fotosaefur/ekspres |
Unsur pejabat pusat hingga daerah terlibat dalam tindak pidana korupsi yang merugikan negara tersebut. Melibatkan, oknum DPR RI, Departemen Keuangan, hingga pejabat di daerah baik tingkat I (provinsi) hingga Pemerintah tingkat II (Pemda). Modusnya, adanya keharusan membayar fee agar DAK bisa turun ke daerah. Bila tidak ada fee, DAK tidak jadi turun atau diberikan kepada daerah lain yang mau memberi fee.
Hal itu diungkapkan lima saksi yang dihadirkan pada persidangan yang dipimpin Antonius Widijantono. Saksi-saksi yang dihadirkan kemarin, Bupati Kebumen 2016-2018, Mohammad Yahya Fuad, Sekda Kebumen periode 2012-2018, Adi Pandoyo, Direktur CV Usaha Bersama; Hojin Ansori, Komisaris PT Karya Adi Kencana (KAK), Khayub M Luthfi dan Bupati Purbalingga nonaktif; Tasdi.
Mohammad Yahya Fuad, misalnya. Yahya yang baru terpilih sebagai Bupati Kebumen 2016-2021 itu mendapati jalan-jalan di wilayahnya rusak. Sampai-sampai, kondisi jalan rusak itu menjadi trending topik di media sosial dan media massa. Bahkan, kemudian muncul istilah bupati baru memiliki wisata baru berupa Jeglongan Sewu.
Sebagai Bupati, Yahya Fuad kemudian mengupayakan pendekatan kepada pemerintah pusat. Termasuk para anggota DPR RI untuk membantu mendapatkan proyek pengerjaan jalan. Dari tujuh anggota DPR RI yang ada, Yahya Fuad mendatanginya dan meminta bantuan. Baik saat kunjungan reses ke Kebumen, maupun dikantornya untuk melakukan pendekatan.
Ketujuh anggota DPR RI yang didatangi Yahya Fuad, Taufiq R. Abdullah, Bambang Soesatyo, Amelia Anggraini, Muchammad Romahurmuziy, Utut Adianto, Darori Wonodipuro dan terdakwa Taufik Kurniawan.
Namun dari semuanya kebanyakan mereka hanya bisa memberi bantuan untuk alat pertanian, pupuk, bibit, traktor sedangkan di jalan tidak ada. Hingga kemudian, terdakwa Taufik Kurniawan yang memberikan solusi dana untuk pengadaan jalan.
“Waktu itu dapat di DAK perubahan 2016, kami ketemu terdakwa Taufik dan mengatakan diusahakan ada dana DAK sekitar Rp 100 miliar, baru kami ajukan dana proposal perbaikan jalan sebesar Rp 100 miliar,”kata saksi Mohammad Yahya Fuad, dihadapan majelis hakim.
Yahya Fuad menyebut, proposal yang disusun Kepala Dinas PU PR Kebumen, Slamet Mustolkhah itu lantas diserahkan ke Taufik di kantor DPR RI, saat itu ia yang datang langsung ke kantor terdakwa.
Sedangkan terdakwa menyatakan akan disahkan DAK perubahan, namun terdakawa mengatakan rekan-rekan minta kompensasi fee 5 persen dari jumlah yang akan dikucurkan dananya ke kabupaten Kebumen.
“Saat itu kami belum menyanggupi, melainkan saya katakan akan kordinasi dulu dengan kawan-kawan, dalam hal ini pemborong. Setelah pulang ke Kebumen saya undang Hojin Ansori, saya sampaikan ada dana Rp 100 miliar, tapi tidak gratis, kemudian Hojin menyampaikan diambil saja, saya sampaikan ada fee 7 persen,”jelasnya.
Ia sendiri saat itu berharap besar, karena Taufik berasal dari Dapil Kebumen sehingga diharapkan ada niatan khusus membantu daerahnya, makanya ia mengajukan bantuan.
Saksi juga mengaku, fee yang diminta terdakwa 5 persen, sedangkan ditambah 2 persen karena untuk diberikan ke bina lingkungan untuk menjaga kondusifitas daerah.
“Artinya kemarin sudah dijelaskan uang bina lingkungan ke Kapolres dan Kajari, besarannya berapa saya lupa. Itu tidak resmi hanya sebatas kordinasi, jadi 2 persen untuk bina lingkungan semua. Dari terdakwa 5 persen, saya tambah sisanya untuk bina lingkungan,” sebut Yahya Fuad.
