proposal kepada Kementerian Umum untuk dana perbaikan jalan ini. Nilai anggarannya disesuaikan dengan Rp 100 miliar yang ditawarkan Taufik Kurniawan. Proposal itu sempat ditunjukkan JPU KPK dan menjadi salah satu alat bukti.
Persoalan kemudian muncul karena pengusaha Khayub M Lutfi yang rival Mohammad Yahya Fuad tidak mendapat pekerjaan. Seiring dengan itu, terjadi keributan antara Hojin dan Khayub. Hingga kemudian, atas inisiatif Adi Pandoyo, mereka dipertemukan. Adi Pandoyo juga mempertemukan Mohammad Yahya Fuad dengan Khayub.
Pertemuan ini, menurut Yahya Fuad, tidak digelar di Hotel Ambarukmo Jogjakarta melainkan di pendopo Bupati. Dalam pertemuan itu, Yahya Fuad mengaku menawarkan apakah dana itu akan diambil atau tidak dan meminta Khayub membantu.
Khayub menyanggupi. Kemudian anggaran Rp 100 miliar itu dan dibagi menjadi tiga. Yakni Khayub M Lutfi 30 miliar, Hojin Ansori dan Muji Hartono alias Ebung masing-masing 15 miliar, sisanya untuk PT Tradha dan pihak lain.
Sebagai tindak lanjutnya, Yahya memberikan uang tunai sebanyak dua kali ke Taufik lewat anak buahnya bernama Antok di Hotel Gumaya, Semarang. Pemberian dilakukan dalam tiga termin. "Pertama 1/3 atau sekitar Rp 1,7 miliar. Seminggu kemudian minta lagi Rp 1,5 miliar. Lewat Pak Sekda, Adi Pandoyo uang diberikan ke Gumaya lewat orang suruhan Pak Taufik. Kami sudah komunikasi dengan Pak Taufik. Nama, tempat, nomor telepon. Orangnya namanya Antok. Setelah itu (terima uang) dia telepon saya. Uang sudah sampai,," kata Yahya di hadapan majelis hakim yang dipimpin Sulistiyono.
Termin ketiga, lanjutnya, sekitar Rp 1,480 miliar gagal diberikan ke Taufik karena kemudian dilakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK atas kasus itu. Disebutkannya, saat itu yang memberi tahu nomor dan kamar hotel ke Sekda atas informasi dari Taufik sendiri. “Kemudian dana DAK turun antara Rp 94 sampai Rp 96 miliar dari Rp 100 miliar yang dijanjikan," sebutnya.
Yahya Fuad juga mengakui, para kontraktor yang membayar fee akhirnya mendapat pekerjaan alias proyek. Namun demikian, Yahya saat dikejar JPU, menolak ada pengondisian dalam proses lelang.
Sebelumnya, Yahya mengakui Taufik Kurniawan menerima total Rp 3,7 miliar dari Rp 5 miliar yang dijanjikannnya ke politikus PAN itu. "Saya akui saat itu saya salah.Saya menyesal. Karena dalam pemikiran kami, yang penting dana bisa turun karena Kebumen sangat membutuhkan. Dana pusat itu untuk pembangunan di Kebumen," ujarnya sembari menahan air mata.
Terkait bilung yang sebesar 2 persen dari fee proyek, Yahya Fuad mengaku mengalir kepada LSM dan unsur Muspida dan Pemprov Jawa Tengah. Yahya juga mengamini, bilung mengalir kepada Polres, Kejaksaan Negeri, Kodim danpihak lain. Hal itu sesuai laporan Barli Halim yang mantan Timses Yahya Fuad pada Pilkada lalu.
Dalam laporan itu, Barli Halim menggunakan istilah-istilah seperti Kembaran (Polres Kebumen), SDA (Kejaksaan Negeri Kebumen), apotik (Sekda) ada juga istilah "Hotel Mexolie" yang tidak dijelaskan secara rinci dalam persidangan kemarin. Khususnya kepada aparat hukum, Yahya Fuad, mengakui biar tidak diproses hukum.
