BADUNG - International Monetery Fund (IMF) dalam World Economic Outlook memangkas pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen. Beberapa faktor masih membayangi kondisi ekonomi global sehingga realisasi pertumbuhan ekonomi dunia berada diangka yang sama dengan tahun lalu.
Economic Counsellor and Director of the Research Department IMF Maurice Obstfeld mengatakan kebijakan perang dagang yang diinisiasi oleh AS - Tiongkok telah merugikan perdagangan global. Sehingga, pertumbuhan ekonomi kedua negara tahun depan pun diproyeksikan menurun lantaran perang tarif. "Secara keseluruhan dibandingkan dengan 6 bulan lalu, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2018 -2019 di negara maju lebih rendah 0,1 persen. Termasuk penurunan di kawasan Eropa, Inggris dan Korea" urainya kemarin (9/10).
Sedangkan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang terpangkas lebih dalam sebesar 0,2 hingga 0,4 persen. Koreksi tersebut tersebar secara geografis dan mencakup beberapa negara seperti Argentina, Brazil, Mexico, Turki dan India. Kemudian di kawasan Asia Tenggara yakni Indonesia, Malaysia dan Filipina lalu Iran di Timur Tengah dan Afrika Selatan. Meskipun begitu, negara eksportir minyak yakni Nigeria, Kazakhstan, Rusia dan Arab Saudi akan mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia.
IMF pun memproyeksikan akan ada perlambatan investasi di sektor manufaktur lantaran melemahnya sektor perdagangan yang diperkirakan hanya tumbuh 4,2 persen. Angka ini turun dari proyeksi pertumbuhan sektor perdagangan pada Juli lalu sebesar 4,8 persen. IMF turut memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan 5,3 persen pada April lalu menjadi 5,1 persen.
"Indonesia memiliki success story meskipun kita menurunkan proyeksi karena tight monetery policy, harga minyak dan perang dagang AS - Tiongkok. Tetapi kami lihat pertumbuhan masih fairly strong dan ada opportunity untuk pemerintah membawa level Indonesia lebih konsisten karena adanya pertumbuhan penduduk," terang Maurice. Dia menambahkan, Indonesia akan mendapatkan banyak pemasukan melalui investasi di sektor pendidikan, infrastruktur dan sosial.
"Ini akan menguntungkan banyak pihak. Kami ingin Indonesia melihat hal itu untuk menaikkan human capital," imbuhnya. Menurutnya, proyek infrastruktur juga menjadi penarik aliran dana asing masuk Indonesia apalagi pemerintah terus melakukan pembenahan regulasi. Pada 2019, IMF juga memperkirakan perekonomian Indonesia tetap tumbuh sekitar 5,1 persen dengan proyeksi defisit transaksi berjalan sebesar 2,4 persen terhadap PDB dan inflasi sebesar 3,8 persen.
Dunia memang tengah menuju satu titik keseimbangan baru. Hal itu terlihat dari tren kenaikan suku bunga acuan di negara maju, seperti AS. Kenaikan suku bunga acuan ini disebabkan normalisasi kebijakan ekonomi, dari pemberian suntikan likuiditas dan suku bunga murah menjadi normal. Artinya, kebijakan moneter mengarah pada pengetatan yang berakibat pada kenaikan suku bunga acuan.
Akibatnya, suku bunga acuan di negara maju naik sehingga uang panas yang diinvestasikan ke negara-negara berkembang kembali ke negara-negara maju tersebut. Untuk mengimbangi dana-dana asing yang keluar, suku bunga di negara-negara maju seperti Indonesia harus disesuaikan. Tujuannya, agar yield surat utang naik sehingga dana-dana tersebut kembali masuk. Di satu sisi, hal itu baik untuk menambah likuiditas dan membiayai defisit transaksi berjalan.
Namun, suku bunga yang merangkak naik dapat menghambat pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi. Hal itu juga akan memberi tekanan pada nilai tukar dan investasi “Kalau dengan interest rate BI (Bank Indonesia) merespons, pasti kita melihat ada pengaruhnya terhadap investasi dan exchange rate,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Menurut perempuan yang kerap disapa Ani itu, Indonesia perlu menekan defisit transaksi berjalan yang pada kuartal II lalu sudah menembus 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Indonesia juga perlu memperbanyak investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) agar perekonomian semakin kuat di tengah tekanan global. Saat ini, pemerintah fokus pada stabilitas ekonomi, namun tetap memanfaatkan momentum untuk meningkatkan pertumbuhan.