Pun demikian halnya Mantan Bupati Purbalingga, Tasdi.
Dalam keterangannya, Tasdi, menyampaikan DAK perubahan di Purbalingga awalnya selalu 0 karena tak pernah dapat.
Kemudian ia mengaku pernah melakukan diskusi di Pendopo Purbalingga dengan Yahya Fuad, menanyakan terkait bagaimana Kebumen bisa sampai dapat DAK Rp 100miliar, setelah dapat jawaban, ia bertemu dengan terdakwa Taufik dan meminta informasi terkait DAK untuk Purbalingga, kemudian Taufik mengatakan bisa mengusahan dapat DAK.
“Dalam pertemuan lanjutan dengan terdakwa masuk ke angka DAK di angka Rp 50 miliar sampai Rp 100miliar untuk Purbalingga. Namun sudah disampaikan ada fee, cuma belum disebutkan angka fee-nya,” sebut Tasdi.
Akhirnya dilakukan pertemuan tehnis dengan Wahyu Kristianto dan Sekda Purbalingga (Wahyu Kontardi). Yang intinya dalam pertemuan itu, terdakwa menyampaikan nanti DAK dapatnya sama seperti Kebumen untuk fee-nya.
Sedangkan Fee diminta diserahkan ke Wahyu Kristianto. Dari situ, saksi merintahkan Wahyu Kontardi menyikapinya bagaimana.
“Akhirnya menunjuk Hadi Bajut atau Samsurizal Hadi untuk bertemu Wahyu Kontardi, Kadis PU dengan Wahyu Kristianto membahas tehnis penyerahan fee tersebut, setelah beberapa hari disepakati fee 5 persen,”jelasnya.
Seingatnya, fee tersebut diserahkan Hadi Gajut ke Wahyu Kristianto, hal itu diketahuinya sebagaimana informasi yang diterima dari Wahyu Kontardi. Berjalannya waktu DAK akhirnya turun Rp 48 miliar dari kementrian. Ia sendiri mencatat ada 4 kali pertemuan dengan terdakwa Taufik.
Baik Yahya Fuad maupun Tasdi mengakui, tanpa fee, DAK tidak bakal turun ke daerah. Di Kebumen, misalnya, pada tahun 2016 dana DAK bisa turun 93 miliar lebih. Namun di tahun berikutnya, 2017, DAK tidak turun sama sekali karena tidak dilakukan upaya.
Yahya Fuad mengatakan, praktek semacam ini sudah belangsung lama. Di tahun anggaran 2016 saat masih belum menjadi Bupati, misalnya, Yahya pernah menarik anggaran dari pusat melalui Anggota DPR RI Taufik R Abdullah.
Sementara, di Purbalingga menurut kesaksian Tasdi, wilayahya tak mendapat DAK di tahun 2016 karena tak ada soal pengurusan ke pusat. Sebaliknya di tahun 2017, dengan perantara Taufik Kurniawan, DAK turun senilai Rp 48 miliar dari yang dijanjikan 50-100 miliar. "Urusan feenya agar seret jadi turunnya cuma segitu," kata Tasdi.
Pengakuan serupa juga diungkapkan Khayub M Lutfi. Tanpa fee, sebagai pengusaha dia tak bisa mendapatkan proyek.
Taufik Kurniawan mengaku keberatan dengan keterangan para saksi. Menurutnya, dia tak pernah meminta fee 5 persen seperti yang disebutkan. Lagi pula, sebagai Wakil Ketua DPR RI, soal penganggaran mereka hanya menerima dari eksekutif dalam hal ini Kementerian Keuangan.
Sidang bakal kembali dilanjutkan pada 2 April 2019 dengan agenda pemeriksaan saksi dari JPU.
Taufik Kurniawan menjadi terdakwa KPK dalam dugaan suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) terjadi di Kabupaten Kebumen pada tahun anggaran APBD P 2016. Jaksa juga menyebut, kasus Taufik tak hanya terjadi di Kebumen, namun juga di Kabupaten Purbalingga.
Total uang suap yang diterima Taufik adalah Rp 4,85 miliar, berasal dari Bupati Kebumen, Mohammad Yahya Fuad sebesar Rp 3,65 miliar dan dari Bupati Purbalingga, Tasdi sebesar Rp 1,2 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Terdakwa Taufik dijerat Pasal 12 huruf aUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1KUHP.
Kemudian kedua, Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (jks/cah)