Yahya Fuad juga mengakui ada juga aliran uang kepada Wakil Bupati untuk uang muka Mobil Rp 275 juta. "Itu berdasarkan laporan Barli Halim," ujar Yahya Fuad yang mengaku sempat marah kepada Barli yang bertindak sendiri padahal sudah dilarang.
Terkait dana untuk mobil Wabup, Yahya Fuad, dana tak hanya diberikan oleh Barli Halim. Namun, juga Hojin Ansori. Bila Barli untuk uang muka, Hojin Ansori sebagai dana talangan karena saat itu Wabup tidak bisa mengangsur.
Persidangan yang dipimpin Ketua Sulistyono kemarin juga menghadirkan saksi ahli. Dalam kesempatan itu, Hojin Ansori juga dimintai keterangan untuk perkara Mohammad Yahya Fuad.
Menanggapi sejumlah orang yang disebut terlibat baik oknum Wakil DPR RI aktif, kemudian oknum Kapolres dan oknum Kajari di Kebumen yang menjabat saat itu,Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan tidak semua yang disebutkan dalam pemeriksaan di persidangan terlibat, karena menurutnya semua tergantung adanya 2 alat bukti.
Ia juga mencontohkan, dalam kasus Gayus Tambunan, sejumlah pihak disebut, namun tergantung 2 alat buktinya ada atau tidak.Selain itu, lanjut Marwata, antara KPK,
Kepolisian dan Kejaksaan sudah ada kordinasi dan supervisi, sehingga apabila ada oknum anggota masing-masing yang terlibat tindak pidana, melalui pimpinannya dikabari agar bisa diproses, namun apabila tidak diselesaikan juga, disitulah pihaknya akan melakukan penindakan.
“Tapi kebanyakan begitu sudah dilaporkan ada tindakan pimpinan, seperti kasus Cicak vs Buaya, yang menjerat Susno Duaji. Yang jelas semua kami sikapi, jadi harus dibedakan supervisi dan kordinasi,”jawab Marwata saat ditanya salah satu peserta dalam Kuliah Umum bertemakan “pencegahan korupsi korporasi”, yang diadakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unika Soegijapranta, Rabu kemarin.
Seperti diketahui, KPK mendakwa Mohammad Yahya Fuad, menerima uang Rp 3,03 miliar dari pengusaha Hojin Ansori dan sejumlah uang lain dari para kontraktor di Kebumen. Total yang didakwakan KPK sejumlah Rp 12 miliar lebih. Uang itu sebagai fee agar para pengusaha mendapatkan proyek di lingkungan Pemkab Kebumen pada APBD dan APBD P 2016.
KPK mendakwa Yahya Fuad, Bupati Kebumen periode 2016-2021, membagi-bagikan proyek kepada timsesnya seperti Hojin Ansori, Barli Halim, Muji Hartono alias Ebung, Zaeni Miftah, Arif Budiman dan sejumalah nama lain.
Sebagian besar dari mantan timses itu lalu mengumpulkan fee untuk merintis proyek dari Pemprov Jawa Tengah dan Pusat. Termasuk, dari Khayub M Lutfi lewat Sekda Adi Pandoyo. Poyek-proyek itu bersumber APBD, APBD I dan APBN. Dalam proses pengerjaannya, perusahaan milik Mohammad Yahya Fuad, PT Tradha turut mengerjakan proyek tersebut namun menggunakan bendera perusahaan lain. KPK juga mendalami adanya pengaturan pada proses lelang di Kebumen terkait hal ini. (jks/cah)
Prakteknya, pejabat pusat memberikan informasi jauh hari sebelum anggaran itu turun. Agar proyek bersumber anggaran pusat (APBN) bisa turun ke daerah, diperlukan uang pelicin atau istilahnya dana rintisan alias "nyengget" sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak.
Hal itu disampaikan Yahya ketika bersaksi untuk perkara Hojin Ansori di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (12/9/2018).
