jokosusanto/radarsemarang |
“Pada sekitar Maret 2018 terdakwa menerima uang sebesar Rp 150juta dari Utut Adianto selaku anggota DPR RI, melalui Teguh Priyono (ajudan bupati) di Pendopo rumah dinas bupati,”kata PU KPK, Moch Takdir Suhan, Kresno Anto Wibowo, Ikhsan Fernandi Z, dan Roy Riady, dihadapan majelis hakim yang dipimpin, Antonius Widijantono.
Selain Utut, lanjut KPK, sejumlah pejabat lainnya adalah Hamdani Kosen melalui Lobrata Nababan masing-masing Rp 300juta dua kali, kemudian Rp 100juta sekali ditambah U$D 20ribu dolar Amerika, berlanjut dari Priyo Satmoko Rp 50juta. Pemberian lainnya dari Nugroho Prio Pratomo Rp 50juta, ada juga Rp 52juta dari Mohammad Najib, berlanjut Rp 2,5juta dan Rp 50juta dari Teguh Priyono.
Selain itu, pemberian dari Satya Giri Podo sebesar Rp 52juta, dari Wahyu Kontardi Rp 50juta dan pemberian dari Tri Gunawan Setyadi Rp 360juta.
“Bahwa penerimaan gratifikasi tersebut tidak pernah dilaporkan terdakwa ke KPK dalam tenggang waktu 30 hari kerja, sebagaimana dipersyaratkan dalam UU (undang-undang),”ungkap PU KPK, bergantian.
Atas perbuatan itu, KPK menilai perbuatan terdakwa bersalah dan dijerat dengan pasal berlapis sekaligus, yakni, kesatu primair Perbuatan Terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPjuncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Kemudian subsidiair perbuatan Terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain itu, dan kedua perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 B ayat (1) UU nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Menanggapi dakwaan tersebut, Tasdi melalui kuasa hukumnya, memastikan tidak akan mengajukan eksepsi. Melainkan pihaknya meminta majelis hakim langsung ke pembuktian. Namun sebelum sidang ditutup, pihaknya meminta permohonan penangguhan penahanan. Oleh majelis diterima, namun masih akan diteliti apakah akan dikabulkan atau tidak.
“Apakah dikabulkan atau tidak tergantung penilaian majelis nantinya,”kata hakim Antonius Widijantono, menutup sidang.
Usai sidang, Tasdi tidak banyak komentar dihadapan awak media. Ia hanya meminta nantinya mengikuti proses sidang. Sedangkan, saat ditanya terkait peran Utut Adianto, ia juga menjawab yang sama untuk lebih jelasnya di proses sidang. Namun saat diperiksa sebagai saksi dipersidangan, Tasdi mengaku, sebagai kader partai berlambang banteng moncong putih, maka ada dana untuk partai sebagai bentuk komitmen dirinya kepada partai.
Mantan Wakil Bupati Purbalingga ini mengatakan, sebagai pimpinan dirinya ditarget meraih suara 70 persen di Purbalingga untuk memenangkan pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin yang diusung dalam pilgub. Namun demikian, dari total kebutuhan Rp500 juta tersebut, ia mengakui baru menerima sebagian, yakni Rp315 juta serta 20ribu Dolar AS.
"Saya bertanggung jawab memenangkan program partai. Kalau tidak memenangkan partai, nanti tidak direkomendasi lagi," ungkapnya.
Terpisah, PU KPK, Moch Takdir Suhan, terkait dakwaan tersebut memang ada pengakuan dari terdakwa yang menerima uang dari Utut, atlet yang meraih grandmaster (GM) Catur Indonesia berperingkat tertinggi di dunia. Namun demikian untuk apa dan sebagainya, dikatakannya, merupakan tugas Tasdi untuk membuktikannya. Ia memastikan semua nama yang disebut dalam dakwaan, akan dijadikan saksi untuk pembuktian dakwaan tersebut.
“Akumulasi Rp 1,4miliar itu, akumulasi dari semua yang diterima. Kalau dari Utut kurang lebih Rp 150juta, hanya sekali, tapi tetap dilihat dalam fakta disidang,”jelasnya.
Perlu diketahui, Tasdi yang merupakan mantan Ketua DPRD Purbalingga itu, sudah ditahan penyidik sejak 5 hingga 24 Juni 2018, kemudian diperpanjang dari penyidik ke penuntut umum 25 Juni hingga 3 Agustus 2018. Selanjutnya dari penyidik perpanjangan pertama oleh Ketua PN dari 4 Agustus hingga 2 September 2018, berlanjut dari penyidik perpanjangan kedua oleh Ketua PN dari 3 September sampai 2 Oktober 2018 dan terakhir penahanan penuntut.
Terpisah, Sekretaris DPD Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Kota Semarang, Okky Andaniswari, mendesak KPK untuk mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Menurutnya, dalam kasus tersebut ada peran kepentingan pemenangan pemilu, maka sudah sepantasnya paslon yang disebut oleh Tasdi juga dihadirkan dipersidangan, dengan harapan agar terungkap kebenaran perkaranya.
“Jangan sampai KPK pilih-pilih saksi yang dihadirkan, ingat kasus tersebut banyak diduga melibatkan tokoh penting didaerah. Kami berharap KPK berani ungkap perkaranya tanpa pandang bulu,”tandasnya. (jks)