“Kami harap impor turun dan ekspornya membaik,” ujarnya.
Sebelumnya, kebijakan ekonomi Indonesia cenderung pro pertumbuhan. Sebab, Bank Indonesia (BI) terus menurunkan suku bunga acuan sejak tahun 2014. Kala itu, ekonomi Indonesia masih kuat untuk memberikan kebijakan bunga murah. Pada saat awal menjabat sebagai presiden, Joko Widodo pun sempat sangat optimistis dengan target pertumbuhan ekonomi 7 persen. Sayang, sentimen eksternal masih lebih banyak memengaruhi ekonomi karena Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan. Ekonomi Indonesia pun baru bisa tumbuh 4-5 persen sejak saat itu sampai sekarang.
Sementara itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berniat untuk menawarkan 80 proyek yang berasal dari 23 BUMN senilai USD 42 miliar atau Rp 625,8 triliun (kurs Rp 14.900,00) kepada investor. Sebanyak 23 proyek rencananya akan mendapatkan komitmen kerjasama dengan investor asing senilai Rp 200 triliun. Hal ini dilakukan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih cepat naik.
Menteri BUMN Rini M. Soermarno mengatakan pelemahan Rupiah justru membuat potensi invetasi di Indonesia semakin menarik terutama untuk investor asing. Sebab, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di atas 5 persen membuat return of invesment proyek-proyek di dalam negeri menjadi cukup tinggi. "Kalau kita lihat 5 tahun dari sekarang bukan hanya return of investment-nya saja tetapi return foreign exchange-nya itu juga menarik," ujarnya kemarin (9/10).
Salah satu proyek yang ditawarkan oleh pemerintah adalah kerjasama antara PT Pertamina (Persero) dengan CPC Corporation, Taiwan untuk pengembangan produk petrokimia seperti nafta. CPC Corporation adalah BUMN energi asal Taiwan yang mensuplai produk petrokimia maupun gas alam. Kerjasama ini baru mencakup framework agreement senilai USD 6,5 miliar atau sekitar Rp 96,85 triliun (kurs Rp 14.900,00). "Mereka mau direct investment. Itu memang penting karena bisa bagi risk, risk profilnya lebih baik," imbuhnya.
Pertamina juga menjajaki kerjasama dengan Italy's National Energy Company (ENI) untuk pembangunan kilang bahan bakar nabati (BBN). "Kita sudah melihat refinery di Italia yang dioperasikan oleh ENI untuk crude oil refinery-nya cukup tua mereka bangun tahun 1935 sehingga menjadi kurang efisien dan akhirnya mereka konversi di 2012 dan mulai 2015 sudah memproduksi B100 dengan raw material minyak kelapa sawit dari Indonesia," urainya. Pertamina dan ENI pun melakukan kajian guna mengkonversi kilang Plaju dan Dumai menjadi pengolahan B100.
"Itu juga dibangun sejak tahun 1930-an oleh Belanda, kita sudah memikirkan untuk memperbaiki refinery itu lebih modern tetapi setelah mengetahui bisa dikonversi menjadi B100 kemungkinan besar dua tempat ini dikonversi dengan bahan baku minyak kelapa sawit," terang Rini. Berbagai bentuk investasi pun dikembangkan oleh pemerintah guna menarik investor asing terutama untuk proyek brownfield atau matang.
Seperti proyek pembangunan jalan tol, pemerintah mengundang investor masuk melalui mekanisme sekuritisasi ataupun RDPT. PT Angkasa Pura II (Persero) juga tengah mencari mitra strategis untuk pengelolaan bandara internasional Kualanamu, Medan. "Kita tetap menjadi operator bandara, mengelola bersama airport yang sudah eksisting brownfield. Dia harus berkomitmen investasi dengan nilai yang ditentukan masa periodenya konsensi kita yang didapat dari pemerintah," ujar Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero) Muhammad Awaluddin.