Terkait hal ini, Yahya Fuad mengaku memiliki pengalaman yang sama, yakni menyetor fee proyek kepada pejabat pusat pada program pembangunan khususnya bersumber Dana Alokasi Khusus (DAK). Baik sebelum maupun setelah menjadi Bupati Kebumen.
Di tahun 2014, misalnya saat masih sebagai pengusaha. Yahya Fuad yang pemilik PT Tradha Grup, pernah menyetorkan uang Rp 1,5 miliar kepada Fraksi PKB DPR RI. Uang itu diberikan kepada tenaga ahli DPR RI bernama Cahyono.
"Saya ketemu Cahyono salah satu tenaga ahli di DPR RI. Setahu saya dari Fraksi PKB. Lalu kami dipertemukan dengan pejabat dengan Departemen Keuangan (Depkeu) di Hotel Le Meridien Jakarta. Diberi tahu akan ada dana turun dari pusat. Kami diminta Rp 1,5 miliar," ujar Yahya Fuad menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Joko Hermawan.
Proyek pusat senilai Rp 40 miliar itu kemudian dapat direalisasikan pada DAK APBD Murni 2016. Selain dirinya, kata Yahya, rintisan juga dilakukan pengusaha Khayub M Lutfi, sehingga total anggaran pusat yang turun pada APBD Murni 2016 senilai Rp 109 miliar.
Dalam perjalanannya, Yahya Fuad dan Khayub M Lutfi maju dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Kebumen 2015. Dan, Yahya Fuad, terpilih. Oleh sebab itu, Yahya Fuad memilih "melepas" proyek tersebut yang kemudian "diambil" Hojin Ansori. Sebagai kesepakatan, Hojin mengganti uang yang sudah telanjur dikeluarkan PT Tradha milik Mohammad Yahya Fuad.
Nah, pada Desember 2015, Hojin mengganti uang Rp 3,030 miliar sebagai ganti rintisan proyek. Uang itu lalu masuk rekening PT Tradha. "Setahu saya, saat itu saya masih pengusaha karena belum dilantik," ujar Yahya Fuad yang kemudian mengaku bersalah dan menangis itu.
Bupati Kebumen periode 2016-2021 yang dilantik pada 17 Februari 2016 itu kembali berurusan dengan pejabat dari pusat. Kali ini dengan Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniawan.
Berawal dari kerusakan jalan di Kebumen yang parah, Yahya Fuad lantas berupaya mencari bantuan kepada pemerintah pusat dalam hal ini melalui Kementerian Pekerjaan Umum. Selain itu, Yahya Fuad meminta bantuan para anggota DPR RI di Daerah Pemilihan (Dapil) VII Jawa Tengah (Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga).
Seperti Taufik R Abdullah (PKB), Romahurmuzy (PPP), Bambang Soesatyo (Golkar), Amelia Anggraeni (Nasdem), Taufik Kurniawan (PAN) Darori Wonodipuro (Gerindra) dan Utut Adianto (PDI Perjuangan).
Dari 7 anggota DPR RI itu, hanya Taufik Kurniawan yang menawarkan ada anggaran Rp 100 miliar untuk perbaikan jalan pada yang rencananya akan turun pada APBD Perubahan 2016.
"Saat itu, pak Taufik Kurniawan menawarkan bila bersedia ada dana dana proyek jalan DAK Perubahan senilai Rp 100 miliar. Namun dikatakannya, tidak gratis karena ada bagian untuk kawan-kawannya,”kata Yahya Fuad, menirukan omongan yang disampaikan Taufik.
Yahya Fuad tidak langsung menjawab. Namun Taufik menyebutkan bila Kebumen tak mau menerima, akan dialihkan ke daerah lain. Kendati merasa bersalah, Yahya Fuad akhirnya menyanggupi.
Dalam upaya merealisasikannya, Yahya Fuad lantas menunjuk Hojin Ansori yang mantan tim suksesnya pada Pilkada untuk mengumpulkan fee dari para pengusaha jasa konstruksi di Kebumen.
