JAKARTA – Kota-kota di indonesia perlu segera menyusun rencana tata ruang berbasis penanggulangan bencana. Baik itu bencana geologis, maupun hidrometerologis.
Ada beberapa infrastruktur yang wajib dimiliki oleh kota ataupun pemukiman yang siap menghadapi bencana. Sekretaris Ditjen (Sesditjen) Cipta Karya Kementerian PUPR Rina Agustin menyebut prinsip pertama adalah bangunan-bangunan di kota tersebut semua dibangun dengan struktur tahan gempa.
Kemudian, ada dukungan infrastruktur untuk antisipasi kebencanaan. Misalnya di pantai, ada tempat penyelamatan dan evakuasi sementara. Kemudian sebuah kota harus memiliki shelter-shelter yang sudah disiapkan sebelumnya. “Jadi ketika terjadi bencana, kita sudah langsung punya tempat pengungsian yang ada airnya, ada listriknya, dan ada WC nya,” kata Rina kemarin (27/9/2018).
Sistem distribusi aliran listrik dan air juga harus diperhatikan. Saat terjadi gempa NTB, seluruh salurah listrik padam, jaringan distribusi air pun lumpuh. Di luar negeri, kata Rina, selalu dibangun 2 macam jaringan air bersih. Satu utama, satu cadangan. “Saat kondisi bencana yang utama rusak, yang satunya tetap berfungsi,” jelasnya.
Hal-hal semacam ini kata Rina harus sudah masuk dalam perencanaan tata ruang kota maupun wilayah. Namun kebijakan anggaran yang ada saat ini agak menyulitkan. PUPR baru bisa membangun infrastruktur yang bisa langsung segera digunakan. Bukan yang “sewaktu-waktu” siap digunakan. “Kalau dibangun terus nggak kepake kan kesannya gimana, padahal bencana bisa terjadi kapan saja,” jelasnya.
Untuk itu, kata Rina sedang disiapkan pembahasan payung hukum aturan yang membolehkan pembangunan infrastruktur semacam ini. “Ada arah kesitu,” kata Rina.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga ikut membahas terkait kota dan ancaman gempa bumi. Secara khusus BPPT kemarin (27/9) menggelar diskusi yang mengusung isu kesiapan kota-kota besar di Indonesia dalam menghadapi ancaman gempa bumi.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya ALam (TPSA) BPPT Hammam Riza mengatakan hampir semua kota besar Indonesia merupakan daerah dengan potensi gempa. Mulai dari Aceh, Medan, Padang, Bengkulu, sampai Bandar Lampung. Kemudian Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang, Denpasar, dan Mataram. Kemudian Manado, Gorontalo, Sorong, Manokwari, dan Jayapura.
’’Di kurun 2005-2015 terjadi 15.458 bencana di Indonesia. diamana 3.810 diantaranya adalah bencana geologi,’’ kata Hammam. Dia menjelaskan gempa bumi merupakan salah satu jenis bencana alam geologi.
Menurut dia pemerintah memiliki target mengurangi resiko bencana yang timbul. Pada 2013 lalu indeks resiko bencana Indonesia ada di angka 156,3 poin. Target pemerintah di 2019 nanti, indeks resiko bencana turun menjadi 132,9 poin.
Upaya penurunan itu diantaranya dilakukan dengan mitigasi bencana. Contohnya untuk bencana gempa bumi, perlu ada upaya mitigasi dengan membangun gedung tahan gempa. Kemudian gedung-gedung yang sudah berdiri, secara berkala perlu dicek kesehatan konstruksinya.
Seperti diketahui gempa bumi menjadi salah satu bencana yang mematikan. Korban jiwa yang muncul akibat bencana ini bukan karena gempa buminya. Tetapi karena tertipa bangunan yang roboh.
Hammam mengatakan BPPT sudah memiliki sejumlah teknologi yang bisa digunakan untuk mitigasi bencana gempa bumi. Diantaranya adalah teknologi Sijagat. Melalui teknologi ini, kajian keandalan gendung bertingkat menghadapi potensi gempa bumi bisa dilakukan.
’’Teknologi Sijagat digunakan untuk mengukur keandalan sebuah gedung terhadap ancaman gempa bumi,’’ jelasnya. Selain mengukur, teknologi ini juga bisa memberikan rekomendasi teknis.