Hal ini guna ekspansi trafik terutama peningkatan trafik internasional yang kini baru 10 persen dari total penumpang sebesar 11 juta pada 2018. Ditargetkan menjadi 35 sampai 40 persen lantaran lokasi strategis Kualanamu yang dekat dengan Bandara Changi, Singapura, Kuala Lumpur dan Thailand. (vir/rin)
Economic Counsellor and Director of the Research Department IMF Maurice Obstfeld mengatakan kebijakan perang dagang yang diinisiasi oleh AS - Tiongkok telah merugikan perdagangan global. Sehingga, pertumbuhan ekonomi kedua negara tahun depan pun diproyeksikan menurun lantaran perang tarif. "Secara keseluruhan dibandingkan dengan 6 bulan lalu, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2018 -2019 di negara maju lebih rendah 0,1 persen. Termasuk penurunan di kawasan Eropa, Inggris dan Korea" urainya kemarin (9/10).
Sedangkan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang terpangkas lebih dalam sebesar 0,2 hingga 0,4 persen. Koreksi tersebut tersebar secara geografis dan mencakup beberapa negara seperti Argentina, Brazil, Mexico, Turki dan India. Kemudian di kawasan Asia Tenggara yakni Indonesia, Malaysia dan Filipina lalu Iran di Timur Tengah dan Afrika Selatan. Meskipun begitu, negara eksportir minyak yakni Nigeria, Kazakhstan, Rusia dan Arab Saudi akan mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia.
IMF pun memproyeksikan akan ada perlambatan investasi di sektor manufaktur lantaran melemahnya sektor perdagangan yang diperkirakan hanya tumbuh 4,2 persen. Angka ini turun dari proyeksi pertumbuhan sektor perdagangan pada Juli lalu sebesar 4,8 persen. IMF turut memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan 5,3 persen pada April lalu menjadi 5,1 persen.
"Indonesia memiliki success story meskipun kita menurunkan proyeksi karena tight monetery policy, harga minyak dan perang dagang AS - Tiongkok. Tetapi kami lihat pertumbuhan masih fairly strong dan ada opportunity untuk pemerintah membawa level Indonesia lebih konsisten karena adanya pertumbuhan penduduk," terang Maurice. Dia menambahkan, Indonesia akan mendapatkan banyak pemasukan melalui investasi di sektor pendidikan, infrastruktur dan sosial.
"Ini akan menguntungkan banyak pihak. Kami ingin Indonesia melihat hal itu untuk menaikkan human capital," imbuhnya. Menurutnya, proyek infrastruktur juga menjadi penarik aliran dana asing masuk Indonesia apalagi pemerintah terus melakukan pembenahan regulasi. Pada 2019, IMF juga memperkirakan perekonomian Indonesia tetap tumbuh sekitar 5,1 persen dengan proyeksi defisit transaksi berjalan sebesar 2,4 persen terhadap PDB dan inflasi sebesar 3,8 persen.
Dunia memang tengah menuju satu titik keseimbangan baru. Hal itu terlihat dari tren kenaikan suku bunga acuan di negara maju, seperti AS. Kenaikan suku bunga acuan ini disebabkan normalisasi kebijakan ekonomi, dari pemberian suntikan likuiditas dan suku bunga murah menjadi normal. Artinya, kebijakan moneter mengarah pada pengetatan yang berakibat pada kenaikan suku bunga acuan.
Akibatnya, suku bunga acuan di negara maju naik sehingga uang panas yang diinvestasikan ke negara-negara berkembang kembali ke negara-negara maju tersebut. Untuk mengimbangi dana-dana asing yang keluar, suku bunga di negara-negara maju seperti Indonesia harus disesuaikan. Tujuannya, agar yield surat utang naik sehingga dana-dana tersebut kembali masuk. Di satu sisi, hal itu baik untuk menambah likuiditas dan membiayai defisit transaksi berjalan.
Namun, suku bunga yang merangkak naik dapat menghambat pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi. Hal itu juga akan memberi tekanan pada nilai tukar dan investasi “Kalau dengan interest rate BI (Bank Indonesia) merespons, pasti kita melihat ada pengaruhnya terhadap investasi dan exchange rate,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Menurut perempuan yang kerap disapa Ani itu, Indonesia perlu menekan defisit transaksi berjalan yang pada kuartal II lalu sudah menembus 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Indonesia juga perlu memperbanyak investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) agar perekonomian semakin kuat di tengah tekanan global. Saat ini, pemerintah fokus pada stabilitas ekonomi, namun tetap memanfaatkan momentum untuk meningkatkan pertumbuhan.