Belakangan terungkap, para kontraktor ditarik fee 7 persen. Rinciannya, 5 persen untuk merintis anggaran dari pemerintah pusat, 2 persen untuk bina lingkungan (bilung).
Terungkap pula, Pemkab Kebumen membuat proposal kepada Kementerian Umum untuk dana perbaikan jalan ini. Nilai anggarannya disesuaikan dengan Rp 100 miliar yang ditawarkan Taufik Kurniawan. Proposal itu sempat ditunjukkan JPU KPK dan menjadi salah satu alat bukti.
Persoalan kemudian muncul karena pengusaha Khayub M Lutfi yang rival Mohammad Yahya Fuad tidak mendapat pekerjaan. Seiring dengan itu, terjadi keributan antara Hojin dan Khayub. Hingga kemudian, atas inisiatif Adi Pandoyo, mereka dipertemukan. Adi Pandoyo juga mempertemukan Mohammad Yahya Fuad dengan Khayub.
Pertemuan ini, menurut Yahya Fuad, tidak digelar di Hotel Ambarukmo Jogjakarta melainkan di pendopo Bupati. Dalam pertemuan itu, Yahya Fuad mengaku menawarkan apakah dana itu akan diambil atau tidak dan meminta Khayub membantu.
Khayub menyanggupi. Kemudian anggaran Rp 100 miliar itu dan dibagi menjadi tiga. Yakni Khayub M Lutfi 30 miliar, Hojin Ansori dan Muji Hartono alias Ebung masing-masing 15 miliar, sisanya untuk PT Tradha dan pihak lain.
Sebagai tindak lanjutnya, Yahya memberikan uang tunai sebanyak dua kali ke Taufik lewat anak buahnya bernama Antok di Hotel Gumaya, Semarang. Pemberian dilakukan dalam tiga termin. "Pertama 1/3 atau sekitar Rp 1,7 miliar. Seminggu kemudian minta lagi Rp 1,5 miliar. Lewat Pak Sekda, Adi Pandoyo uang diberikan ke Gumaya lewat orang suruhan Pak Taufik. Kami sudah komunikasi dengan Pak Taufik. Nama, tempat, nomor telepon. Orangnya namanya Antok. Setelah itu (terima uang) dia telepon saya. Uang sudah sampai,," kata Yahya di hadapan majelis hakim yang dipimpin Sulistiyono.
Termin ketiga, lanjutnya, sekitar Rp 1,480 miliar gagal diberikan ke Taufik karena kemudian dilakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK atas kasus itu. Disebutkannya, saat itu yang memberi tahu nomor dan kamar hotel ke Sekda atas informasi dari Taufik sendiri. “Kemudian dana DAK turun antara Rp 94 sampai Rp 96 miliar dari Rp 100 miliar yang dijanjikan," sebutnya.
Yahya Fuad juga mengakui, para kontraktor yang membayar fee akhirnya mendapat pekerjaan alias proyek. Namun demikian, Yahya saat dikejar JPU, menolak ada pengondisian dalam proses lelang.
Sebelumnya, Yahya mengakui Taufik Kurniawan menerima total Rp 3,7 miliar dari Rp 5 miliar yang dijanjikannnya ke politikus PAN itu. "Saya akui saat itu saya salah.Saya menyesal. Karena dalam pemikiran kami, yang penting dana bisa turun karena Kebumen sangat membutuhkan. Dana pusat itu untuk pembangunan di Kebumen," ujarnya sembari menahan air mata.
Terkait bilung yang sebesar 2 persen dari fee proyek, Yahya Fuad mengaku mengalir kepada LSM dan unsur Muspida dan Pemprov Jawa Tengah. Yahya juga mengamini, bilung mengalir kepada Polres, Kejaksaan Negeri, Kodim danpihak lain. Hal itu sesuai laporan Barli Halim yang mantan Timses Yahya Fuad pada Pilkada lalu.