Kemudian juga ada teknologi Sikuat. Teknologi ini bisa digunakan untuk memonitoring kondisi gedung bertingkat. Apakah kondisi konstruksinya masih sehat atau tidak untuk menghadapi ancaman gempa bumi. Hammam mengatakan teknologi Sikuat diujicoba untuk mengukur kesehatan dua gedung BPPT di Jakarta Pusat. (tau/wan)
Ada beberapa infrastruktur yang wajib dimiliki oleh kota ataupun pemukiman yang siap menghadapi bencana. Sekretaris Ditjen (Sesditjen) Cipta Karya Kementerian PUPR Rina Agustin menyebut prinsip pertama adalah bangunan-bangunan di kota tersebut semua dibangun dengan struktur tahan gempa.
Kemudian, ada dukungan infrastruktur untuk antisipasi kebencanaan. Misalnya di pantai, ada tempat penyelamatan dan evakuasi sementara. Kemudian sebuah kota harus memiliki shelter-shelter yang sudah disiapkan sebelumnya. “Jadi ketika terjadi bencana, kita sudah langsung punya tempat pengungsian yang ada airnya, ada listriknya, dan ada WC nya,” kata Rina kemarin (27/9/2018).
Sistem distribusi aliran listrik dan air juga harus diperhatikan. Saat terjadi gempa NTB, seluruh salurah listrik padam, jaringan distribusi air pun lumpuh. Di luar negeri, kata Rina, selalu dibangun 2 macam jaringan air bersih. Satu utama, satu cadangan. “Saat kondisi bencana yang utama rusak, yang satunya tetap berfungsi,” jelasnya.
Hal-hal semacam ini kata Rina harus sudah masuk dalam perencanaan tata ruang kota maupun wilayah. Namun kebijakan anggaran yang ada saat ini agak menyulitkan. PUPR baru bisa membangun infrastruktur yang bisa langsung segera digunakan. Bukan yang “sewaktu-waktu” siap digunakan. “Kalau dibangun terus nggak kepake kan kesannya gimana, padahal bencana bisa terjadi kapan saja,” jelasnya.
Untuk itu, kata Rina sedang disiapkan pembahasan payung hukum aturan yang membolehkan pembangunan infrastruktur semacam ini. “Ada arah kesitu,” kata Rina.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga ikut membahas terkait kota dan ancaman gempa bumi. Secara khusus BPPT kemarin (27/9) menggelar diskusi yang mengusung isu kesiapan kota-kota besar di Indonesia dalam menghadapi ancaman gempa bumi.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya ALam (TPSA) BPPT Hammam Riza mengatakan hampir semua kota besar Indonesia merupakan daerah dengan potensi gempa. Mulai dari Aceh, Medan, Padang, Bengkulu, sampai Bandar Lampung. Kemudian Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang, Denpasar, dan Mataram. Kemudian Manado, Gorontalo, Sorong, Manokwari, dan Jayapura.
’’Di kurun 2005-2015 terjadi 15.458 bencana di Indonesia. diamana 3.810 diantaranya adalah bencana geologi,’’ kata Hammam. Dia menjelaskan gempa bumi merupakan salah satu jenis bencana alam geologi.
Menurut dia pemerintah memiliki target mengurangi resiko bencana yang timbul. Pada 2013 lalu indeks resiko bencana Indonesia ada di angka 156,3 poin. Target pemerintah di 2019 nanti, indeks resiko bencana turun menjadi 132,9 poin.
Upaya penurunan itu diantaranya dilakukan dengan mitigasi bencana. Contohnya untuk bencana gempa bumi, perlu ada upaya mitigasi dengan membangun gedung tahan gempa. Kemudian gedung-gedung yang sudah berdiri, secara berkala perlu dicek kesehatan konstruksinya.
Seperti diketahui gempa bumi menjadi salah satu bencana yang mematikan. Korban jiwa yang muncul akibat bencana ini bukan karena gempa buminya. Tetapi karena tertipa bangunan yang roboh.
Hammam mengatakan BPPT sudah memiliki sejumlah teknologi yang bisa digunakan untuk mitigasi bencana gempa bumi. Diantaranya adalah teknologi Sijagat. Melalui teknologi ini, kajian keandalan gendung bertingkat menghadapi potensi gempa bumi bisa dilakukan.
’’Teknologi Sijagat digunakan untuk mengukur keandalan sebuah gedung terhadap ancaman gempa bumi,’’ jelasnya. Selain mengukur, teknologi ini juga bisa memberikan rekomendasi teknis.
Kemudian juga ada teknologi Sikuat. Teknologi ini bisa digunakan untuk memonitoring kondisi gedung bertingkat. Apakah kondisi konstruksinya masih sehat atau tidak untuk menghadapi ancaman gempa bumi. Hammam mengatakan teknologi Sikuat diujicoba untuk mengukur kesehatan dua gedung BPPT di Jakarta Pusat. (tau/wan)