“Kami harap impor turun dan ekspornya membaik,” ujarnya.
Sebelumnya, kebijakan ekonomi Indonesia cenderung pro pertumbuhan. Sebab, Bank Indonesia (BI) terus menurunkan suku bunga acuan sejak tahun 2014. Kala itu, ekonomi Indonesia masih kuat untuk memberikan kebijakan bunga murah. Pada saat awal menjabat sebagai presiden, Joko Widodo pun sempat sangat optimistis dengan target pertumbuhan ekonomi 7 persen. Sayang, sentimen eksternal masih lebih banyak memengaruhi ekonomi karena Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan. Ekonomi Indonesia pun baru bisa tumbuh 4-5 persen sejak saat itu sampai sekarang.
Sementara itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berniat untuk menawarkan 80 proyek yang berasal dari 23 BUMN senilai USD 42 miliar atau Rp 625,8 triliun (kurs Rp 14.900,00) kepada investor. Sebanyak 23 proyek rencananya akan mendapatkan komitmen kerjasama dengan investor asing senilai Rp 200 triliun. Hal ini dilakukan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih cepat naik.
Menteri BUMN Rini M. Soermarno mengatakan pelemahan Rupiah justru membuat potensi invetasi di Indonesia semakin menarik terutama untuk investor asing. Sebab, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di atas 5 persen membuat return of invesment proyek-proyek di dalam negeri menjadi cukup tinggi. "Kalau kita lihat 5 tahun dari sekarang bukan hanya return of investment-nya saja tetapi return foreign exchange-nya itu juga menarik," ujarnya kemarin (9/10).
Salah satu proyek yang ditawarkan oleh pemerintah adalah kerjasama antara PT Pertamina (Persero) dengan CPC Corporation, Taiwan untuk pengembangan produk petrokimia seperti nafta. CPC Corporation adalah BUMN energi asal Taiwan yang mensuplai produk petrokimia maupun gas alam. Kerjasama ini baru mencakup framework agreement senilai USD 6,5 miliar atau sekitar Rp 96,85 triliun (kurs Rp 14.900,00). "Mereka mau direct investment. Itu memang penting karena bisa bagi risk, risk profilnya lebih baik," imbuhnya.
Pertamina juga menjajaki kerjasama dengan Italy's National Energy Company (ENI) untuk pembangunan kilang bahan bakar nabati (BBN). "Kita sudah melihat refinery di Italia yang dioperasikan oleh ENI untuk crude oil refinery-nya cukup tua mereka bangun tahun 1935 sehingga menjadi kurang efisien dan akhirnya mereka konversi di 2012 dan mulai 2015 sudah memproduksi B100 dengan raw material minyak kelapa sawit dari Indonesia," urainya. Pertamina dan ENI pun melakukan kajian guna mengkonversi kilang Plaju dan Dumai menjadi pengolahan B100.
"Itu juga dibangun sejak tahun 1930-an oleh Belanda, kita sudah memikirkan untuk memperbaiki refinery itu lebih modern tetapi setelah mengetahui bisa dikonversi menjadi B100 kemungkinan besar dua tempat ini dikonversi dengan bahan baku minyak kelapa sawit," terang Rini. Berbagai bentuk investasi pun dikembangkan oleh pemerintah guna menarik investor asing terutama untuk proyek brownfield atau matang.
Seperti proyek pembangunan jalan tol, pemerintah mengundang investor masuk melalui mekanisme sekuritisasi ataupun RDPT. PT Angkasa Pura II (Persero) juga tengah mencari mitra strategis untuk pengelolaan bandara internasional Kualanamu, Medan. "Kita tetap menjadi operator bandara, mengelola bersama airport yang sudah eksisting brownfield. Dia harus berkomitmen investasi dengan nilai yang ditentukan masa periodenya konsensi kita yang didapat dari pemerintah," ujar Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero) Muhammad Awaluddin.
Hal ini guna ekspansi trafik terutama peningkatan trafik internasional yang kini baru 10 persen dari total penumpang sebesar 11 juta pada 2018. Ditargetkan menjadi 35 sampai 40 persen lantaran lokasi strategis Kualanamu yang dekat dengan Bandara Changi, Singapura, Kuala Lumpur dan Thailand. (vir/rin)