Dalam laporan itu, Barli Halim menggunakan istilah-istilah seperti Kembaran (Polres Kebumen), SDA (Kejaksaan Negeri Kebumen), apotik (Sekda) ada juga istilah "Hotel Mexolie" yang tidak dijelaskan secara rinci dalam persidangan kemarin. Khususnya kepada aparat hukum, Yahya Fuad, mengakui biar tidak diproses hukum.
Yahya Fuad juga mengakui ada juga aliran uang kepada Wakil Bupati untuk uang muka Mobil Rp 275 juta. "Itu berdasarkan laporan Barli Halim," ujar Yahya Fuad yang mengaku sempat marah kepada Barli yang bertindak sendiri padahal sudah dilarang.
Terkait dana untuk mobil Wabup, Yahya Fuad, dana tak hanya diberikan oleh Barli Halim. Namun, juga Hojin Ansori. Bila Barli untuk uang muka, Hojin Ansori sebagai dana talangan karena saat itu Wabup tidak bisa mengangsur.
Persidangan yang dipimpin Ketua Sulistyono kemarin juga menghadirkan saksi ahli. Dalam kesempatan itu, Hojin Ansori juga dimintai keterangan untuk perkara Mohammad Yahya Fuad.
Menanggapi sejumlah orang yang disebut terlibat baik oknum Wakil DPR RI aktif, kemudian oknum Kapolres dan oknum Kajari di Kebumen yang menjabat saat itu,Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan tidak semua yang disebutkan dalam pemeriksaan di persidangan terlibat, karena menurutnya semua tergantung adanya 2 alat bukti.
Ia juga mencontohkan, dalam kasus Gayus Tambunan, sejumlah pihak disebut, namun tergantung 2 alat buktinya ada atau tidak.Selain itu, lanjut Marwata, antara KPK,
Kepolisian dan Kejaksaan sudah ada kordinasi dan supervisi, sehingga apabila ada oknum anggota masing-masing yang terlibat tindak pidana, melalui pimpinannya dikabari agar bisa diproses, namun apabila tidak diselesaikan juga, disitulah pihaknya akan melakukan penindakan.
“Tapi kebanyakan begitu sudah dilaporkan ada tindakan pimpinan, seperti kasus Cicak vs Buaya, yang menjerat Susno Duaji. Yang jelas semua kami sikapi, jadi harus dibedakan supervisi dan kordinasi,”jawab Marwata saat ditanya salah satu peserta dalam Kuliah Umum bertemakan “pencegahan korupsi korporasi”, yang diadakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unika Soegijapranta, Rabu kemarin.
Seperti diketahui, KPK mendakwa Mohammad Yahya Fuad, menerima uang Rp 3,03 miliar dari pengusaha Hojin Ansori dan sejumlah uang lain dari para kontraktor di Kebumen. Total yang didakwakan KPK sejumlah Rp 12 miliar lebih. Uang itu sebagai fee agar para pengusaha mendapatkan proyek di lingkungan Pemkab Kebumen pada APBD dan APBD P 2016.
KPK mendakwa Yahya Fuad, Bupati Kebumen periode 2016-2021, membagi-bagikan proyek kepada timsesnya seperti Hojin Ansori, Barli Halim, Muji Hartono alias Ebung, Zaeni Miftah, Arif Budiman dan sejumalah nama lain.
Sebagian besar dari mantan timses itu lalu mengumpulkan fee untuk merintis proyek dari Pemprov Jawa Tengah dan Pusat. Termasuk, dari Khayub M Lutfi lewat Sekda Adi Pandoyo. Poyek-proyek itu bersumber APBD, APBD I dan APBN. Dalam proses pengerjaannya, perusahaan milik Mohammad Yahya Fuad, PT Tradha turut mengerjakan proyek tersebut namun menggunakan bendera perusahaan lain. KPK juga mendalami adanya pengaturan pada proses lelang di Kebumen terkait hal ini. (jks/cah)