jawaposradarsemarang |
Sebuah mobil Daihatsu Xenia berplat nomor H 9474 DD dibakar pelaku tak dikenal pukul 04.30 kemarin. Mobil berwarna hitam tersebut sedang terparkir di garasi rumah. Saat itu Nawang Sumirat, pemilik mobil, bersama keluarganya sedang menonton televisi usai berjamaah menunaikan solat subuh.
"Tiba-tiba dari luar terdengar seperti suara letupan api," kata dia. Seketika, Nawang dan semua anggota keluarganya bergegas keluar rumah. Mereka kaget mendapati kap dan kaca depan mobil sudah dilalap api.
Dibantu istri dan dua anak laki-lakinya, Nawang lantas mengambil air dari kamar mandi untuk menyiram memadamkan api dan meminta bantuan warga. "Untuk cepat padam. Hanya wipper dan selebor ban depan sebelah kanan yang terbakar," jelasnya.
Priyo, salah satu warga, mengaku, sempat mendengar suara motor yang berhenti di depan rumah Nawang. Kepala Desa Karangayu Ahmad Riyadi juga menyatakan hal senada. "Satu pelaku melempar benda ke arah mobil dan langsung terbakar. Kedua pelaku lalu kabur ke arah timur," jelas Riyadi.
Kapolres Kendal AKBP Hamka Mappaita enggan berkomentar atas aksi teror bakar mobil itu. Perwira dengan dua melati dipundak itu malah menyuruh untuk menunggu komentar dari Kapolda Jawa Tengah Condro Kirono hari ini. Jawa Pos juga mencoba mengonfirmasi Kasatreskrim Polres KendaL AKP Nanung Nugroho. Nanung juga memilih bungkam. "Mohon maaf kami sedang dengan tim. Intinya Polri sedang bekerja keras untuk mengungkap," ujar perwira dengan tiga balok di pundak itu.
Dari data yang dihimpun Jawa Pos di Kendal sudah ada sembilan kasus pembakaran kendaraan yang terjadi sejak Akhir Desember hingga Februari ini. Delapan kasus pembakaran mobil dan satu lainnya sepeda motor. Yakni di Kecamatan Cepiring (tiga mobil), Rowosari (satu mobil) dan Brangsong (dua mobil). Selain itu Kaliwungu (satu mobil dan satu sepeda motor), Kota Kendal (satu mobil).
Jumlah tersebut terbilang masih lebih rendah jika dibandingkan jumlah aksi teror bakar kendaraan di kota Semarang. Hingga pukul 17.00 kemarin, sudah tercatat 17 kejadian yang diterima oleh Polrestabes Semarang. Berdasarkan data tersebut rata-rata aksi teror dilakukan pada pukul 03.00 hingga 05.00. Hanya sekali beraksi pukul 22.30. Yakni, saat teror pembakaran mobil pikap Mitsubishi T120SS di Jalan Rejosari Tengah II, Semarang Timur, Minggu (3/2).
Kecamatan Ngaliyan menjadi daerah paling rawan aksi teror. Kawasan tersebut termasuk kawasan padat penduduk. Namun, fasilitas penerangan masih terbilang kurang jika sudah memasuki kawasan Kelurahan Beringin dan Tambak Aji. Tak ayal, jika malam hari kawasan tersebut sepi. Potensi untuk terjadinya tindak kriminilitas pun tinggi.
Pengamat Terorisme Al Chaidar menjelaskan bahwa teror semacam ini tipis perbedaannya dengan political violence. Namun, masuk dalam kategori terorisme dengan latar belakang pemilu, baik pilpres atau pilkada. ”Dalam ilmu antropologi terorisme ini memang disebut terorisme pemilu,” ungkapnya.
Terorisme pemilu ini biasanya dilakukan untuk memicu eskalasi yang lebih tinggi. Artinya, ada tujuan besar, bukan semata-mata melakukan tanpa latar tertentu. ”Kasus semacam ini sering kali seakan-akan dipandang sebagai sesuatu yang sulit atau setidaknya diposisikan semacam itu,” terangnya.
Padahal, sama sekali tidak, kasus teror pembakaran kendaraan itu sama mudahnya dengan pengungkapan kasus terorisme kelompok radikal. Caranya, dengan antrophologi digital, seperti mendata jam edar handphone di wilayah kejadian. ”Pasca dan pra kejadian bisa diketahui handphone yang berada di lokasi,” tuturnya.
Dia menjelaskan, peredaran handphone ini kemudian bisa dicocokkan identitas pemilik handphone. Yang selanjutnya, dikombinasikan dengan data forensik, seperti bahan peledaknya. ”Misalnya jenisnya apa dan dimana penjualnya. Ini terbilang mudah,” tuturnya.
Namun, entah mengapa saat ini kasus semacam ini diposisikan seperti sesuatu yang egitu sulit. Seperti, kasus teror pimpinan KPK, Novel dan teror orang gila beberapa waktu lalu. ”Maka, dugaan bahwa terhubung dengan politik menguat,” urainya.
Dalam demokrasi ini penegakan hukum tidak lagi equality before the law. Justru, equity before the law yang terjadi. ”Di mata hukum itu setiap orang tidak lagi sejajar, namun setiap orang memiliki nilainya sendiri-sendiri bergantung jabatannya,” jelasnya.
Dia menuturkan bahwa dengan begitu kasus semacam ini bukan lagi tidak bisa diungkap. Tapi, lebih pada mau diungkap atau tidak. ”Kalau pelakunya pemilik kekuasaan tentu tidak diungkap, tapi kalau pelakunya tidak memiliki kekuasaan diungkap. Bisa begitu,” paparnya. (han/bud/idr)