JAKARTA - Bantahan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung di hadapan majelis hakim sia-sia. Sebab, Syafruddin tetap divonis bersalah atas kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Putusan itu dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin (24/9/2018).
Syafruddin pun dijatuhi hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta subsider tiga bulan kurungan. Hakim memvonis Syafruddin merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun atas perbuatannya. Kerugian itu lebih besar ketimbang proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sebesar Rp 2,3 triliun.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama seperti dakwaan alternatif pertama," kata ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Yanto dalam amar putusannya. Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) : 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Dalam putusan kemarin, hakim menilai Syafruddin mengabaikan program pemerintah yang sedang gencar memberantas korupsi. Selain itu, Syafruddin juga tidak mau mengakui perbuatannya. Dua hal tersebut menjadi pertimbangan memberatkan putusan hakim. "Hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan dan belum pernah dihukum," ujar hakim anggota Anwar.
Sebelumnya, Syafruddin dituntut mengeluarkan SKL kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor BLBI. Saat krisis moneter tahun 1998, BDNI yang dikuasai Sjamsul Nursalim merupakan salah satu bank yang dianggap tidak sehat. BDNI kemudian mendapat guyuran dana dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) melalui pola perjanjian master settlement aqcuisition agreement (MSAA).
Hakim menilai Syafruddin mengetahui dan menyadari bahwa belum ada persetujuan Presiden terkait usulan penghapusbukuan utang petambak Dipasena. Namun, Syafruddin tetap menyatakan bahwa usulan penghapusan atas porsi utang unsustainable petambak plasma Rp 2,8 triliun tersebut telah disetujui Presiden pada sidang kabinet terbatas pada 11 Februari 2004.
"Maka dapat disimpulkan perbuatan terdakwa sebagai Ketua BPPN yang telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL, sehingga hak tagih kepada Sjamsul Nursalim menjadi hilang sehingga kami berkesimpulan unsur secara melawan hukum telah terpenuhi dan dapat dibuktikan," beber hakim anggota Diah Siti Basariah.
Atas vonis tersebut, Syafruddin langsung menyatakan banding. Sedangkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyatakan pikir-pikir. Syafruddin tetap menilai kasusnya tidak bisa dibawa ke ranah pidana tindak pidana korupsi (tipikor). Melainkan ranah hukum perdata.
Sebab, menurut dia, perjanjian MSAA BDNI adalah perjanjian perdata yang dibuat pemerintah dengan pemegang pengendali saham BDNI Sjamsul Nursalim. Dia juga menyatakan kewajiban utang BDNI telah selesai pada 1999 lalu. Sementara dirinya baru menjabat ketua BPPN pada 2002. Sehingga, dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK tidak bisa membuktikan bahwa dirinya melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara atas penerbitan SKL pada 2004 silam. (tyo)
Syafruddin pun dijatuhi hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta subsider tiga bulan kurungan. Hakim memvonis Syafruddin merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun atas perbuatannya. Kerugian itu lebih besar ketimbang proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sebesar Rp 2,3 triliun.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama seperti dakwaan alternatif pertama," kata ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Yanto dalam amar putusannya. Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) : 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Dalam putusan kemarin, hakim menilai Syafruddin mengabaikan program pemerintah yang sedang gencar memberantas korupsi. Selain itu, Syafruddin juga tidak mau mengakui perbuatannya. Dua hal tersebut menjadi pertimbangan memberatkan putusan hakim. "Hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan dan belum pernah dihukum," ujar hakim anggota Anwar.
Sebelumnya, Syafruddin dituntut mengeluarkan SKL kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor BLBI. Saat krisis moneter tahun 1998, BDNI yang dikuasai Sjamsul Nursalim merupakan salah satu bank yang dianggap tidak sehat. BDNI kemudian mendapat guyuran dana dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) melalui pola perjanjian master settlement aqcuisition agreement (MSAA).
Hakim menilai Syafruddin mengetahui dan menyadari bahwa belum ada persetujuan Presiden terkait usulan penghapusbukuan utang petambak Dipasena. Namun, Syafruddin tetap menyatakan bahwa usulan penghapusan atas porsi utang unsustainable petambak plasma Rp 2,8 triliun tersebut telah disetujui Presiden pada sidang kabinet terbatas pada 11 Februari 2004.
"Maka dapat disimpulkan perbuatan terdakwa sebagai Ketua BPPN yang telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL, sehingga hak tagih kepada Sjamsul Nursalim menjadi hilang sehingga kami berkesimpulan unsur secara melawan hukum telah terpenuhi dan dapat dibuktikan," beber hakim anggota Diah Siti Basariah.
Atas vonis tersebut, Syafruddin langsung menyatakan banding. Sedangkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyatakan pikir-pikir. Syafruddin tetap menilai kasusnya tidak bisa dibawa ke ranah pidana tindak pidana korupsi (tipikor). Melainkan ranah hukum perdata.
Sebab, menurut dia, perjanjian MSAA BDNI adalah perjanjian perdata yang dibuat pemerintah dengan pemegang pengendali saham BDNI Sjamsul Nursalim. Dia juga menyatakan kewajiban utang BDNI telah selesai pada 1999 lalu. Sementara dirinya baru menjabat ketua BPPN pada 2002. Sehingga, dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK tidak bisa membuktikan bahwa dirinya melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara atas penerbitan SKL pada 2004 silam. (tyo)